"Jadi, tidak ada hubungan antara jihad dan syahid dengan aksi- aksi terorisme yang terjadi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Mereka tidak paham makna sebenarnya jihad dan syahid dan jelas tidak mengerti Islam," kata Satori di Jakarta, Selasa.
Satori mengatakan, sejak dahulu warisan Islam adalah kelembutan. Islam menyuruh umatnya untuk berdakwah secara hikmat, memberikan nasihat secara baik, bahkan berdialog juga harus dengan baik.
"Islam itu lembut, indah, rahmatan lil alamin. Itulah inti ajaran Islam," kata Satori.
Menurut dia, berjihad bisa dengan berbagai macam cara, bisa menggunakan harta, tenaga, kekuatan, jiwa, dan lain-lain. Di era penjajahan, jihad memang dilakukan dengan segala daya, baik ekonomi, budaya, hingga mengangkat senjata.
"Ketika kita sudah tidak dijajah secara fisik, maka perjuangan kita bukan angkat senjata. Tapi dengan memerdekakan negeri ini dari berbagai pengaruh asing, kemiskinan, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur sesuai UUD 45," tutur Satori.
Bukan bangsa sendiri
Hal senada diungkapkan Guru Besar Ilmu Sosiologi Agama UIN Syarief Hidayatullah Prof Dr Bambang Pranowo, MA.
Menurut Bambang Pranowo, jihad dan syahid di zaman modern ini bukan dengan cara teror, apalagi memerangi bangsa sendiri.
"Kalau di Indonesia jelas tidak bisa diterapkan istilah jihad dan syahid karena negara kita tidak dalam perang. Jadi, apa yang diusung para pelaku aksi terorisme seperti bom Thamrin dan juga kelompok Santoso di Poso, jelas salah dalam menafsirkan jihad dan syahid," jelas Bambang.
Ia menilai mereka yang keliru menafsirkan arti jihad dan syahid itu karena pemahaman agama Islam yang masih dangkal serta terbutakan oleh berbagai macam propaganda radikalisme yang dinilai lebih menarik, jelas, tegas, dan memberi jawaban pada persoalan mereka.
"Mereka tahunya sederhana bahwa syahid itu mati ala perang. Padahal tidak seperti itu. Dalam sebuah hadits disebutkan orang yang keluar rumah untuk menuntut ilmu terus meninggal dunia, juga termasuk syahid fii sabilillah dan memiliki derajat yang tinggi di mata Allah. Jadi, syahid itu bukan hanya dengan berperang," katanya.
Bambang menjelaskan di dalam negeri yang damai seperti di Indonesia, maka orang kafir pun harus dilindungi oleh negara, kecuali orang itu ingin mengusir dan mengganggu agama Islam.
"Tidak ada alasan menghalalkan kata jihad dan syahid bagi pelaku terorisme, apalagi ingin merusak perdamaian di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," katanya.
Karena itu, lanjut Bambang, umat, terutama generasi muda, harus diberikan pemahaman dan pengertian tentang jihad dan syahid, baik melalui para ulama, dunia pendidikan, maupun penerbitan buku-buku.
Satori mengatakan, sejak dahulu warisan Islam adalah kelembutan. Islam menyuruh umatnya untuk berdakwah secara hikmat, memberikan nasihat secara baik, bahkan berdialog juga harus dengan baik.
"Islam itu lembut, indah, rahmatan lil alamin. Itulah inti ajaran Islam," kata Satori.
Menurut dia, berjihad bisa dengan berbagai macam cara, bisa menggunakan harta, tenaga, kekuatan, jiwa, dan lain-lain. Di era penjajahan, jihad memang dilakukan dengan segala daya, baik ekonomi, budaya, hingga mengangkat senjata.
"Ketika kita sudah tidak dijajah secara fisik, maka perjuangan kita bukan angkat senjata. Tapi dengan memerdekakan negeri ini dari berbagai pengaruh asing, kemiskinan, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur sesuai UUD 45," tutur Satori.
Bukan bangsa sendiri
Hal senada diungkapkan Guru Besar Ilmu Sosiologi Agama UIN Syarief Hidayatullah Prof Dr Bambang Pranowo, MA.
Menurut Bambang Pranowo, jihad dan syahid di zaman modern ini bukan dengan cara teror, apalagi memerangi bangsa sendiri.
"Kalau di Indonesia jelas tidak bisa diterapkan istilah jihad dan syahid karena negara kita tidak dalam perang. Jadi, apa yang diusung para pelaku aksi terorisme seperti bom Thamrin dan juga kelompok Santoso di Poso, jelas salah dalam menafsirkan jihad dan syahid," jelas Bambang.
Ia menilai mereka yang keliru menafsirkan arti jihad dan syahid itu karena pemahaman agama Islam yang masih dangkal serta terbutakan oleh berbagai macam propaganda radikalisme yang dinilai lebih menarik, jelas, tegas, dan memberi jawaban pada persoalan mereka.
"Mereka tahunya sederhana bahwa syahid itu mati ala perang. Padahal tidak seperti itu. Dalam sebuah hadits disebutkan orang yang keluar rumah untuk menuntut ilmu terus meninggal dunia, juga termasuk syahid fii sabilillah dan memiliki derajat yang tinggi di mata Allah. Jadi, syahid itu bukan hanya dengan berperang," katanya.
Bambang menjelaskan di dalam negeri yang damai seperti di Indonesia, maka orang kafir pun harus dilindungi oleh negara, kecuali orang itu ingin mengusir dan mengganggu agama Islam.
"Tidak ada alasan menghalalkan kata jihad dan syahid bagi pelaku terorisme, apalagi ingin merusak perdamaian di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," katanya.
Karena itu, lanjut Bambang, umat, terutama generasi muda, harus diberikan pemahaman dan pengertian tentang jihad dan syahid, baik melalui para ulama, dunia pendidikan, maupun penerbitan buku-buku.