Semarang, Antara Jateng - Pakar keamanan siber dan komunikasi Pratama Dahlian Persadha memandang perlu membangun aplikasi lokal dan meningkatkan keamanan siber guna menghadapi neokolonialisme.
"Kini, Indonesia menghadapi bentuk penjajahan baru. Bila dahulu berjuang melawan penjajahan wilayah, sekarang ini kita berjuang melawan penjajahan informasi," kata Pratama D. Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Rabu.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) mengatakan bahwa tantangan penjajahan informasi di depan mata. Masalahnya, hampir seluruh akses komunikasi yang digunakan saat ini dikuasai asing.
Bahkan, operator kerap mengeluh bagaimana mereka yang membangun infrastruktur komunikasi, akhirnya kalah dengan layanan over the top (OTT), seperti Whatsapp dan Facebook, kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Menurut Pratama, tanpa membangun infrastruktur, OTT (layanan dengan konten berupa data, informasi, atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet) tersebut bisa mengeruk untung triliunan rupiah setiap tahun dari penggunanya di Tanah Air. Apalagi, layanan tersebut tidak membayar pajak sama sekali karena tidak punya badan hukum di Indonesia.
"Sudah ada pergesaran model penjajahan. Sekarang ini, untuk mengeruk uang negara lain, tidak perlu lagi menjajah secara fisik wilayah," ujarnya.
Penjajahan model baru itu, kata Pratama, tidak selalu dilakukan oleh negara-negara maju. Kini, korporasi yang kuat bisa melakukan penjajahan informasi. Hal ini efeknya luar biasa, bisa memengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan sebuah negara.
"Kini, Indonesia menghadapi bentuk penjajahan baru. Bila dahulu berjuang melawan penjajahan wilayah, sekarang ini kita berjuang melawan penjajahan informasi," kata Pratama D. Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Rabu.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) mengatakan bahwa tantangan penjajahan informasi di depan mata. Masalahnya, hampir seluruh akses komunikasi yang digunakan saat ini dikuasai asing.
Bahkan, operator kerap mengeluh bagaimana mereka yang membangun infrastruktur komunikasi, akhirnya kalah dengan layanan over the top (OTT), seperti Whatsapp dan Facebook, kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Menurut Pratama, tanpa membangun infrastruktur, OTT (layanan dengan konten berupa data, informasi, atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet) tersebut bisa mengeruk untung triliunan rupiah setiap tahun dari penggunanya di Tanah Air. Apalagi, layanan tersebut tidak membayar pajak sama sekali karena tidak punya badan hukum di Indonesia.
"Sudah ada pergesaran model penjajahan. Sekarang ini, untuk mengeruk uang negara lain, tidak perlu lagi menjajah secara fisik wilayah," ujarnya.
Penjajahan model baru itu, kata Pratama, tidak selalu dilakukan oleh negara-negara maju. Kini, korporasi yang kuat bisa melakukan penjajahan informasi. Hal ini efeknya luar biasa, bisa memengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan sebuah negara.