Jakarta, ANTARA JATENG - Menjadi orangtua adalah pekerjaan berat dan
penuh tanggung jawab, terlebih bila buah hati merupakan anak
berkebutuhan khusus seperti autisme.
Orangtua dari anak autisme pasti dirundung stres jika tanpa dukungan dan bantuan dari keluarga besar, kata psikolog dari Universitas Indonesia, Adriana Soekandar Ginanjar.
Membesarkan anak autisme butuh biaya besar. Untuk obat, berbagai terapi hingga diet makan khusus dimana anak sebaiknya hanya menyantap bahan-bahan organik yang lebih mahal.
Keluarga bisa mengalami dilema saat kedua orangtua terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan namun tidak ada orang lain yang bisa membantu mengasuh anak berkebutuhan khusus.
"Kalau ibu kerja, siapa yang mengasuh? Itu bikin keluarga stres, kalau keluarga besar tidak mendukung, rasanya sangat berat," kata Adriana ditemui usai talkshow autisme di Jakarta pekan lalu.
"Kecemasan dan kegelisahan orangtua akan jatuh pada anak juga," lanjut dia.
Pada dasarnya, orangtua akan mengalami beberapa fase saat mengetahui buah hatinya terkena gangguan spektrum autistik. Pertama, rasa tidak percaya alias denial.
Seiring waktu berlalu, orangtua biasanya mencari opini dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa perkembangan buah hatinya memang terganggu. Pada fase ini, muncul emosi-emosi negatif seperti sedih, cemas hingga marah.
Ketika akhirnya orangtua mulai menerima kenyataan, lalu mamsukkan anak ke berbagai terapi, muncul harapan agar anak lekas membaik. Setelah beberapa lama, orangtua akhirnya bisa menerima keadaan.
Ini bisa membuat dukungan dari orang sekitar jadi tidak bisa diterima karena orangtua sedang berada di fase awal yang emosional.
Saran "jangan marah-marah" kerena tidak akan efektif disampaikan pada orangtua saat ia masih emosional lantaran baru tahu anaknya didiagnosis autisme, contoh Adriana.
"Orang yang membantu harus cukup sabar dalam mendampingi orangtua ini, jadi saat kasih masukan bisa lebih diterima," pungkas dia.
Orangtua dari anak autisme pasti dirundung stres jika tanpa dukungan dan bantuan dari keluarga besar, kata psikolog dari Universitas Indonesia, Adriana Soekandar Ginanjar.
Membesarkan anak autisme butuh biaya besar. Untuk obat, berbagai terapi hingga diet makan khusus dimana anak sebaiknya hanya menyantap bahan-bahan organik yang lebih mahal.
Keluarga bisa mengalami dilema saat kedua orangtua terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan namun tidak ada orang lain yang bisa membantu mengasuh anak berkebutuhan khusus.
"Kalau ibu kerja, siapa yang mengasuh? Itu bikin keluarga stres, kalau keluarga besar tidak mendukung, rasanya sangat berat," kata Adriana ditemui usai talkshow autisme di Jakarta pekan lalu.
"Kecemasan dan kegelisahan orangtua akan jatuh pada anak juga," lanjut dia.
Pada dasarnya, orangtua akan mengalami beberapa fase saat mengetahui buah hatinya terkena gangguan spektrum autistik. Pertama, rasa tidak percaya alias denial.
Seiring waktu berlalu, orangtua biasanya mencari opini dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa perkembangan buah hatinya memang terganggu. Pada fase ini, muncul emosi-emosi negatif seperti sedih, cemas hingga marah.
Ketika akhirnya orangtua mulai menerima kenyataan, lalu mamsukkan anak ke berbagai terapi, muncul harapan agar anak lekas membaik. Setelah beberapa lama, orangtua akhirnya bisa menerima keadaan.
Ini bisa membuat dukungan dari orang sekitar jadi tidak bisa diterima karena orangtua sedang berada di fase awal yang emosional.
Saran "jangan marah-marah" kerena tidak akan efektif disampaikan pada orangtua saat ia masih emosional lantaran baru tahu anaknya didiagnosis autisme, contoh Adriana.
"Orang yang membantu harus cukup sabar dalam mendampingi orangtua ini, jadi saat kasih masukan bisa lebih diterima," pungkas dia.