Semarang, ANTARA JATENG - Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Kota Semarang menyatakan penerapan tarif taksi "online" merugikan konsumen.

"Dengan adanya penerapan tarif batas atas dan batas bawah taksi `online` artinya alternatif alat angkutan umum untuk masyarakat dengan harga yang lebih murah tidak ada lagi," kata Ketua LP2K Kota Semarang Ngargono di Semarang, Rabu.

Ia mengatakan daripada tarif taksi "online" dinaikkan, lebih baik tarif taksi konvensional yang disesuaikan agar lebih terjangkau oleh masyarakat.

"Misalnya saja, tarif taksi `online` sebelumnya Rp100, sedangkan tarif taksi konvensional Rp1.000. Jangan kemudian tarif taksi `online` dinaikkan menjadi Rp900. Kalau harus naik seharusnya tarif taksi `online` menjadi Rp500 dan taksi konvensional turun menjadi Rp500-Rp600," katanya.

Ia mengatakan dengan adanya penyesuaian tarif taksi "online" itu, artinya Indonesia belum siap menerapkan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

"Dengan kondisi saat ini artinya tidak ada keberpihakan kepada masyarakat. Jika dilihat dari kacamata konsumen maka kebijakan penyesuaian tarif taksi `online` ini tidak `fair`," katanya.

Ia mengatakan banyak kebijakan yang sebetulnya tidak berhubungan kenyamanan konsumen atau penumpang dipaksa diterapkan di taksi "online".

Hal itu berdampak pada anggaran yang seharusnya tidak dikeluarkan, terpaksa harus dikeluarkan oleh pengelola taksi "online".

"Seperti dulu wacana yang pernah mengemuka adalah taksi `online` yang beroperasi harus atas nama koperasi, selain itu harus ada garasi resmi. Padahal ini kan tidak ada korelasinya dengan konsumen," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya berharap ada kebijakan yang prokonsumen dari pemerintah terkait penyesuaian tarif taksi "online".

"Seharusnya tarif transportasi nonekonomi bukan ditentukan oleh pemerintah tetapi mekanisme pasar, termasuk taksi `online` ini," katanya.

Pewarta : Aris Wasita Widiastuti
Editor :
Copyright © ANTARA 2024