Jakarta, ANTARA JATENG - Orangtua dari anak dengan gangguan spektrum autisme mungkin kewalahan memilih mana tempat terapi yang terbaik agar kemampuan buah hati berkembang.

Setiap anak yang didiagnosis autisme punya kebutuhan berbeda, maka terapi yang disarankan untuk mengikis masalah perilaku yang paling mengganggu juga bervariasi untuk tiap individu.

Misalnya, terapi bicara belum cocok untuk anak yang belum bisa duduk tenang alias tidak bisa diam, kata psikolog Adriana Soekandar Ginanjar.

"Orangtua juga harus belajar, harus mengetahui seperti apa terapi yang baik jadi bisa mengobservasi apakah terapisnya benar atau tidak," kata Adriana dalam talkshow autisme akhir pekan lalu.

Ketika sudah menemukan terapis yang baik, orangtua tidak boleh serta merta mengalihkan tanggung jawab pada pihak ketiga.

Orangtua juga harus mengamati dan mempelajari materi terapi sehingga bisa dipraktikkan berulang-ulang di rumah. Bila ruang terapinya tertutup bagi orangtua, jangan sungkan untuk bertanya pada terapis.

"Harus diterapkan juga materi yang sama di rumah," katanya.

Kekurangan Terapis

Di sisi lain, Indonesia masih kekurangan terapis untuk menangani pasien autisme. Hal ini disebabkan minimnya jumlah sekolah yang melahirkan para terapis.

"Hanya ada tiga, di Jakarta, Bandung dan Solo," kata dokter Rini Sekartini dari Ikatan Dokter Anak Indonesia.

"Yang kurang itu terapis okupasi dan terapis bicara," imbuh dia.

Sekolah terapis juga bukan jurusan yang lazim diambil oleh murid-murid sekolah menengah ke atas yang akan melanjutkan pendidikan.

Mereka yang tinggal di kota besar lebih beruntung karena para terapis mudah dicari, beda halnya dengan pasien autisme yang tinggal di luar kota besar.

Ini bisa menghambat perkembangan pasien yang terpaksa harus "berebut" terapis.

"Misalnya yang harus ikut sesi 60 menit jadi cuma 30 menit karena banyak antrean."


Pewarta : Nanien Yuniar
Editor :
Copyright © ANTARA 2024