Jakarta Antara Jateng - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius menyatakan bahwa perlindungan dan penanganan korban terorisme menjadi salah satu fokus utama dalam Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Ini menunjukkan bahwa ada perhatian negara kepada korban terorisme, ada semacam tanggung jawab negara di situ," ujar Suhardi ketika ditemui di Jakarta, Selasa.
Meskipun penanganan korban terorisme sudah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), namun Suhardi menyatakan ketentuan tersebut belum sempurna.
Suhardi menilai undang-undang tersebut masih terfokus pada pelaku terorisme, namun kurang memperhatikan penanganan korban terorisme.
"Maka perlu disempurnakan, karena ketentuan tersebut belum membahas definisi yang jelas mengenai korban terorisme," kata Suhardi.
Penanganan korban terorisme berupa kompensasi, bantuan medis, serta bantuan rehabilitasi trauma psikologi pascaperistiwa terorisme juga dikatakan Suhardi belum diatur lebih jelas dalam undang-undang tersebut.
Oleh sebab itu, Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini akan membahas permasalahan kompensasi dan rehabilitasi korban terorisme.
"Selain pencegahan dan penindakan aksi terorisme, untuk penanganan korban berupa kompensasi dan rehabilitasi juga akan dibahas," kata Suhardi.
Lebih lanjut Suhardi mengungkapkan bahwa pihaknya meminta Komisi III DPR RI supaya melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Karena LPSK bersentuhan langsung dengan para korban peristiwa terorisme," kata Suhardi.
"Ini menunjukkan bahwa ada perhatian negara kepada korban terorisme, ada semacam tanggung jawab negara di situ," ujar Suhardi ketika ditemui di Jakarta, Selasa.
Meskipun penanganan korban terorisme sudah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), namun Suhardi menyatakan ketentuan tersebut belum sempurna.
Suhardi menilai undang-undang tersebut masih terfokus pada pelaku terorisme, namun kurang memperhatikan penanganan korban terorisme.
"Maka perlu disempurnakan, karena ketentuan tersebut belum membahas definisi yang jelas mengenai korban terorisme," kata Suhardi.
Penanganan korban terorisme berupa kompensasi, bantuan medis, serta bantuan rehabilitasi trauma psikologi pascaperistiwa terorisme juga dikatakan Suhardi belum diatur lebih jelas dalam undang-undang tersebut.
Oleh sebab itu, Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini akan membahas permasalahan kompensasi dan rehabilitasi korban terorisme.
"Selain pencegahan dan penindakan aksi terorisme, untuk penanganan korban berupa kompensasi dan rehabilitasi juga akan dibahas," kata Suhardi.
Lebih lanjut Suhardi mengungkapkan bahwa pihaknya meminta Komisi III DPR RI supaya melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Karena LPSK bersentuhan langsung dengan para korban peristiwa terorisme," kata Suhardi.