Banyumas, ANTARA JATENG - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan panas bumi merupakan salah satu energi yang bersih untuk kebutuhan pembangkit listrik sehingga masyarakat perlu mendapatkan penjelasan manfaat energi tersebut.

"Justru ajaklah bicara aktivis lingkungan, lingkungan paling bersih apa sih? Apa kita sudah mau ke nuklir, aktivis lingkungannya diajak ngobrol dong," katanya kepada wartawan usai Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia Tingkat Jawa Tengah di Kebun Raya Baturraden, Kabupaten Banyumas, Rabu.

Ganjar mengatakan hal terkait penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Baturraden di lereng Gunung Slamet.

"Kalau kita enggak punya energi, kita ke nuklir saja yuk, mau enggak? Saya yakin hipotesis ini pasti dijawab takut dan tidak mau," katanya.

Dia juga memastikan tidak ada yang mau jika menggunakan solar atau fosil sebagai energi pembangkit listrik.

Bahkan, kata dia, penggunaan batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang juga diprotes.

"Waktu saya dipanggil Presiden untuk bicara pembangunan strategis di Jawa Tengah, terjadi perdebatan yang menarik tapi sehat antara Pak Jonan (Menteri ESDM) dan Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan)," katanya.

Menurut dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan ekonomi energi dunia harus pindah ke "green energy" (energi hijau) dan yang dicontohkan adalah panas bumi di Islandia.

Dalam hal ini, kata dia, Sri Mulyani mengatakan ekonomi energi di Islandia bangkrut karena negaranya bangkrut sehingga pindah ke panas bumi dan sekarang dalam tahap pemulihan.

"Sekarang terserah kita, pilihan saja, yang penting sekarang bukan cabut-tidak cabut (izin). Yuk kita tahu dulu apa yang kita miliki karena kita butuh energi dan kita punya, mau kita gunakan (apa) enggak," kata Ganjar.

Oleh karena itu, dia meminta semua pihak terutama yang menolak pembangunan PLTPB Baturraden diajak bicara untuk mengetahui pokok permasalahannya.

Dalam kesempatan terpisah, Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah Banyumas Didi Rudwiyanto mengatakan dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, usaha pertambangan dan panas bumi dipisahkan setelah sekian lama digabung.

Menurut dia, pemisahan tersebut dilakukan karena panas bumi yang berada di kawasan hutan lindung tidak mungkin untuk pertambangan.

"Panas bumi seperti ketel, ada air masuk, batunya panas karena terkena magma dan jadi uap, yang diambil uapnya. Jadi, jangan khawatir kawasan Guci (Tegal) dan Baturraden akan kehilangan air karena yang diambil uapnya," kata dia yang memiliki latar belakang pendidikan geologi.

Ia mengakui pesan yang disampaikan dalam UU Nomor 21 Tahun 2014 belum sampai ke masyarakat karena mengubah bahasa undang-undang menjadi bahasa gaul yang mudah dipahami itu belum dilakukan oleh pemerintah.

Dengan demikian, kata dia, masyarakat memperkirakan pembangunan PLTPB Baturraden seperti pengeboran Lapindo.

"Yang dicari bukan minyak, bukan gas. Ini yang dicari uap di batuan beku di kedalaman 2.500-3.000 meter yang ada uap panasnya dan pengeborannya bisa dilakukan dengan posisi miring. Itu di undang-undang diizinkan di hutan lindung dengan luasan yang ditentukan," katanya.

Seperti diwartakan, proyek pembangunan PLTPB Baturraden di lereng Gunung Slamet mendapat kecaman dari berbagai elemen masyarakat karena dikhawatirkan merusak lingkungan khususnya kawasan hutan lindung.

Bahkan, ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Slamet menggelar unjuk rasa di Pendopo Si Panji Kabupaten Banyumas pada hari Selasa (18/7) untuk menolak pembangunan PLTPB Baturraden.

Pewarta : Sumarwoto
Editor :
Copyright © ANTARA 2024