Jakarta Antara Jateng - Pimpinan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) MPR RI Lukman Edy melihat ada empat hal yang dapat memunculkan potensi konflik pada pelaksanaan pilkada serentak pada 15 Februari 2017 mendatang.
"Keempat hal tersebut harus dapat diantisipasi secara cepat dan tepat sehingga pilkada dapat berjalan dengan lancar dan damai," kata Lukman Edy pada diskusi "Pilar Negara: Pilkada Damai dalam Bingkai NKRI" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Menurut Lukman Edy, keempat hal tersebut, pertama, perbedaan suku dan agama.
Dia mencontohkan, pada pilkada DKI Jakarta, isu soal agama menguat, apalagi ada calon kepala daerah yang melontarkan pernyataan soal isu agama yang kemudian menjadi polemik.
"Di antara umat Islam ada pandangan yang berbeda soal agama dalam menyikapi pilkada DKI Jakarta. Ini menunjukkan tidak populernya isu agama di DKI Jakarta," katanya.
Menurut dia, dalam UU Pilkada maupun Peraturan KPU, ada aturan yang melarang calon kepala daerah dilarang menghina orang lain terkait dengan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan).
Kedua, penyelenggara pilkada yang dianggap tidak netral.
Menurut Lukman, penyelenggara pilkada yakni KPUD dan Panwaslu yang dinilai tidak netral dapat memicu konflik di daerah.
Bahkan, kata dia, di ada kantor KPUD yang dibakar oleh pendukung pasangan calon kepala daerah yang kalah, karena merasa dicurangi.
"Dalam aturan pilkada, disebut kecurangan jika penyelenggara pilkada melakukan keberpihakan yang mengandung unsur suap," katanya.
Lukman menilai bentuk kecurangan dan keberpihakan lainnya adalah, praktik jual-beli suara.
Ketiga, keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS) calon dalam proses pilkada untuk memenangkan salah satu pasangan calon dalam pilkada.
Dia mencontohkan, calon kepala daerah petahana yang mengumpulkan perangkat daerah seperti camat dan lurah untuk mendukungnya.
Keempat, calon kepala daerah petahana yang memanfaatkan jabatan dan fasilitasnya untuk melakukan kampanye.
Menurut Lukman, dalam UU Pilkada mengatur bahwa calon petahana tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk kampanye.
"Keempat hal tersebut harus dapat diantisipasi secara cepat dan tepat sehingga pilkada dapat berjalan dengan lancar dan damai," kata Lukman Edy pada diskusi "Pilar Negara: Pilkada Damai dalam Bingkai NKRI" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Menurut Lukman Edy, keempat hal tersebut, pertama, perbedaan suku dan agama.
Dia mencontohkan, pada pilkada DKI Jakarta, isu soal agama menguat, apalagi ada calon kepala daerah yang melontarkan pernyataan soal isu agama yang kemudian menjadi polemik.
"Di antara umat Islam ada pandangan yang berbeda soal agama dalam menyikapi pilkada DKI Jakarta. Ini menunjukkan tidak populernya isu agama di DKI Jakarta," katanya.
Menurut dia, dalam UU Pilkada maupun Peraturan KPU, ada aturan yang melarang calon kepala daerah dilarang menghina orang lain terkait dengan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan).
Kedua, penyelenggara pilkada yang dianggap tidak netral.
Menurut Lukman, penyelenggara pilkada yakni KPUD dan Panwaslu yang dinilai tidak netral dapat memicu konflik di daerah.
Bahkan, kata dia, di ada kantor KPUD yang dibakar oleh pendukung pasangan calon kepala daerah yang kalah, karena merasa dicurangi.
"Dalam aturan pilkada, disebut kecurangan jika penyelenggara pilkada melakukan keberpihakan yang mengandung unsur suap," katanya.
Lukman menilai bentuk kecurangan dan keberpihakan lainnya adalah, praktik jual-beli suara.
Ketiga, keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS) calon dalam proses pilkada untuk memenangkan salah satu pasangan calon dalam pilkada.
Dia mencontohkan, calon kepala daerah petahana yang mengumpulkan perangkat daerah seperti camat dan lurah untuk mendukungnya.
Keempat, calon kepala daerah petahana yang memanfaatkan jabatan dan fasilitasnya untuk melakukan kampanye.
Menurut Lukman, dalam UU Pilkada mengatur bahwa calon petahana tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk kampanye.