Jakarta, ANTARA JATENG - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman
Gusman mengaku vonis hukuman 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan majelis
hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepadanya hari ini
tergolong berat.
Hakim menjatuhkan vonis hukuman empat tahun dan enam bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun kepada Irman karena dinilai terbukti menerima uang Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi.
"Putusan ini tentu berat untuk saya," kata Irman seusai menjalani sidang pembacaan vonis.
"Tapi yang penting bagaimana kita mendefinisikan persoalan korupsi ini dengan baik karena ini menyangkut soal kultur, perlu pendidikan yang baik," tambah dia.
Ia juga menyampaikan permintaan maaf karena terlibat dalam perkara itu.
"Setiap manusia itu kan tidak mungkin tidak ada yang salah, bagaimana kita ke depannya lebih baik lagi dan saat ini saya juga mohon maaf kalau ada yang salah dan mudah-mudahan semuanya bisa menjadi pembelajaran bagi saya," katanya.
Terkait pencabutan hak politiknya, Irman menyatakan menghormati putusan hakim tersebut.
Irman butuh tujuh hari untuk berpikir sebelum menyatakan menerima atau mengajukan banding terhadap putusan itu.
Penasihat hukum Irman, Maqdir Ismail, menilai vonis hukuman terhadap kliennya sudah tergolong rendah kalau dilihat dari ancaman terendah dakwaan alternatif pertama yaitu pasal 12 huruf b No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Meskipun menurut saya hukuman ini adalah hukuman yang perlu dipikirkan kita lihat ke depan seperti apa karena ancaman hukuman pasal 12 b minimal empat tahun sampai 20 tahun dan kalau dilihat dari ancaman terendahnya sudah cukup rendah," kata Maqdir.
Namun Maqdir tidak setuju dengan pencabutan hak politik yang diputuskan oleh hakim.
"Pencabutan hak politik ini hakim sudah memutuskan, meskipun dalam pembelaan kami tidak setuju dengan pencabutan hak politik, sebab dari ketentuan UU itu hak yang bisa dicabut itu adalah hak-hak tertentu yang bisa diberikan pemerintah dan hak politik itu bukan hak yang bisa diberikan pemerintah. Itu prinsip dasarnya," ungkap Maqdir.
Majelis hakim yang terdiri atas Nawawi Pamolango, Jhon Halasan Butarbutar, Franky Tambuwun, Ansyori Syaifuddin dan Muhammad Idris Muhammad Amin juga setuju untuk mencabut hak politik Irman berdasarkan pertimbangan pasal 18 ayat 1 huruf d Undang-Undang No.31/1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Tujuan penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih adalah untuk melindungi publik atau masyarakat dari kemungkinan terpilihnya kembali seseorang yang menduduki jabatan publik seperti anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD maupun pejabat publik lainnya karena anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan perwakilan masyarakat yang menampung aspirasinya maka anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak selayaknya berperilaku koruptif," kata hakim Nawawi.
Irman terbukti menerima uang Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi, karena mengupayakan perusahaan tersebut mendapatkan 1.000 ton jatah gula impor dari Divisi Regional Sumatera Barat dengan menelepon Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti.
Terkait perkara ini, Xaveriandy Sutanto divonis tiga tahun penjara sedangkan istrinya Memi divonis 2,5 tahun penjara, masing-masing ditambah denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya sedang menjalani hukuman di rumah tahanan Padang.
Hakim menjatuhkan vonis hukuman empat tahun dan enam bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun kepada Irman karena dinilai terbukti menerima uang Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi.
"Putusan ini tentu berat untuk saya," kata Irman seusai menjalani sidang pembacaan vonis.
"Tapi yang penting bagaimana kita mendefinisikan persoalan korupsi ini dengan baik karena ini menyangkut soal kultur, perlu pendidikan yang baik," tambah dia.
Ia juga menyampaikan permintaan maaf karena terlibat dalam perkara itu.
"Setiap manusia itu kan tidak mungkin tidak ada yang salah, bagaimana kita ke depannya lebih baik lagi dan saat ini saya juga mohon maaf kalau ada yang salah dan mudah-mudahan semuanya bisa menjadi pembelajaran bagi saya," katanya.
Terkait pencabutan hak politiknya, Irman menyatakan menghormati putusan hakim tersebut.
Irman butuh tujuh hari untuk berpikir sebelum menyatakan menerima atau mengajukan banding terhadap putusan itu.
Penasihat hukum Irman, Maqdir Ismail, menilai vonis hukuman terhadap kliennya sudah tergolong rendah kalau dilihat dari ancaman terendah dakwaan alternatif pertama yaitu pasal 12 huruf b No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Meskipun menurut saya hukuman ini adalah hukuman yang perlu dipikirkan kita lihat ke depan seperti apa karena ancaman hukuman pasal 12 b minimal empat tahun sampai 20 tahun dan kalau dilihat dari ancaman terendahnya sudah cukup rendah," kata Maqdir.
Namun Maqdir tidak setuju dengan pencabutan hak politik yang diputuskan oleh hakim.
"Pencabutan hak politik ini hakim sudah memutuskan, meskipun dalam pembelaan kami tidak setuju dengan pencabutan hak politik, sebab dari ketentuan UU itu hak yang bisa dicabut itu adalah hak-hak tertentu yang bisa diberikan pemerintah dan hak politik itu bukan hak yang bisa diberikan pemerintah. Itu prinsip dasarnya," ungkap Maqdir.
Majelis hakim yang terdiri atas Nawawi Pamolango, Jhon Halasan Butarbutar, Franky Tambuwun, Ansyori Syaifuddin dan Muhammad Idris Muhammad Amin juga setuju untuk mencabut hak politik Irman berdasarkan pertimbangan pasal 18 ayat 1 huruf d Undang-Undang No.31/1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Tujuan penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih adalah untuk melindungi publik atau masyarakat dari kemungkinan terpilihnya kembali seseorang yang menduduki jabatan publik seperti anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD maupun pejabat publik lainnya karena anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan perwakilan masyarakat yang menampung aspirasinya maka anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak selayaknya berperilaku koruptif," kata hakim Nawawi.
Irman terbukti menerima uang Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi, karena mengupayakan perusahaan tersebut mendapatkan 1.000 ton jatah gula impor dari Divisi Regional Sumatera Barat dengan menelepon Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti.
Terkait perkara ini, Xaveriandy Sutanto divonis tiga tahun penjara sedangkan istrinya Memi divonis 2,5 tahun penjara, masing-masing ditambah denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya sedang menjalani hukuman di rumah tahanan Padang.