"Nasdem dan Hanura mendukung Ahok itu sebetulnya investasi, mereka belajar dengan baik dari pengalaman PDI-P dan Gerindra di 2012 lalu," kata Ray dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Jumat.

Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disebut Ahok maju dalam pilkada melalui jalur perseorangan alias non-partai.

Ray menyebutkan PDIP dan Gerindra berhasil menuai hasil positif berkat keputusan mereka mengusung pasangan cagub-cawagub pemenang Pilkada 2012 lalu, Joko Widodo-Ahok.

PDIP yang sebelumnya menempati perolehan suara peringkat ketiga di DKI Jakarta pada Pemilu Legislatif 2009 berhasil naik ke urutan pertama pada Pemilu Legislatif 2014 dan kini memiliki 28 kursi di DPRD DKI 2014-2019.

Nasib serupa juga dirasakan Gerindra yang melejit dari urutan keenam pada Pileg 2009 menjadi posisi kedua pada Pileg 2014 di Jakarta dan kini mendudukan 15 orang wakilnya di kursi DPRD DKI.

Ekses serupa, lanjut Ray, kemungkinan besar menjadi salah satu motif Nasdem-Hanura atas keputusan mereka menyuarakan dukungan kepada pencalonan Ahok lewat jalur perseorangan.

Sementara Peneliti PARA Syndicate, Toto Sugiarto, menilai setidaknya ada tiga sudut pandang untuk membaca dukungan Nasdem dan Hanura kepada Ahok tersebut.

"Pertama itu bisa dibaca sebagai sebuah langkah pragmatis. Kedua bisa juga dibaca sebagai keputusan mendukung calon yang sesuai dengan idealisme mereka. Dan ketiga pada dasarnya adalah wujud kegagalan mereka menciptakan kader partai yang bisa diajukan," kata Toto.

Nasdem lebih dulu mengumumkan dukungan mereka terhadap Ahok dalam Pilkada DKI 2017 pada 12 Februari 2016 kemudian disusul Hanura yang mendeklarasikan dukungan serupa pada 26 Maret 2016.

Di DPRD DKI 2014-2019 Nasdem memiliki lima kursi sedangkan Hanura memiliki 10 kursi.

Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024