Semarang, Antara Jateng - Keberadaan Badan Cyber Nasional (BCN) sangat urgen dan dibutuhkan oleh Indonesia. Namun, bila pembentukannya terkendala dana, pemerintah perlu memperluas kewenangan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).

Wacana pembentukan BCN itu sempat mewarnai pemberitaan di Tanah Air ketika Amerika Serikat mendapat serangan siber melalui dunia maya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2014 s.d. 2015 Tedjo Edhy Wibowo mengemukakan wacana itu ke publik pada bulan Maret 2015 (antaranews.com). Akan tetapi, hingga akhir Juni 2016, wacana pembentukan lembaga untuk menghadapi kejahatan melalui dunia maya tersebut belum terwujud.

Serangan siber yang menghantam Negeri Paman Sam itu tampaknya belum mampu mendorong pemerintahan RI untuk segera membentuk BCN. Padahal, akibat serangan itu sebanyak 25.000 data pemerintah dicuri dan Gedung Putih mengalami kelumpuhan (shut down) selama 1 jam.

Pakar keamanan siber Pratama Dahlian Persadha yang pernah sebagai Ketua Tim Lemsaneg Pengamanan Teknologi Informasi Presiden RI mendukung pembentukan BCN karena keberadaannya sangat urgen.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, menurut Pratama D. Persadha, Indonesia masih tertinggal. Singapura, misalnya, sudah mempunyai "BCN" sejak 2009. Bandingkan pula dengan Amerika Serikat, yang setiap urusan keamanan siber mempunyai akses langsung kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menegaskan bahwa Indonesia bukan seperti negara kecil di Eropa yang wilayahnya tidak luas, hanya daratan dan monoetnis.

Relatif banyak data strategis, rahasia, dan bahkan masuk kategori rahasia negara yang wajib diamankan untuk menjaga kemajemukan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kini, kata Pratama, data tersebut mulai terdistribusi dan tersimpan secara digital. Bila tidak mendapat pengamanan yang layak, jelas berbalik menjadi ancaman.

Menurut Pratama, sebenarnya tugas BCN kelak jauh lebih besar daripada sekadar mengamankan data. Tugas utama BCN adalah menagamankan wilayah siber (cyberspace) Indonesia. BCN itu angkatan bersenjata di dunia maya.

"Bisa dibayangkan, betapa masyarakat kini sangat bergantung pada internet untuk berkomunikasi, tukar informasi, berbelanja, menggunakan moda transportasi, dan banyak lagi. Bila masyarakat tidak mendapatkan pengamanan yang layak, bisa terjadi kerugian luar biasa," katanya.

Belum lagi, lanjut dia, infrastruktur strategis, seperti gudang persenjataan, lokasi militer, kesehatan, pendidikan, dan dunia perbankan, tentu akan sulit bila hanya dijalankan oleh satu lembaga saja.


Kewenangan Lemsaneg Diperluas

Pratama memandang perlu memperluas kewenangan Lembaga Sandi Negara jika pemerintah batal membentuk BCN. "Bila benar rencana perwujudan BCN itu dibatalkan karena anggaran yang cekak, Lemsaneg yang akan ditunjuk menjalankan fungsi BCN harus diperluas wewenangnya," katanya.

Bila perlu dan mendesak, kata Pratama D. Persadha yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lemsaneg, bisa dibuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) agar bisa segera dilaksanakan.

Ia mengatakan bahwa masyarakat sangat menantikan keberadaan BCN mengingat pengguna internet Indonesia makin banyak, hampir menembus 90 juta orang.

Namun, selain pengamanan, BCN sebenarnya dituntut untuk melakukan tugas mulia, edukasi keamanan siber kepada masyarkat. Lebih jauh lagi, BCN dituntut untuk bisa menggali potensi sumber daya manusia (SDM) dan industri pertahanan siber nasional.

"Jangan sampai setiap usaha pengamanan wilayah siber terlalu bergantung pada teknologi dan SDM luar negeri. Hal ini malah jadi senjata bumerang bagi kita," katanya.

Pratama lantas mencontohkan Tiongkok. Doktrin negara tersebut adalah sebisa mungkin seluruh teknologi, baik perangkat lunak maupun keras buatan mereka sendiri. Bahkan, bila terpaksa memakai buatan asing, Negeri Tirai Bambu itu harus melakukan clearance (pembersihan) secara menyeluruh agar tidak kecolongan.

Ia berpendapat bahwa membangun kekuatan pertahanan siber memang tidak murah. Pemerintah AS, misalnya, menganggarkan lebih dari Rp100 triliun untuk urusan keamanan siber.

Bila benar terkait dengan anggaran yang sulit pada tahun ini, menurut dia, penambahan wewenang dan fungsi baru pada Lemsaneg wajib dilakukan untuk mengover tugas sebenarnya dari BCN.

Ia mengusulkan nama Badan Siber dan Sandi Nasional setelah pemerintah menambah wewenang dan fungsi baru pada Lemsaneg. "Daripada membuat instansi baru, lebih baik dilebur saja dengan Lemsaneg atau menjadi Badan Siber dan Sandi Nasional," kata Pratama.


Tentara Siber

Tidak hanya pembentukan BCN, tampaknya pemerintah perlu pula membentuk tentara dan polisi siber sekaligus menyediakan "senjata" bagi mereka guna mengatasi serangan dunia maya. Dalam hal ini, PT Indoguardika Cipta Kreasi (ICK) Jakarta menyatakan siap memasok perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) ke kementerian yang kelak membawahkan tentara siber (cyber army).

Kedaulatan informasi di bumi pertiwi ini adalah suatu keniscayaan, kata Direktur Riset dan Produksi Indoguardika Cipta Kreasi Sujoko di sela perekrutan pemrogram (programmer) di PT ICK yang berlangsung di Semarang (11/4/2016).

Indonesia perlu memiliki tentara siber yang mempunyai peralatan canggih, seperti alat antisadap, dengan tujuan menghadapai serangan dunia maya sekaligus mencegah sistem informasi negara mengalami kelumpuhan.

Direktur Utama PT ICK Agung Setia Bakti menambahkan bahwa ICK merupakan salah satu perusahaan keamanan informasi yang berhasil melakukan inovasi di bidang teknologi antisadap.

Agung menambahkan bahwa ICK telah meresmikan pabrik mesin sandi pertama di Indonesia pada akhir Desember 2015. Lokasinya di kawasan industri Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang Selatan.

"Hal ini untuk memutuskan kebergantungan Indonesia pada teknologi keamanan komunikasi asing," kata alumnus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.

Ia menjelaskan bahwa pihaknya mengembangkan teknologi dengan sistem enkripsi berstandar militer AES 256-bit yang telah dimodifikasi.

Jika ada orang yang ingin meng-crack atau menyadap dengan komputer yang ada saat ini, menurut dia, kira-kira butuh waktu lebih dari 100 tahun untuk mendekrip atau mengurai kode enkripsinya.

Agung mengatakan bahwa PT ICK memproduksi beberapa perangkat keras, seperti telepon PSTN antisadap, radio HT (handy talkie) antisadap, pengacak sinyal (jammer), secure VPN, direction finder, dan beberapa alat lainnya.

Saat ini, ICK telah mengembangkan sejumlah aplikasi perangkat lunak, yakni SMS, chat, dan voice antisadap. Aplikasi ini ditanam di ponsel pengguna.
Ia menyebutkan salah satu perangkat keras yang dijual adalah jammer (pengacak sinyal). Alat ini berfungsi meningkatkan standar keamanan dari aksi-aksi kejahatan yang memanfaatkan sinyal frekuensi, seperti bom, penyadapan, maupun pencurian data.

"Radius jamming sekitar 150 meter. Jammer bisa melakukan pengacakan sinyal terhadap GSM, CDMA, 2G/3G, dan Wi-Fi," kata Agung.

Selain alat antisadap, PT ICK juga memproduksi alat pelacak ICK bernama ICK-TrackIT 2G, 3G, dan CDMA. Fitur alat ini terdiri atas penangkap IMSI atau IMEI dari ponsel, pelacakan lokasi, pengeblokan secara selektif, dan analisis database.

Peralatan produk anak bangsa untuk menghadapi serangan di dunia maya tampaknya lebih menjamin dari sisi keamanan ketimbang menggunakan produk serupa dari negara lain.

Kini, tinggal menunggu keputusan pemerintah terkait dengan pembentukan BCN, memperluas kewenangan Lembaga Sandi Negara, atau Lemsaneg menjadi Badan Siber dan Sandi Nasional.

Pewarta : Kliwon
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024