Teknologi informasi membuka peluang bagi siapa saja yang mau mengais rupiah, termasuk para mahasiswa. Bagi mereka, modal uang bukan segala-galanya.
Yang lebih penting adalah tekad, ketekunan, dan kemauan memberi pelayanan terbaik kepada pelanggan.
Itulah yang dilakukan sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Di tengah kesibukan kuliah, mereka memiliki tekad untuk mandiri, setidaknya meringankan beban orang tua.
Milatina Nurul Hasanah, mahasiswi Unnes, kini menekuni bisnis pakaian dengan konsep toko dalam jaringan (daring) sehingga pemasarannya luas. Konsep bisnisnya adalah "fashion online shop".
Mahasiswa Sastra Inggris ini telah menekuni bisnis tersebut sejak 1,5 tahun lalu, bersama dengan kakaknya. Pemilik Zappelinshop ini mengisahkan, semula iseng berbisnis dengan hanya menjual tas, lalu berlaih ke pakaian.
Menurut dia, anak muda zaman sekarang lebih antusias dengan pakaian. Dalam waktu dekat ia juga akan berjualan sepatu karena pakaian dan sepatu saling melengkapi penampilan seseorang.
Dari semula sekadar iseng, Milatina kini mulai merasakan gurihnya uang dari hasil berbisnis pakaian melalui daring. Bisnisnya kini menjadi pekerjaan sampingan, dengan kuliah sebagai kegiatan utama.
Menurut Milatina, dari hasil bisnis sampingan tersebut ia bisa mencukupi kebutuhan sendiri, terlebih untuk urusan kuliah.
Dia mengatakan bisnis yang digelutinya saat ini memang lebih fokus ke pakaian karena perkembangan mode yang pesat. Perkembangan mode pakaiannya termasuk salah satu variable yang mendorong bisnis pakaian berjalan lancar.
"Zaman sekarang orang lebih fokus dengan dunia online, mereka sibuk dan tidak punya waktu untuk jalan-jalan. Melalui online mereka dapat melihat gambar dari ponsel. Dengan duduk manis di rumah atau kantor, pesanan bisa segera sampai," ujarnya kepada reporter magang Yekti UP dan Hana SJ.
Mahasiswa yang akrab disapa Mamil ini memang tidak langsung membuka toko sendiri. Ia mengawali bisnisnya dengan menjadi "reseller".
Setelah memiliki modal cukup, dia membuka usaha sendiri, menjalin kerja sama dengan pabrik pakaian lokal sehingga produk yang dia butuhkan tinggal dipesan dan siap untuk diambil.
Namun, Mamil tidak sembarangan menjalin kerja sama dengan mitra. Ia memastikan produknya bermutu dengan kualitas bahan yang bagus.
Oleh karena itu, ia menjamin bahwa barang yang dipesan pelanggan sesuai dengan keterangan dan foto yang diunggah di media sosialnya. Untuk menunjang bisnisnya, ia memang mengandalkan media sosial.
Untuk memberikan pelayanan prima, dia memilih jasa pengiriman tercepat dan teraman agar pelanggan tidak khawatir dan menunggu lama.
Dari usahanya tersebut, Mamil bias memperoleh keuntungan Rp4-5 juta/bulan. Dengan keuntungan tersebut, Mamil kini tidak lagi menggantungkan uang dari orang tua.
"Kami dapat memenuhi kebutuhan hidup dari hasil penjualan pakaiannya tersebut," katanya.
Ia menegaskan kesibukan berbisnis juga tidak sampai mengacaukan kuliah.
Sejauh ini belum ada kendala berarti selama menjalankan bisnis, kecuali beberapa pelanggan yang tiba-tiba membatalkan pesanan. Ke depan, Mamil berharap Zappelinshop bisa memiliki banyak "reseller" dan bisa menjual produk tidak hanya ke seluruh Indonesia tetapi juga sampai ke luar negeri.
Mengasyikkan
Mahasiswa Unnes lain juga sukses terjun ke dunia bisnis, Fadhil Khairi Mutha. Berbeda dengan Mamil yang berbisnis pakaian, Fadhil menekuni ojek daring kampus.
Dari usahanya, ia mendapatkan uang membiayai kuliahnya. Kendati jasa ojek berbasis aplikasi marak di Kota Semarang, Fadhil mencari jalan sendiri untuk memasarkan jasanya, melalui media sosial.
Instagram menjadi pilihannya untuk menggaet pelanggan. Berbeda dengan ojek berbasis aplikasi yang melayani beragam rute, Fadhil menjajakan jasanya dengan menetapkan rute: dari kampus Unnes ke arah Stasiun KA Poncol, RSUP Kariadi Semarang, Terminal Ungaran, PGSD Ngaliyan, dan ke arah sebaliknya.
Selain rute tersebut, ia bisa melayani namun dengan ongkos jasa yang berbeda. Untuk rute Unnes ke berbagai lokasi yang sudah ditentukan, Fadhil mengutip Rp15.000-Rp20.000 sekali jalan.
"Tarif sama untuk rute sebaliknya," kepada reporter magang Fajar NH dan Aswar Anas.
Untuk mempromosikan ojek online-nya, Fadhil menilai Instagram merupakan media efektif. Konsumen Fadhil tidak hanya mahasiswa Unnes dan masyarakat sekitar Sekaran dan Gunungpati, tempat kampus Unnes berdiri. Mahasiswa Undip dan Unika Soegijapranata juga menjadi pelanggan setia Fadhil.
Fadhil tidak rinci menyebutkan penghasilannya. Ia hanya mengungkapkan bahwa hasil dari antar jemput menggunakan sepeda motor tersebut mampu membayar biaya uang kuliah tunggal (UKT) untuk mahasiswa dari golongan menengah. UKT di Unnes terendah Rp1 juta/semester dan tertinggi Rp8 juta/semester.
Fadhil mengaku selain memberi penghasilan, mengojek merupakan kegiatan yang mengasyikkan karena selain bisa jalan-jalan, juga bisa berkenalan dengan banyak orang.
Langkah sama juga dilakukan oleh Sekarayu Asmara. Mahasiswa PTS Semarang ini bersama rekannya menjual "taichan" (semaca satai ayam) dan ayam "geprek". Sama seperti Mamil dan Fadhil, Sekar juga memanfaatkan Instagram untuk menjalankan bisnisnya.
Bagi mereka, untuk memulai berbinis tidak perlu menunggu lulus kuliah. Itu bisa dilakukan ketika melihat ada peluang. Banyak orang ketika melihat peluang malah sibuk membahas, namun tidak kunjung bertindak.
Yang membedakan Mamil, Fadhil, dan Sekarayu dengan mahasiswa lain, mereka berani mengambil keputusan ketika melihat peluang.
Yang lebih penting adalah tekad, ketekunan, dan kemauan memberi pelayanan terbaik kepada pelanggan.
Itulah yang dilakukan sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Di tengah kesibukan kuliah, mereka memiliki tekad untuk mandiri, setidaknya meringankan beban orang tua.
Milatina Nurul Hasanah, mahasiswi Unnes, kini menekuni bisnis pakaian dengan konsep toko dalam jaringan (daring) sehingga pemasarannya luas. Konsep bisnisnya adalah "fashion online shop".
Mahasiswa Sastra Inggris ini telah menekuni bisnis tersebut sejak 1,5 tahun lalu, bersama dengan kakaknya. Pemilik Zappelinshop ini mengisahkan, semula iseng berbisnis dengan hanya menjual tas, lalu berlaih ke pakaian.
Menurut dia, anak muda zaman sekarang lebih antusias dengan pakaian. Dalam waktu dekat ia juga akan berjualan sepatu karena pakaian dan sepatu saling melengkapi penampilan seseorang.
Dari semula sekadar iseng, Milatina kini mulai merasakan gurihnya uang dari hasil berbisnis pakaian melalui daring. Bisnisnya kini menjadi pekerjaan sampingan, dengan kuliah sebagai kegiatan utama.
Menurut Milatina, dari hasil bisnis sampingan tersebut ia bisa mencukupi kebutuhan sendiri, terlebih untuk urusan kuliah.
Dia mengatakan bisnis yang digelutinya saat ini memang lebih fokus ke pakaian karena perkembangan mode yang pesat. Perkembangan mode pakaiannya termasuk salah satu variable yang mendorong bisnis pakaian berjalan lancar.
"Zaman sekarang orang lebih fokus dengan dunia online, mereka sibuk dan tidak punya waktu untuk jalan-jalan. Melalui online mereka dapat melihat gambar dari ponsel. Dengan duduk manis di rumah atau kantor, pesanan bisa segera sampai," ujarnya kepada reporter magang Yekti UP dan Hana SJ.
Mahasiswa yang akrab disapa Mamil ini memang tidak langsung membuka toko sendiri. Ia mengawali bisnisnya dengan menjadi "reseller".
Setelah memiliki modal cukup, dia membuka usaha sendiri, menjalin kerja sama dengan pabrik pakaian lokal sehingga produk yang dia butuhkan tinggal dipesan dan siap untuk diambil.
Namun, Mamil tidak sembarangan menjalin kerja sama dengan mitra. Ia memastikan produknya bermutu dengan kualitas bahan yang bagus.
Oleh karena itu, ia menjamin bahwa barang yang dipesan pelanggan sesuai dengan keterangan dan foto yang diunggah di media sosialnya. Untuk menunjang bisnisnya, ia memang mengandalkan media sosial.
Untuk memberikan pelayanan prima, dia memilih jasa pengiriman tercepat dan teraman agar pelanggan tidak khawatir dan menunggu lama.
Dari usahanya tersebut, Mamil bias memperoleh keuntungan Rp4-5 juta/bulan. Dengan keuntungan tersebut, Mamil kini tidak lagi menggantungkan uang dari orang tua.
"Kami dapat memenuhi kebutuhan hidup dari hasil penjualan pakaiannya tersebut," katanya.
Ia menegaskan kesibukan berbisnis juga tidak sampai mengacaukan kuliah.
Sejauh ini belum ada kendala berarti selama menjalankan bisnis, kecuali beberapa pelanggan yang tiba-tiba membatalkan pesanan. Ke depan, Mamil berharap Zappelinshop bisa memiliki banyak "reseller" dan bisa menjual produk tidak hanya ke seluruh Indonesia tetapi juga sampai ke luar negeri.
Mengasyikkan
Mahasiswa Unnes lain juga sukses terjun ke dunia bisnis, Fadhil Khairi Mutha. Berbeda dengan Mamil yang berbisnis pakaian, Fadhil menekuni ojek daring kampus.
Dari usahanya, ia mendapatkan uang membiayai kuliahnya. Kendati jasa ojek berbasis aplikasi marak di Kota Semarang, Fadhil mencari jalan sendiri untuk memasarkan jasanya, melalui media sosial.
Instagram menjadi pilihannya untuk menggaet pelanggan. Berbeda dengan ojek berbasis aplikasi yang melayani beragam rute, Fadhil menjajakan jasanya dengan menetapkan rute: dari kampus Unnes ke arah Stasiun KA Poncol, RSUP Kariadi Semarang, Terminal Ungaran, PGSD Ngaliyan, dan ke arah sebaliknya.
Selain rute tersebut, ia bisa melayani namun dengan ongkos jasa yang berbeda. Untuk rute Unnes ke berbagai lokasi yang sudah ditentukan, Fadhil mengutip Rp15.000-Rp20.000 sekali jalan.
"Tarif sama untuk rute sebaliknya," kepada reporter magang Fajar NH dan Aswar Anas.
Untuk mempromosikan ojek online-nya, Fadhil menilai Instagram merupakan media efektif. Konsumen Fadhil tidak hanya mahasiswa Unnes dan masyarakat sekitar Sekaran dan Gunungpati, tempat kampus Unnes berdiri. Mahasiswa Undip dan Unika Soegijapranata juga menjadi pelanggan setia Fadhil.
Fadhil tidak rinci menyebutkan penghasilannya. Ia hanya mengungkapkan bahwa hasil dari antar jemput menggunakan sepeda motor tersebut mampu membayar biaya uang kuliah tunggal (UKT) untuk mahasiswa dari golongan menengah. UKT di Unnes terendah Rp1 juta/semester dan tertinggi Rp8 juta/semester.
Fadhil mengaku selain memberi penghasilan, mengojek merupakan kegiatan yang mengasyikkan karena selain bisa jalan-jalan, juga bisa berkenalan dengan banyak orang.
Langkah sama juga dilakukan oleh Sekarayu Asmara. Mahasiswa PTS Semarang ini bersama rekannya menjual "taichan" (semaca satai ayam) dan ayam "geprek". Sama seperti Mamil dan Fadhil, Sekar juga memanfaatkan Instagram untuk menjalankan bisnisnya.
Bagi mereka, untuk memulai berbinis tidak perlu menunggu lulus kuliah. Itu bisa dilakukan ketika melihat ada peluang. Banyak orang ketika melihat peluang malah sibuk membahas, namun tidak kunjung bertindak.
Yang membedakan Mamil, Fadhil, dan Sekarayu dengan mahasiswa lain, mereka berani mengambil keputusan ketika melihat peluang.