Lagu terkenal Koes Plus, "Kolam Susu", seakan menjadi mars penggelora batin anggota Kelompok Tani "Sedulur Merapi" Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan Gunung Merapi.
"`Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman`," itulah sebagian syair terpenting lagu tersebut bagi mereka.
Tembang "Kolam Susu" bisa ditangkap maknanya menunjuk tentang tanah subur untuk aneka tanaman, tanah subur bagaikan kehidupan surga petani. Kelompok tani itu, menemukan salah satu bukti penting atas kebenaran syair lagu ciptaan 1973 tersebut berupa tanah subur di kawasan Gunung Merapi.
Areal pertanian mereka yang subur di desa terakhir sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, antara lain karena pengaruh abu vulkanik, didukung pasokan air berlimpah ruah serta udara sejuk yang menyelimutinya, bagaikan irama harmoni pengiring lantunan tembang itu.
"Lagu itu menyemangati kami untuk mengolah pertanian ini. Tanah ini subur dan harus dijaga kesuburannya," kata Sibang, Ketua Kelompok Tani "Sedulur Merapi" di Kecamatan Dukun itu.
Dengan lahan pertanian yang subur, petani kelompok tersebut tidak hendak berpikir gampang, sekadar meraup untung secara ekonomis atas panenan melimpah, lalu hidup bergelimang harta dengan kemakmuran material, kemewahan dan kekayaan yang kasat mata. Berdasarkan karakter alamnya, pertanian di kawasan Gunung Merapi selama ini dikelola petani setempat untuk budi daya berbagai hortikultura.
Kehidupan sehari-hari mereka tetap sederhana, namun berdaulat sebagai petani desa yang bergaul dengan sesama, komunitas, dan lingkungan alam Merapi. Batin dan pikiran mereka terus bergerak untuk membuat kekuatan pertaniannya terus berkelanjutan dan selalu berada dalam genggaman.
Model pertanian organik mereka patrikan selama ini, untuk memperteguh kedaulatan dalam menjaga kesuburan tanah. Pengelolaan pertanian organik bukan sekadar mereka membebaskan diri dari penggunaan bahan-bahan pertanian berunsur kimiawi, baik untuk keperluan pemupukan maupun menghadapi serangan hama serta penyakit.
Mereka memastikan diri menggunakan pupuk kompos dan pupuk cair buatan sendiri, sehingga selain bertani, mereka juga beternak karena kotorannya menjadi bahan utama pembuatan pupuk dan kompos.
Kemungkinan serangan penyakit dan hama pertanian, sebagai keniscayaan yang tidak harus mereka matikan atau berantas, namun diantisipasi dan diminimalkan dengan cara-cara organik pula.
Hubungan kemitraan dengan penyalur panenan mereka di salah satu kios di Pasar Kranggan Kota Yogyakarta, juga dijaga dengan tidak menggampangkan memutuskan menerima pembeli sayuran organik lainnya secara langsung di kebun pertaniannya. Namun, mereka memastikan komitmen kedua pihak tentang produk organik, jumlah pasokan yang terbatas, dan kepercayaan terhadap posisi harga terbaru.
Begitu pula kepentingan regenerasi petani organik. Mereka rintis dengan keikutsertaannya sebagai pelaku utama "Sekolah Sawah" yang dibuka salah satu Sekolah Dasar swasta di desa itu. Para murid sekolah itu yang kalangan anak-anak setempat juga menjadi pegiat "Sekolah Sawah".
"Intinya, pertanian organik juga menyangkut kehidupan diri petani sehari-hari yang organik. Tidak mudah pada zaman ini, tetapi tidak ada salahnya jika selalu dicoba dengan tekun untuk dilakukan," ujar Sibang.
Tumpang gilir
Salah satu puncak perjalanan kedaulatan para petani "Sedulur Merapi" berupa penerapan pola tanam tumpang gilir. Mereka merintisnya sejak enam bulan terakhir.
Sebelumnya, tentu mereka melakukan pembicaraan intensif dalam suasana kekeluargaan untuk sampai pada keputusan mencoba pola tanam itu di areal subur pertaniannya.
Istilah "tumpang gilir" hingga saat ini masih terus mereka perbicangkan untuk menemukan ketepatannya. Sibang dan kawan-kawan masih memikirkan istilah lainnya yang dipandang lebih tepat, seperti "tumpang gulir" atau "sistem rotasi".
Akan tetapi, mereka hendak membedakan dengan pola tumpang sari, di mana ada tanaman pokok dan komoditas lainnya sebagai pendukung. Begitu tanaman pokok dan pendukung dipanen semua maka bedengan kosong dan petani mulai mengolah lagi untuk penanaman berikutnya. Pada pola tumpang gilir, semua komoditas sayuran berstatus sebagai tanaman pokok yang bakal dipanen bergilir.
"Kalau tumpang sari akan `kepedhotan` (terputus, red.) panen," katanya.
Sebanyak tujuh di antara puluhan anggota kelompok itu, yakni Sibang, Longgar, Maryono, Riyadi, Tarsisius, Kartin, dan Gimin, merintis pertanian tumpang gilir di areal masing-masing, termasuk di sebagian lahan "Sekolah Sawah" untuk anak-anak setempat.
Mereka, petani di empat dusun di Desa Ngargomulyo, yakni Dusun Gemer, Tangkil, Ngandong, dan Batur Ngisor. Luas lahan untuk tumpang gilir penanaman sayuran mereka yang menggunakan "green house" itu, berbeda-beda, namun umumnya macam-macam sayuran yang dibudidayakan hampir sama.
Riyadi yang juga bekerja di SD Prontakan, Desa Ngargomulyo yang murid-muridnya juga berkecimpung dalam "Sekolah Sawah", memulai tanam pola tumpang gilir, baru sejak akhir Mei lalu. Ia tanami sebagian dari 500 meter persegi areal pertaniannya dengan pola itu.
"Belum panen, saya tanam kailan, selada, dan lettuce. Pak Sibang banyak menyampaikan prakarsa dan pemikirannya kepada kami," katanya.
Di areal pertaniannya seluas 100 meter persegi, Longgar menanam dengan pola itu, antara lain selada, bayam merah, centhol, sawi sendok. Dengan menggunakan "green house", ia bersama kawan-kawan di kelompok itu tidak lagi berpikir banyak tentang pemakaian obat-obatan pertanian untuk mengatasi hama dan penyakit.
Setiap satu minggu, ia satu kali tanam sayuran. Dirinya masih tahapan satu minggu sekali panen pertanian organiknya itu. Hingga saat ini, ia telah tiga kali panen untuk dipasok ke penyalur di Pasar Kranggan, sebagaimana kesepakatan kelompok.
"Arahnya tentu setiap hari panen. Jumlah yang dipanen sedikit-sedikit, tetapi berkelanjutan, dengan harga lebih tinggi daripada sayuran umumnya atau yang nonorganik," ujarnya.
Sibang sebagai pemrakarsa pola tanam gilir memang sosok yang terpanggil untuk berpikir lebih serius ketimbang kawan-kawannya, termasuk menjaga kemitraan dengan pihak penyalur melalui kontak secara intensif untuk saling berbagi informasi, seperti menyangkut harga dan komoditas yang siap panen.
Ia harus "njelimet" atau detail berhitung, misalnya menyangkut pengaturan bedeng untuk 15 komoditas sayuran organik yang harus ditanam. Arealnya sebagai paling luas, mencapai 900 meter persegi, untuk ditanami sayuran dengan pola itu.
"Awal Januari lalu saya mulai tanam dan akhir Februari mulai panen terus menerus sampai saat ini," katanya pagi itu, ketika dijumpai sedang mengawasi kelancaran pasokan air dari mata air di kawasan Gunung Merapi, melalui selang-selang di setiap bedeng lahan pertaniannya di samping rumahnya di Dusun Gemer.
Setiap areal pertanian --berapa pun total luasnya-- dibagi menjadi 15 bedeng untuk menjaga keberlanjutan penanaman dan pemanenan agar bisa berotasi setiap satu bulan.
Begitu seterusnya perputaran pola menanam dan memanen 15 komoditas sayuran yang umumnya sayuran daun itu, yakni selada merah dan hijau, kol merah, tomat ceri, spinack atau bayam jepang, parsley atau paterseli, bayam merah dan hijau, kailan, lettuce atau selada krop, pagoda, sawi sendok, cabai paprika (hijau, kuning, unggu, dan merah), okra merah dan hijau, dihitungnya secara "njelimet".
Benih dan bibit tanaman organik itu, mereka cari di sejumlah toko pertanian tertentu, seperti di kompleks Pasar Salaman, Pasar Ngablak (Kabupaten Magelang) dan toko-toko pertanian di Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) dengan harga setiap paket berkisar Rp20.000 hingga Rp60.000.
Umumnya, masa tanam hingga panen komoditas mereka antara 23-30 hari, tetapi untuk selada hijau dan kol merah harus melalui pembesaran di persemaian atau polibek terlebih dahulu antara 25-20 hari, sebelum ditancapkan di bedengan.
Jumlah panenan untuk berbagai komoditas itu berbeda-beda, namun dicontohkan satu tanaman paprika bisa total panen satu kilogram dengan satu kali petik sekitar dua ons.
Mereka mematok rata-rata harga panenan sekitar Rp10.000 per kilogram, meskipun riilnya saat ini, seperti kol merah antara Rp15.000-Rp25.000, selada merah sekitar Rp12.000, dan selada krop antara Rp20.000-Rp25.000.
Tanpa menyebut harga terkini berbagai sayuran nonorganik yang umumnya ditanam petani kawasan Gunung Merapi, Sibang mengatakan harga panenannya lebih tinggi dengan konsumennya saat ini kalangan menengah ke atas dan dipasok untuk kebutuhan hotel serta restoran di kota-kota besar.
"Sesuai dengan konsumen dari penyalur mitra kami," ujarnya.
Penggunaan "green house" mereka alami sebagai cara ampuh mengatasi hama dan penyakit, serta menjaga kelembapan tanah. Kalau toh terjadi serangan, hal itu relatif sedikit dan berasal dari unsur yang terkandung dalam kompos (kotoran ternak dan serasah) serta pupuk cair (urine kambing atau sapi, hijau-hijauan daun, akar-akaran, umbi-umbian, dan mikroba).
Hama sayuran seperti belalang, kepik, dan kutu daun ditangani dengan penyemprotan pestisida nabati, sedangkan serangan penyakit seperti leles (bakteri) diatasi dengan pemberian fungisida alami yang bahan-bahannya, antara lain belerang, kapur, ziolit, perusi, dan empon-empon.
Dengan pola tumpang gilir itu, mereka membebaskan diri dari ambisi panen raya yang umumnya membuat harga jatuh. Pola itu membawa mereka panen setiap jenissayuran secara konsisten dengan harga relatif stabil karena jumlahnya bisa ajek.
Sibang menyebut dukungan alam untuk kelompoknya menerapkan tanam tumpang gilir secara mandiri, antara lain kucuran air mencukupi, bahan baku pupuk kandang melimpah karena setiap petani juga beternak, dan ketinggian areal sekitar 750 meter dari permukaan air laut sebagai cocok untuk hortikultura.
Namun, pola itu juga diakui membutuhkan tenaga yang lebih berat karena setiap petani harus menjaga secara rutin setiap perkembangan tanaman. Mereka juga harus "njelimet" menghitung setiap jenis sayuran yang dibudidayakan, supaya rotasi sebulan bisa berkelanjutan.
Selain itu, petani harus menjaga sebaik-baiknya relasi kemitraan dengan penyalur, melalui keteguhan terhadap komitmen pertanian organik.
"Butuh kesetiaan dengan pikiran dan kesepakatan dengan waktu tanam. Memang rumit, tapi menyenangkan. Petani tidak dikuasai pasar dan pasar juga menghargai petani. Kami berdaulat atas tanah subur kami," ujarnya.
"`Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman`," itulah sebagian syair terpenting lagu tersebut bagi mereka.
Tembang "Kolam Susu" bisa ditangkap maknanya menunjuk tentang tanah subur untuk aneka tanaman, tanah subur bagaikan kehidupan surga petani. Kelompok tani itu, menemukan salah satu bukti penting atas kebenaran syair lagu ciptaan 1973 tersebut berupa tanah subur di kawasan Gunung Merapi.
Areal pertanian mereka yang subur di desa terakhir sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, antara lain karena pengaruh abu vulkanik, didukung pasokan air berlimpah ruah serta udara sejuk yang menyelimutinya, bagaikan irama harmoni pengiring lantunan tembang itu.
"Lagu itu menyemangati kami untuk mengolah pertanian ini. Tanah ini subur dan harus dijaga kesuburannya," kata Sibang, Ketua Kelompok Tani "Sedulur Merapi" di Kecamatan Dukun itu.
Dengan lahan pertanian yang subur, petani kelompok tersebut tidak hendak berpikir gampang, sekadar meraup untung secara ekonomis atas panenan melimpah, lalu hidup bergelimang harta dengan kemakmuran material, kemewahan dan kekayaan yang kasat mata. Berdasarkan karakter alamnya, pertanian di kawasan Gunung Merapi selama ini dikelola petani setempat untuk budi daya berbagai hortikultura.
Kehidupan sehari-hari mereka tetap sederhana, namun berdaulat sebagai petani desa yang bergaul dengan sesama, komunitas, dan lingkungan alam Merapi. Batin dan pikiran mereka terus bergerak untuk membuat kekuatan pertaniannya terus berkelanjutan dan selalu berada dalam genggaman.
Model pertanian organik mereka patrikan selama ini, untuk memperteguh kedaulatan dalam menjaga kesuburan tanah. Pengelolaan pertanian organik bukan sekadar mereka membebaskan diri dari penggunaan bahan-bahan pertanian berunsur kimiawi, baik untuk keperluan pemupukan maupun menghadapi serangan hama serta penyakit.
Mereka memastikan diri menggunakan pupuk kompos dan pupuk cair buatan sendiri, sehingga selain bertani, mereka juga beternak karena kotorannya menjadi bahan utama pembuatan pupuk dan kompos.
Kemungkinan serangan penyakit dan hama pertanian, sebagai keniscayaan yang tidak harus mereka matikan atau berantas, namun diantisipasi dan diminimalkan dengan cara-cara organik pula.
Hubungan kemitraan dengan penyalur panenan mereka di salah satu kios di Pasar Kranggan Kota Yogyakarta, juga dijaga dengan tidak menggampangkan memutuskan menerima pembeli sayuran organik lainnya secara langsung di kebun pertaniannya. Namun, mereka memastikan komitmen kedua pihak tentang produk organik, jumlah pasokan yang terbatas, dan kepercayaan terhadap posisi harga terbaru.
Begitu pula kepentingan regenerasi petani organik. Mereka rintis dengan keikutsertaannya sebagai pelaku utama "Sekolah Sawah" yang dibuka salah satu Sekolah Dasar swasta di desa itu. Para murid sekolah itu yang kalangan anak-anak setempat juga menjadi pegiat "Sekolah Sawah".
"Intinya, pertanian organik juga menyangkut kehidupan diri petani sehari-hari yang organik. Tidak mudah pada zaman ini, tetapi tidak ada salahnya jika selalu dicoba dengan tekun untuk dilakukan," ujar Sibang.
Tumpang gilir
Salah satu puncak perjalanan kedaulatan para petani "Sedulur Merapi" berupa penerapan pola tanam tumpang gilir. Mereka merintisnya sejak enam bulan terakhir.
Sebelumnya, tentu mereka melakukan pembicaraan intensif dalam suasana kekeluargaan untuk sampai pada keputusan mencoba pola tanam itu di areal subur pertaniannya.
Istilah "tumpang gilir" hingga saat ini masih terus mereka perbicangkan untuk menemukan ketepatannya. Sibang dan kawan-kawan masih memikirkan istilah lainnya yang dipandang lebih tepat, seperti "tumpang gulir" atau "sistem rotasi".
Akan tetapi, mereka hendak membedakan dengan pola tumpang sari, di mana ada tanaman pokok dan komoditas lainnya sebagai pendukung. Begitu tanaman pokok dan pendukung dipanen semua maka bedengan kosong dan petani mulai mengolah lagi untuk penanaman berikutnya. Pada pola tumpang gilir, semua komoditas sayuran berstatus sebagai tanaman pokok yang bakal dipanen bergilir.
"Kalau tumpang sari akan `kepedhotan` (terputus, red.) panen," katanya.
Sebanyak tujuh di antara puluhan anggota kelompok itu, yakni Sibang, Longgar, Maryono, Riyadi, Tarsisius, Kartin, dan Gimin, merintis pertanian tumpang gilir di areal masing-masing, termasuk di sebagian lahan "Sekolah Sawah" untuk anak-anak setempat.
Mereka, petani di empat dusun di Desa Ngargomulyo, yakni Dusun Gemer, Tangkil, Ngandong, dan Batur Ngisor. Luas lahan untuk tumpang gilir penanaman sayuran mereka yang menggunakan "green house" itu, berbeda-beda, namun umumnya macam-macam sayuran yang dibudidayakan hampir sama.
Riyadi yang juga bekerja di SD Prontakan, Desa Ngargomulyo yang murid-muridnya juga berkecimpung dalam "Sekolah Sawah", memulai tanam pola tumpang gilir, baru sejak akhir Mei lalu. Ia tanami sebagian dari 500 meter persegi areal pertaniannya dengan pola itu.
"Belum panen, saya tanam kailan, selada, dan lettuce. Pak Sibang banyak menyampaikan prakarsa dan pemikirannya kepada kami," katanya.
Di areal pertaniannya seluas 100 meter persegi, Longgar menanam dengan pola itu, antara lain selada, bayam merah, centhol, sawi sendok. Dengan menggunakan "green house", ia bersama kawan-kawan di kelompok itu tidak lagi berpikir banyak tentang pemakaian obat-obatan pertanian untuk mengatasi hama dan penyakit.
Setiap satu minggu, ia satu kali tanam sayuran. Dirinya masih tahapan satu minggu sekali panen pertanian organiknya itu. Hingga saat ini, ia telah tiga kali panen untuk dipasok ke penyalur di Pasar Kranggan, sebagaimana kesepakatan kelompok.
"Arahnya tentu setiap hari panen. Jumlah yang dipanen sedikit-sedikit, tetapi berkelanjutan, dengan harga lebih tinggi daripada sayuran umumnya atau yang nonorganik," ujarnya.
Sibang sebagai pemrakarsa pola tanam gilir memang sosok yang terpanggil untuk berpikir lebih serius ketimbang kawan-kawannya, termasuk menjaga kemitraan dengan pihak penyalur melalui kontak secara intensif untuk saling berbagi informasi, seperti menyangkut harga dan komoditas yang siap panen.
Ia harus "njelimet" atau detail berhitung, misalnya menyangkut pengaturan bedeng untuk 15 komoditas sayuran organik yang harus ditanam. Arealnya sebagai paling luas, mencapai 900 meter persegi, untuk ditanami sayuran dengan pola itu.
"Awal Januari lalu saya mulai tanam dan akhir Februari mulai panen terus menerus sampai saat ini," katanya pagi itu, ketika dijumpai sedang mengawasi kelancaran pasokan air dari mata air di kawasan Gunung Merapi, melalui selang-selang di setiap bedeng lahan pertaniannya di samping rumahnya di Dusun Gemer.
Setiap areal pertanian --berapa pun total luasnya-- dibagi menjadi 15 bedeng untuk menjaga keberlanjutan penanaman dan pemanenan agar bisa berotasi setiap satu bulan.
Begitu seterusnya perputaran pola menanam dan memanen 15 komoditas sayuran yang umumnya sayuran daun itu, yakni selada merah dan hijau, kol merah, tomat ceri, spinack atau bayam jepang, parsley atau paterseli, bayam merah dan hijau, kailan, lettuce atau selada krop, pagoda, sawi sendok, cabai paprika (hijau, kuning, unggu, dan merah), okra merah dan hijau, dihitungnya secara "njelimet".
Benih dan bibit tanaman organik itu, mereka cari di sejumlah toko pertanian tertentu, seperti di kompleks Pasar Salaman, Pasar Ngablak (Kabupaten Magelang) dan toko-toko pertanian di Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) dengan harga setiap paket berkisar Rp20.000 hingga Rp60.000.
Umumnya, masa tanam hingga panen komoditas mereka antara 23-30 hari, tetapi untuk selada hijau dan kol merah harus melalui pembesaran di persemaian atau polibek terlebih dahulu antara 25-20 hari, sebelum ditancapkan di bedengan.
Jumlah panenan untuk berbagai komoditas itu berbeda-beda, namun dicontohkan satu tanaman paprika bisa total panen satu kilogram dengan satu kali petik sekitar dua ons.
Mereka mematok rata-rata harga panenan sekitar Rp10.000 per kilogram, meskipun riilnya saat ini, seperti kol merah antara Rp15.000-Rp25.000, selada merah sekitar Rp12.000, dan selada krop antara Rp20.000-Rp25.000.
Tanpa menyebut harga terkini berbagai sayuran nonorganik yang umumnya ditanam petani kawasan Gunung Merapi, Sibang mengatakan harga panenannya lebih tinggi dengan konsumennya saat ini kalangan menengah ke atas dan dipasok untuk kebutuhan hotel serta restoran di kota-kota besar.
"Sesuai dengan konsumen dari penyalur mitra kami," ujarnya.
Penggunaan "green house" mereka alami sebagai cara ampuh mengatasi hama dan penyakit, serta menjaga kelembapan tanah. Kalau toh terjadi serangan, hal itu relatif sedikit dan berasal dari unsur yang terkandung dalam kompos (kotoran ternak dan serasah) serta pupuk cair (urine kambing atau sapi, hijau-hijauan daun, akar-akaran, umbi-umbian, dan mikroba).
Hama sayuran seperti belalang, kepik, dan kutu daun ditangani dengan penyemprotan pestisida nabati, sedangkan serangan penyakit seperti leles (bakteri) diatasi dengan pemberian fungisida alami yang bahan-bahannya, antara lain belerang, kapur, ziolit, perusi, dan empon-empon.
Dengan pola tumpang gilir itu, mereka membebaskan diri dari ambisi panen raya yang umumnya membuat harga jatuh. Pola itu membawa mereka panen setiap jenissayuran secara konsisten dengan harga relatif stabil karena jumlahnya bisa ajek.
Sibang menyebut dukungan alam untuk kelompoknya menerapkan tanam tumpang gilir secara mandiri, antara lain kucuran air mencukupi, bahan baku pupuk kandang melimpah karena setiap petani juga beternak, dan ketinggian areal sekitar 750 meter dari permukaan air laut sebagai cocok untuk hortikultura.
Namun, pola itu juga diakui membutuhkan tenaga yang lebih berat karena setiap petani harus menjaga secara rutin setiap perkembangan tanaman. Mereka juga harus "njelimet" menghitung setiap jenis sayuran yang dibudidayakan, supaya rotasi sebulan bisa berkelanjutan.
Selain itu, petani harus menjaga sebaik-baiknya relasi kemitraan dengan penyalur, melalui keteguhan terhadap komitmen pertanian organik.
"Butuh kesetiaan dengan pikiran dan kesepakatan dengan waktu tanam. Memang rumit, tapi menyenangkan. Petani tidak dikuasai pasar dan pasar juga menghargai petani. Kami berdaulat atas tanah subur kami," ujarnya.