Jakarta, Antara Jateng - Hasil revisi UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, memberikan batasan-batasan dan norma dalam berekspresi di media sosial, kata anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya.
"UU tersebut sudah diberlakukan mudah-mudahan dengan adanya UU ITE segala sesuatu terkait komisi di medsos ada pagar-pagarnya," kata Tantowi di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin.
Tantowi mengatakan revisi UU ITE hadir di tengah ketidakpastian pengaturan mengenai hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak di media sosial.
Dia beranggapan aturan baru UU ITE bisa mencegah kepentingan pihak tertentu untuk merusak nama baik orang lain melalui media sosial sehingga media sosial tidak dijadikan sarana konflik kepentingan.
"Sosmed bukan ruang hampa, kebebasan di negara kita tidak benar-benar bebas. Kita akan berhadapan dengan kepentingan orang lain nama baik orang lain, karena itu UU ini dengan secermatnya mengadakan pengaturan interaksi," ujarnya.
Namun Tantowi membantah jika UU ITE yang baru akan membungkam suara kritis masyarakat karena penyusunannya dilakukan sesuai aspirasi masyarakat dengan cara yang komprehensif.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan semangat utama dari revisi UU ITE ini ada dua yaitu dari sisi masyarakat dan dari sisi pemerintah.
Dia menjelaskan, dari sisi masyarakat adalah agar kebebasan mereka dalam mengeluarkan pendapat secara sopan dan santun serta menikmati internet sehat tetap terjaga dengan baik.
"Kebebasan berpendapat dijamin, tetapi tetap tidak boleh melanggar hak orang lain, berperilaku buruk dengan memfitnah orang," ujarnya.
Politikus PKS itu menjelaskan, dari sisi pemerintah, agar negara tidak dengan mudah menahan seseorang lantaran sikap kritisnya kepada kebijakan publik.
Menurut dia, revisi UU ITE itu manusiawi karena menjamin hak-hak masyarakat dalam hal ini para netizen.
"Ancaman pidana diperingan untuk pencemaran nama baik dari maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp1 miliar menjadi maksimal empat tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta," katanya.
Selain itu menurut dia, dengan pasal 29 tentang ancaman kekerasan diperingan pidananya dari maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp2 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Sukamta menjelaskan, implikasi hukumnya, jika sebelumnya ancaman penjara maksimal 6 tahun menjadikan pasal pencemaran nama baik dan pasal ancaman kekerasan sebagai tindak pidana yang masuk dalam kategori KUHAP Pasal 21 ayat (4a).
"Dalam KUHAP Pasal 21 ayat (4a) bahwa untuk tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun lebih, pelaku terduga dapat langsung ditahan oleh aparat penegak hukum, maka dengan UU ITE yang baru penahanan tidak dapat dilakukan sampai ada putusan tetap dari pengadilan bahwa ia divonis bersalah," katanya.
Karena itu menurut dia, melalui UU ITE yang baru, pemerintah tidak bisa asal tahan saja seperti sebelumnya dan di dalam revisi UU ITE Pasal 26 juga diatur soal "right to be forgotten", semacam rehabilitasi nama dalam dunia ITE.
Sukamta mencontohkan seseorang yang namanya diberitakan negatif karena diduga melanggar hukum, lalu pengadilan memutuskan tidak bersalah, maka semua berita yang menyatakan bahwa dia diduga melanggar hukum wajib dihapus oleh penyedia konten internet.
"UU tersebut sudah diberlakukan mudah-mudahan dengan adanya UU ITE segala sesuatu terkait komisi di medsos ada pagar-pagarnya," kata Tantowi di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin.
Tantowi mengatakan revisi UU ITE hadir di tengah ketidakpastian pengaturan mengenai hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak di media sosial.
Dia beranggapan aturan baru UU ITE bisa mencegah kepentingan pihak tertentu untuk merusak nama baik orang lain melalui media sosial sehingga media sosial tidak dijadikan sarana konflik kepentingan.
"Sosmed bukan ruang hampa, kebebasan di negara kita tidak benar-benar bebas. Kita akan berhadapan dengan kepentingan orang lain nama baik orang lain, karena itu UU ini dengan secermatnya mengadakan pengaturan interaksi," ujarnya.
Namun Tantowi membantah jika UU ITE yang baru akan membungkam suara kritis masyarakat karena penyusunannya dilakukan sesuai aspirasi masyarakat dengan cara yang komprehensif.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan semangat utama dari revisi UU ITE ini ada dua yaitu dari sisi masyarakat dan dari sisi pemerintah.
Dia menjelaskan, dari sisi masyarakat adalah agar kebebasan mereka dalam mengeluarkan pendapat secara sopan dan santun serta menikmati internet sehat tetap terjaga dengan baik.
"Kebebasan berpendapat dijamin, tetapi tetap tidak boleh melanggar hak orang lain, berperilaku buruk dengan memfitnah orang," ujarnya.
Politikus PKS itu menjelaskan, dari sisi pemerintah, agar negara tidak dengan mudah menahan seseorang lantaran sikap kritisnya kepada kebijakan publik.
Menurut dia, revisi UU ITE itu manusiawi karena menjamin hak-hak masyarakat dalam hal ini para netizen.
"Ancaman pidana diperingan untuk pencemaran nama baik dari maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp1 miliar menjadi maksimal empat tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta," katanya.
Selain itu menurut dia, dengan pasal 29 tentang ancaman kekerasan diperingan pidananya dari maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp2 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Sukamta menjelaskan, implikasi hukumnya, jika sebelumnya ancaman penjara maksimal 6 tahun menjadikan pasal pencemaran nama baik dan pasal ancaman kekerasan sebagai tindak pidana yang masuk dalam kategori KUHAP Pasal 21 ayat (4a).
"Dalam KUHAP Pasal 21 ayat (4a) bahwa untuk tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun lebih, pelaku terduga dapat langsung ditahan oleh aparat penegak hukum, maka dengan UU ITE yang baru penahanan tidak dapat dilakukan sampai ada putusan tetap dari pengadilan bahwa ia divonis bersalah," katanya.
Karena itu menurut dia, melalui UU ITE yang baru, pemerintah tidak bisa asal tahan saja seperti sebelumnya dan di dalam revisi UU ITE Pasal 26 juga diatur soal "right to be forgotten", semacam rehabilitasi nama dalam dunia ITE.
Sukamta mencontohkan seseorang yang namanya diberitakan negatif karena diduga melanggar hukum, lalu pengadilan memutuskan tidak bersalah, maka semua berita yang menyatakan bahwa dia diduga melanggar hukum wajib dihapus oleh penyedia konten internet.