Tidak serta merta seniman Tantto Dekora melukiskan Candi Borobudur mendominasi kanvas untuk karyanya pada 2016 yang kemudian diberi nama Pure Nature atau alam asri.
Hal yang untuk menyebut bangungan warisan budaya dunia itu, dilukiskan dalam bentuk bangunan berundak tipe Buddha dengan stupa induk dan sejumlah stupa lainnya.
Latar depan berupa dahan pohon yang melengkung seperti membentuk huruf "T" dengan gerumbulan dedaunan yang rimbun, seolah menjadi penaung goresan untuk menyimbulkan Candi Borobudur.
Bangunan peninggalan sekitar abad kedelapan Masehi tersebut, hanya menjadi bagian dari keseluruhan pesan besar tentang lingkungan lestari atas kawasan candi yang bernilai agung itu.
Hampir seluruh lukisan di kanvasnya itu didominasi warna hijau dengan berbagai gradasi. Goresan kuasnya untuk mewujudkan alam asri Candi Borobudur dalam imajinasi abad ke-10 Masehi Tantto, selain berupa pepohonan besar juga beragam bentuk dedaunan dan tanaman.
Ada juga lukisan tentang berbagai satwa, seperti gajah, harimau, dan kijang yang diceritakan sedang menjalani kehidupannya di alam sekitar Candi Borobudur.
Sebuah danau dengan berbagai macam ikan juga ditorehkan dalam karya yang pernah diikutkan dalam Pameran "Terawang Borobudur Abad X" di Jogja Gallery Yogyakarta pada 14-26 Maret lalu.
Begitu pula, beberapa ekor burung dituturkan di kanvas sedang bercengkerama di udara. Mereka beterbangan di antara dahan pepohonan di atas candi.
Lukisan "Pure Nature" dengan cat akrilik selebar 145 X 185 centimeter itu, sejak beberapa waktu terakhir dipajang di Limanjawi Art House, sekitar 600 meter timur Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Limanjawi Art House Borobudur yang dikelola seniman Umar Chusaeni itu, salah satu tempat penting bagi Tantto yang juga tergabung dalam Komunitas Seniman Borobudur Indonesia 15, untuk melahirkan karya-karya lukisnya.
Karya "Pure Nature" yang melingkupi Candi Borobudur seperti mendapatkan tempat bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh setiap 5 Juni, di mana orang didorong meningkatkan kesadaran untuk melestarikan lingkungan alam.
Tak satu pun lukisan tentang manusia atau aktivitas mereka dalam karya Tantto itu, malah justru menohok kesadaran tentang pentingnya umat manusia menjaga keasrian alam.
Selama ini, Tantto memang mengakui bahwa sebagian besar karya lukisannya menuangkan gagasan dan imajinasi tentang lingkungan alam. Ia seperti mendapat tempat tepat untuk menggali inspirasi dari Candi Borobudur dengan lingkungan alamnya yang hingga saat ini terus dijaga oleh seluruh komponen masyarakat.
"Konsepnya memang mengangkat tentang keindahan dan kelestarian alam sekitar. Berbagai hewan dan satwa harus dilindungi, supaya jangan punah," ujar Tantto yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta.
Terlebih bagi Candi Borobudur yang warisan budaya dunia, ia tidak cukup hanya dijaga keawetan bangunannya yang berupa tatanan dua juta batuan dengan berbagai relief ajaran universal bagi kemanusiaan, akan tetapi juga alam sekitarnya harus dijaga.
Kalau latar depan Borobudur berupa pepohonan dengan proporsi lebih menonjol besarnya ketimbang tanaman lain dalam karya itu, ternyata Tantto ingin menyampaikan pesan kepada penikmat karyanya itu soal kekuasaan.
"Tentang sesuatu hal yang besar sudah sewajarnya mengayomi yang kecil atau lemah. Bukan malah sok berkuasa dan berhak untuk merusak semua sistem di muka bumi ini," ucapnya.
Pralambang tentang pentingnya melestarikan lingkungan alam kawasan Candi Borobudur juga dilakukan ratusan seniman petani di Kabupaten Magelang dan beberapa daerah lainnya saat puncak kegiatan "Ruwat-Rawat Borobudur", beberapa waktu lalu.
Kirab budaya
Mereka melakukan kirab budaya dengan mengusung sedikitnya empat tandu berupa gunungan hasil bumi, panenan di areal pertanian kawasan Candi Borobudur. Kegiatan selama sekitar dua bulan itu sebagai agenda tahun ke-14 yang dipelopori pegiat seni budaya sekitar Candi Borobudur, Sucoro.
Dengan mengenakan berbagai pakaian kesenian tradisional dan lainnya memakai pakaian adat Jawa, mereka berjalan kaki mengelilingi candi itu beberapa kali dalam suasana tenang, tanpa keramaian tetabuhan.
Acara itu sekaligus menarik perhatian wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara, karena menjadi tambahan atraksi kunjungan wisata mereka ke Candi Borobudur.
"Masyarakat menyatakan ikut menjaga Candi Borobudur dengan melestarikan kawasannya, lingkungan alamnya, seni dan budayanya," kata Sucoro yang juga Penanggung Jawab Panitia "14 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur".
Begitu pula dengan prosesi jalan kaki puluhan ribu umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia, saat puncak Waisak, pertengahan Mei lalu. Mereka yang berjalan kaki dari Candi Mendut ke Borobudur, sebagai jalan meditasi pada hari penting keagamaan Buddha itu, tak hanya membawa berbagai sarana dan prasarana utama pujabakti Waisak.
Akan tetapi, umat Buddha juga mengusung sejumlah tandu yang berisi aneka hasil bumi, melambangkan lingkungan alam yang lestari di kawasan Candi Borobudur sehingga menghasilkan panenan pertanian yang melimpah.
Lingkungan alam di kawasan Candi Borobudur memang menakjubkan. Potensi alam yang memadai itu telah mendorong kesadaran masyarakat setempat untuk mengembangkan objek-objek wisata. Wisatawan dibawa untuk tidak lagi sekadar melihat dari dekat Candi Borobudur, tetapi juga melihat dari jauh bangunan megah itu.
Salah satu lokasi menakjubkan dan kini populer untuk tempat memandang Candi Borobudur dari jarak relatif jauh adalah Punthuk Setumbu di Desa Karangrejo, sekitar tiga kilometer barat candi tersebut.
Di tempat setinggi sekitar 425 meter dari permukaan air laut itu, pengunjung akan dibawa kepada pesona "negeri awan" yang mengelilingi Candi Borobudur, saat bersamaan dengan posisi matahari terbit.
Sukses masyarakat setempat dengan didukung pihak-pihak terkait dalam menawarkan alam berkabut yang asri Borobudur kepada wisatawan di Punthuk Setumbu, mendorong warga desa-desa lainnya merawat potensi alamnya, untuk tempat wisatawan menikmati hamparan alam hijau kawasan Candi Borobudur.
Saat ini, warga beberapa desa, khususnya di kawasan Pegunungan Menoreh di perbatasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, membuka lokasi untuk memandang takjubnya lingkungan alam yang hijau di Borobudur.
Dengan demikian, mereka pun makin tergugah untuk terus melestarikan lingkungan alamnya.
Pihak pengelola kepariwisataan Candi Borobudur, yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, sejak beberapa waktu terakhir mendorong penyebaran aktivitas wisata sehingga bukan hanya terpusat di candi megah itu.
Akan tetapi, wisatawan juga didorong mengunjungi desa-desa wisata di sekitar Candi Borobudur. Hal itu ditempuh karena memang lingkungan alam kawasan Borobudur menyimpan berbagai potensi pariwisata, baik potensi alam, seni budaya, maupun aktivitas masyarakat desa yang umumnya sebagai petani dan perajin.
Oleh karena itu, perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara itu secara gencar menjalin kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membuka Balai Ekonomi Desa (Balkondes) di desa-desa sekitar candi. Kecamatan Borobudur meliputi 20 desa.
Lingkungan alam sekitar Candi Borobudur memang sudah jauh melepaskan perjalanan sejarahnya setelah dibangun pada abad kedelapan, atau bukan semata-mata mewujud dalam imajinasi abad ke-10 sebagaimana "Pure Nature" karya pelukis Tantto Dekora. Akan tetapi, Candi Borobudur hingga saat ini memang masih tetap dalam rengkuhan lingkungan alam yang asri.
Generasi pewaris karya luhur nenek moyang bangsa Indonesia, semoga kelak tetap menguasai diri untuk menjaga Candi Borobudur dengan lingkungan alamnya. Agar tetap lestari.
Hal yang untuk menyebut bangungan warisan budaya dunia itu, dilukiskan dalam bentuk bangunan berundak tipe Buddha dengan stupa induk dan sejumlah stupa lainnya.
Latar depan berupa dahan pohon yang melengkung seperti membentuk huruf "T" dengan gerumbulan dedaunan yang rimbun, seolah menjadi penaung goresan untuk menyimbulkan Candi Borobudur.
Bangunan peninggalan sekitar abad kedelapan Masehi tersebut, hanya menjadi bagian dari keseluruhan pesan besar tentang lingkungan lestari atas kawasan candi yang bernilai agung itu.
Hampir seluruh lukisan di kanvasnya itu didominasi warna hijau dengan berbagai gradasi. Goresan kuasnya untuk mewujudkan alam asri Candi Borobudur dalam imajinasi abad ke-10 Masehi Tantto, selain berupa pepohonan besar juga beragam bentuk dedaunan dan tanaman.
Ada juga lukisan tentang berbagai satwa, seperti gajah, harimau, dan kijang yang diceritakan sedang menjalani kehidupannya di alam sekitar Candi Borobudur.
Sebuah danau dengan berbagai macam ikan juga ditorehkan dalam karya yang pernah diikutkan dalam Pameran "Terawang Borobudur Abad X" di Jogja Gallery Yogyakarta pada 14-26 Maret lalu.
Begitu pula, beberapa ekor burung dituturkan di kanvas sedang bercengkerama di udara. Mereka beterbangan di antara dahan pepohonan di atas candi.
Lukisan "Pure Nature" dengan cat akrilik selebar 145 X 185 centimeter itu, sejak beberapa waktu terakhir dipajang di Limanjawi Art House, sekitar 600 meter timur Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Limanjawi Art House Borobudur yang dikelola seniman Umar Chusaeni itu, salah satu tempat penting bagi Tantto yang juga tergabung dalam Komunitas Seniman Borobudur Indonesia 15, untuk melahirkan karya-karya lukisnya.
Karya "Pure Nature" yang melingkupi Candi Borobudur seperti mendapatkan tempat bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh setiap 5 Juni, di mana orang didorong meningkatkan kesadaran untuk melestarikan lingkungan alam.
Tak satu pun lukisan tentang manusia atau aktivitas mereka dalam karya Tantto itu, malah justru menohok kesadaran tentang pentingnya umat manusia menjaga keasrian alam.
Selama ini, Tantto memang mengakui bahwa sebagian besar karya lukisannya menuangkan gagasan dan imajinasi tentang lingkungan alam. Ia seperti mendapat tempat tepat untuk menggali inspirasi dari Candi Borobudur dengan lingkungan alamnya yang hingga saat ini terus dijaga oleh seluruh komponen masyarakat.
"Konsepnya memang mengangkat tentang keindahan dan kelestarian alam sekitar. Berbagai hewan dan satwa harus dilindungi, supaya jangan punah," ujar Tantto yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta.
Terlebih bagi Candi Borobudur yang warisan budaya dunia, ia tidak cukup hanya dijaga keawetan bangunannya yang berupa tatanan dua juta batuan dengan berbagai relief ajaran universal bagi kemanusiaan, akan tetapi juga alam sekitarnya harus dijaga.
Kalau latar depan Borobudur berupa pepohonan dengan proporsi lebih menonjol besarnya ketimbang tanaman lain dalam karya itu, ternyata Tantto ingin menyampaikan pesan kepada penikmat karyanya itu soal kekuasaan.
"Tentang sesuatu hal yang besar sudah sewajarnya mengayomi yang kecil atau lemah. Bukan malah sok berkuasa dan berhak untuk merusak semua sistem di muka bumi ini," ucapnya.
Pralambang tentang pentingnya melestarikan lingkungan alam kawasan Candi Borobudur juga dilakukan ratusan seniman petani di Kabupaten Magelang dan beberapa daerah lainnya saat puncak kegiatan "Ruwat-Rawat Borobudur", beberapa waktu lalu.
Kirab budaya
Mereka melakukan kirab budaya dengan mengusung sedikitnya empat tandu berupa gunungan hasil bumi, panenan di areal pertanian kawasan Candi Borobudur. Kegiatan selama sekitar dua bulan itu sebagai agenda tahun ke-14 yang dipelopori pegiat seni budaya sekitar Candi Borobudur, Sucoro.
Dengan mengenakan berbagai pakaian kesenian tradisional dan lainnya memakai pakaian adat Jawa, mereka berjalan kaki mengelilingi candi itu beberapa kali dalam suasana tenang, tanpa keramaian tetabuhan.
Acara itu sekaligus menarik perhatian wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara, karena menjadi tambahan atraksi kunjungan wisata mereka ke Candi Borobudur.
"Masyarakat menyatakan ikut menjaga Candi Borobudur dengan melestarikan kawasannya, lingkungan alamnya, seni dan budayanya," kata Sucoro yang juga Penanggung Jawab Panitia "14 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur".
Begitu pula dengan prosesi jalan kaki puluhan ribu umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia, saat puncak Waisak, pertengahan Mei lalu. Mereka yang berjalan kaki dari Candi Mendut ke Borobudur, sebagai jalan meditasi pada hari penting keagamaan Buddha itu, tak hanya membawa berbagai sarana dan prasarana utama pujabakti Waisak.
Akan tetapi, umat Buddha juga mengusung sejumlah tandu yang berisi aneka hasil bumi, melambangkan lingkungan alam yang lestari di kawasan Candi Borobudur sehingga menghasilkan panenan pertanian yang melimpah.
Lingkungan alam di kawasan Candi Borobudur memang menakjubkan. Potensi alam yang memadai itu telah mendorong kesadaran masyarakat setempat untuk mengembangkan objek-objek wisata. Wisatawan dibawa untuk tidak lagi sekadar melihat dari dekat Candi Borobudur, tetapi juga melihat dari jauh bangunan megah itu.
Salah satu lokasi menakjubkan dan kini populer untuk tempat memandang Candi Borobudur dari jarak relatif jauh adalah Punthuk Setumbu di Desa Karangrejo, sekitar tiga kilometer barat candi tersebut.
Di tempat setinggi sekitar 425 meter dari permukaan air laut itu, pengunjung akan dibawa kepada pesona "negeri awan" yang mengelilingi Candi Borobudur, saat bersamaan dengan posisi matahari terbit.
Sukses masyarakat setempat dengan didukung pihak-pihak terkait dalam menawarkan alam berkabut yang asri Borobudur kepada wisatawan di Punthuk Setumbu, mendorong warga desa-desa lainnya merawat potensi alamnya, untuk tempat wisatawan menikmati hamparan alam hijau kawasan Candi Borobudur.
Saat ini, warga beberapa desa, khususnya di kawasan Pegunungan Menoreh di perbatasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, membuka lokasi untuk memandang takjubnya lingkungan alam yang hijau di Borobudur.
Dengan demikian, mereka pun makin tergugah untuk terus melestarikan lingkungan alamnya.
Pihak pengelola kepariwisataan Candi Borobudur, yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, sejak beberapa waktu terakhir mendorong penyebaran aktivitas wisata sehingga bukan hanya terpusat di candi megah itu.
Akan tetapi, wisatawan juga didorong mengunjungi desa-desa wisata di sekitar Candi Borobudur. Hal itu ditempuh karena memang lingkungan alam kawasan Borobudur menyimpan berbagai potensi pariwisata, baik potensi alam, seni budaya, maupun aktivitas masyarakat desa yang umumnya sebagai petani dan perajin.
Oleh karena itu, perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara itu secara gencar menjalin kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membuka Balai Ekonomi Desa (Balkondes) di desa-desa sekitar candi. Kecamatan Borobudur meliputi 20 desa.
Lingkungan alam sekitar Candi Borobudur memang sudah jauh melepaskan perjalanan sejarahnya setelah dibangun pada abad kedelapan, atau bukan semata-mata mewujud dalam imajinasi abad ke-10 sebagaimana "Pure Nature" karya pelukis Tantto Dekora. Akan tetapi, Candi Borobudur hingga saat ini memang masih tetap dalam rengkuhan lingkungan alam yang asri.
Generasi pewaris karya luhur nenek moyang bangsa Indonesia, semoga kelak tetap menguasai diri untuk menjaga Candi Borobudur dengan lingkungan alamnya. Agar tetap lestari.