Semarang, ANTARA JATENG - Pakar keamanan siber Pratama Persadha memandang perlu Pemerintah mewujudkan aplikasi lokal setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir Telegram yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
"Dengan kasus pemblokiran itu, seharusnya Pemerintah bisa mulai membangun aplikasi `instant messaging` lokal yang mudah digunakan dan akrab dengan kebiasaan orang Indonesia. Jangan sampai 10 hingga 20 tahun mendatang orang Indonesia malah tambah ketergantungannya pada aplikasi luar," kata Pratama ketika wawancara dengan Antara di Semarang, Kamis pagi.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) menjelaskan bahwa sebaiknya sebelum pemblokiran ada sosialisasi jauh-jauh hari sehingga tidak membingungkan masyarakat.
Selain itu, kata dia, dengan momentum tersebut pemerintah menjadi lebih menyadari pentingnya membangun aplikasi lokal lebih serius.
Ia berpendapat bahwa pemblokiran demi keamanan negara jangan sampai melupakan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada jeda waktu dengan sosialisasi, apalagi pengguna Telegram jutaan orang.
"Pengguna cukup banyak meski belum sebanyak WhatsApp, BBM, dan Line. Namun, saya kira efeknya tetap ada, terutama kepada mereka yang menggunakannya untuk bisnis," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu.
Ia menegaskan bahwa Telegram seperti aplikasi lainnya bisa untuk hal positif maupun negatif. Namun, seharusnya memang Telegram tetap mengikuti aturan yang ada di Tanah Air, apalagi bila menyangkut keamanan negara.
Pemblokiran terhadap DNS (domain name system) sendiri, katanya lagi, efektif sejak Senin (17/7) meski pengumumannya pada hari Jumat (14/7). Selanjutnya, beberapa provider langsung melakukan blokir. Pemblokiran ini sementara menyasar pada Telegram berbasis web, sementara aplikasinya masih bisa berfungsi.
Fitur "Secret Chat"
"Di Telegram, kita bisa memakai fitur `secret chat` yang diduga banyak dipakai oleh para pelaku teror untuk berkomunikasi. Percakapan pada fitur `secret chat` memang tidak bisa diakses, bahkan oleh pihak Telegram sekalipun," kata Pratama.
Pratama menduga fitur lain di Telegram, yaitu "channel", relatif banyak untuk propaganda terorisme, terutama gerakan ISIS. Telegram sendiri sebenarnya sudah banyak menerima laporan dan mereka telah memblokir lebih dari 3.500 "channel" yang berkaitan dengan ISIS.
"Jumlah itu akan terus bertambah. Oleh karena itu, dialog antara pemerintah dan Telegram sangat perlu untuk menyamakan visi memberantas teror di Tanah Air.
Menurut Pratama, hal itu menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah untuk memaksa para penyedia layanan over the top (OTT), seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, dan Google untuk mengikuti regulasi di Tanah Air.
Sebenarnya, lanjut dia, secara umum komunikasi antara pemerintah dan penyedia layanan OTT ini tidak selalu tentang keamanan, tetapi juga terkait dengan model bisnis, pajak, dan paling penting apakah menyerap tenaga kerja lokal.
"Jangan hanya kita ini jadi komoditas mereka," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikas (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) itu.
Pratama meminta Indonesia meniru langkah Tiongkok dengan memberikan alternatif media sosial lokal. Akibatnya jelas, pemerintah Tiongkok dengan mudah bisa menolak Google dan Facebook karena enggan mengikuti regulasi di negeri tirai bambu tersebut.
"Namun, tentu sulit untuk meniru apa yang dilakukan Tiongkok. Selain sebagai negara demokrasi, Indonesia juga belum siap dengan aplikasi alternatif untuk bermedia sosial dan aplikasi `instant messaging` yang mumpuni," kata Pratama.
"Dengan kasus pemblokiran itu, seharusnya Pemerintah bisa mulai membangun aplikasi `instant messaging` lokal yang mudah digunakan dan akrab dengan kebiasaan orang Indonesia. Jangan sampai 10 hingga 20 tahun mendatang orang Indonesia malah tambah ketergantungannya pada aplikasi luar," kata Pratama ketika wawancara dengan Antara di Semarang, Kamis pagi.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) menjelaskan bahwa sebaiknya sebelum pemblokiran ada sosialisasi jauh-jauh hari sehingga tidak membingungkan masyarakat.
Selain itu, kata dia, dengan momentum tersebut pemerintah menjadi lebih menyadari pentingnya membangun aplikasi lokal lebih serius.
Ia berpendapat bahwa pemblokiran demi keamanan negara jangan sampai melupakan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada jeda waktu dengan sosialisasi, apalagi pengguna Telegram jutaan orang.
"Pengguna cukup banyak meski belum sebanyak WhatsApp, BBM, dan Line. Namun, saya kira efeknya tetap ada, terutama kepada mereka yang menggunakannya untuk bisnis," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu.
Ia menegaskan bahwa Telegram seperti aplikasi lainnya bisa untuk hal positif maupun negatif. Namun, seharusnya memang Telegram tetap mengikuti aturan yang ada di Tanah Air, apalagi bila menyangkut keamanan negara.
Pemblokiran terhadap DNS (domain name system) sendiri, katanya lagi, efektif sejak Senin (17/7) meski pengumumannya pada hari Jumat (14/7). Selanjutnya, beberapa provider langsung melakukan blokir. Pemblokiran ini sementara menyasar pada Telegram berbasis web, sementara aplikasinya masih bisa berfungsi.
Fitur "Secret Chat"
"Di Telegram, kita bisa memakai fitur `secret chat` yang diduga banyak dipakai oleh para pelaku teror untuk berkomunikasi. Percakapan pada fitur `secret chat` memang tidak bisa diakses, bahkan oleh pihak Telegram sekalipun," kata Pratama.
Pratama menduga fitur lain di Telegram, yaitu "channel", relatif banyak untuk propaganda terorisme, terutama gerakan ISIS. Telegram sendiri sebenarnya sudah banyak menerima laporan dan mereka telah memblokir lebih dari 3.500 "channel" yang berkaitan dengan ISIS.
"Jumlah itu akan terus bertambah. Oleh karena itu, dialog antara pemerintah dan Telegram sangat perlu untuk menyamakan visi memberantas teror di Tanah Air.
Menurut Pratama, hal itu menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah untuk memaksa para penyedia layanan over the top (OTT), seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, dan Google untuk mengikuti regulasi di Tanah Air.
Sebenarnya, lanjut dia, secara umum komunikasi antara pemerintah dan penyedia layanan OTT ini tidak selalu tentang keamanan, tetapi juga terkait dengan model bisnis, pajak, dan paling penting apakah menyerap tenaga kerja lokal.
"Jangan hanya kita ini jadi komoditas mereka," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikas (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) itu.
Pratama meminta Indonesia meniru langkah Tiongkok dengan memberikan alternatif media sosial lokal. Akibatnya jelas, pemerintah Tiongkok dengan mudah bisa menolak Google dan Facebook karena enggan mengikuti regulasi di negeri tirai bambu tersebut.
"Namun, tentu sulit untuk meniru apa yang dilakukan Tiongkok. Selain sebagai negara demokrasi, Indonesia juga belum siap dengan aplikasi alternatif untuk bermedia sosial dan aplikasi `instant messaging` yang mumpuni," kata Pratama.