Selama ini tanah liat dikenal sebagai bahan baku pembuatan genting dan bata, namun bagi siswa Kelas XI IPA 6 SMA Taruna Nusantara Magelang, Bagas Pramana Putra Fadhila, tanah liat dimanfaatkan sebagai bahan baku panel surya.

Panel surya adalah perangkat rakitan sel-sel fotovoltaik yang mengonversi sinar matahari menjadi listrik. Dengan menggunakan bahan baku dari tanah liat ini, biayanya menjadi lebih murah.

Temuan spektakuler tersebut mengantarkan alumni SMP Negeri 8 Yogyakarta ini meraih juara dua dalam lomba "Pertamina Ide Gila Energy Competition 2017" pada April lalu.

Pada lomba terbuka untuk umum tersebut, ada dua kategori, yakni ide bisnis kreaktif dan terobosan produk serta teknologi. Bagas mengikuti kategori terobosan produk dan teknologi.

Sebanyak 6.342 peserta dengan 1.464 ide kreaktif ikut dalam lomba ini. Setelah melalui seleksi yang ketat, proposal yang diajukan Bagas lolos dan masuk dalam 27 besar untuk mengikuti semifinal di Bandung.

Bagas merupakan satu-satunya pelajar yang lolos dalam semifinal tersebut dan dia harus bersaing dengan para mahasiswa, akademisi/dosen, bahkan telah bergelar doktor.

Anak pertama pasangan Nafrizal dan Patmi Wiji Utami ini masuk dalam 10 finalis terdiri atas masing-masing kategori lima orang.

Pada 29 April 2017, Bagas harus mempresentasikan dihadapan dewan juri yang terdiri atas Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali dan Sekretaris Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM Dr Dadan Kusdiana, Creative Expert Yoris Sebastian, dan Executive Director ICCTF Dr Erwin Widodo.

Siswa SMA Taruna Nusantara yang mendapat beasiswa dari PT Pelindo II ini akhirnya terpilih menjadi juara dua untuk kategori terobosan produk dan teknologi dan berhak mendapat hadiah uang tunai Rp89 juta dan untuk prototipe sebesar Rp5 juta.

Menurut Bagas, penelitian yang dilakukan terinspirasi waktu kecil sering main tamia dan kalau baterainya habis kemudian dijemur di bawah sinar matahari dan ternyata setelah dijemur bisa digunakan lagi.

Kemudian waktu di SMA ini dirinya menemukan suatu hukum yang menjelaskan tentang fenomena tersebut dan Indonesia merupakan negara khatulistiwa yang sinar mataharinya melimpah yang bisa dimanfaatkan sebagai panel surya yang biayanya saat ini masih cukup mahal.

"Tetapi orang lupa dengan sinar matahari melimpah itu, dia juga akan merusak kondisi sel surya tersebut dan di situ tantangan yang harus saya selesaikan," katanya.

Ia menuturkan tentang bagaimana membuat sel surya yang cocok dengan kondisi di Indonesia, tetapi harganya lebih murah dan dapat dibuat di dalam negeri.

"Saya kemudian mencari bahan baku dari tanah liat dari Kasongan Bantul, pasir laut, dan air laut dari Pantai Parangkusumo. Bahan ini dicampur sesai proporsinya kemudian dibentuk genting kotak-kotak dengan diberi isi sel magnisium dan tembaga," katanya.

Ia menjelaskan genting dibuat dengan ukuran 10x27 centimeter ada empat, kemudian ukuran 10x14 centimeter ada delapan. Genting tersebut ditata menyerupai panel surya dan dijemur agar terkena panas sinar matahari.

"Tanah liat yang dibentuk genting yang telah dilapisi lembengan tembaga tersebut kemudian dijemur seperti kerja panel surya, sedangkan di bawahnya diberikan replitor aluminium foil dan di atasnya ditutup dengan akrelik agar tidak terkena air hujan," katanya.

Melalui hasil penelitiannya yang diberi nama Genteng Triko tersebut, biaya pembangkitan setiap 1 watt dengan biaya 2 dolar, sedangkan dengan sel surya setiap 1 watt membutuhkan biaya mencapai 10 dolar sehingga lebih hemat dan murah.

Pemakaian tanah liat tersebut risetnya telah dilakukannya sejak kelas X, waktu itu dirinya mengikuti lomba festival inovasi kewirausahaan yang diselengagrakan Kemendikbud dan mendapat mendali emas dengan karya koyo dari tanah liat, yakni jamu diekstrak ke dalam tanah liat.

Ia menuturkan lebih baik menggunakan tanah liat karena bersifat aksoben, seperti spon yang bisa menyimpan sesuatu lebih kuat dari pada yang lain.

"Kalau menggunakan tanah biasa, daya simpannya tidak sekuat tanah liat dan tanah liat bisa ditemukan di setiap daerah," katanya.

Pembimbingnya dalam penelitian tersebut, Amin Sukarjo, mengatakan Bagas merupakan anak yang ulet, tidak mudah menyerah, dan dia mau mengeksplorasi lebih dalam masing-masing bidang.

Ia mengatakan sejak SMP dia sudah senang melakukan penelitian. Saat mau lomba di Pertamina harus membuat prototipe dan dikerjakan nglembur sampai malam, bahkan pagi hari.

Kepala SMA Taruna Nusantara Usdiyanto mengatakan sekolah terus menumbuhkan potensi yang dimiliki anak didik, baik bidang penelitian, nonakademik, maupun lainnya.

Ia menuturkan institusi memberikan peluang pada semua siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan minatnya.

Anak-anak yang mempunyai kelebihan dalam arti kemampuan intelektual, keterampilan, dan lainnya selalu didorong untuk maju, termasuk para pembina diminta untuk mengembangkan setiap potensi.

"Muaranya kami ingin membentuk peradaban bangsa dengan generasi muda yang berkembang," katanya.

Menurut dia, nomor satu sebenarnya bukan keterampilan dan intelektualnya, tetapi lebih pada kepribadian dan karakternya agar mereka nanti setelah dewasa bisa berguna bagi bangsa dan negara.

"Menjadi orang yang mengabdi pada bangsanya, selalu berpikir untuk kemajuan, selalu berpikir untuk inovasi, tetapi di sisi lain mereka tetap rendah hati," katanya.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor :
Copyright © ANTARA 2024