Kebun bambu yang disulap menjadi pasar tersebut hampir tidak ada tempat yang becek meskipun musim hujan karena di antara rumpun bambu telah dipasang trasahan batu atau semen sehingga tampak bersih dan asri.

Nuansa tradisional menghiasi setiap lapak pedagang berupa lincak (papan bambu) untuk menggelar dagangan berupa makanan tradisional, hasil pertanian, dan kerajinan.

Lokasi Pasar Papringan berjarak sekitar satu kilometer dari jalan raya Temanggung-Kandangan. Untuk mencapai lokasi tersebut akses jalan sudah beraspal dan kanan-kiri jalan terdapat kebun kopi yang luas milik warga.

Pasar Papringan yang digagas oleh warga Caruban yang juga sebagai produsen Radio Kayu Magno, Singgih Susilo Kartono tersebut diselenggarakan setiap selapan atau 35 hari sekali pada hari Minggu Wage.

Hingga sekarang sudah digelar dua kali dan selalu sukses dikunjungi banyak orang, yakni pada 10 Januari 2016 dan 14 Februari 2016 .

Manajer Proyek Pasar Papringan Fransisca Callista menuturkan Pasar Papringan menjual produk kuliner, kerajinan, dan hasil pertanian warga Caruban dan sekitarnya.

"Melalui Pasar Papringan ini, kami ingin mengangkat produk-produk lokal yang serba natural, khusus untuk kuliner yang dijual di Pasar Papringan tidak mengandung MSG maupun pewarna dan pemanis buatan," katanya.

Ia mengatakan awalnya papringan itu masih kumuh dan tidak bagus untuk keseharian mereka, kemudian dibersihkan dan dilakukan pendekatan ke warga.

"Pada pemilik lahan kami bilang akan membuat sebuah ruang, bukan hanya untuk berjual beli tetapi juga untuk 'sharing', berdiskusi, dan lainnya yang dikunjungi bukan hanya orang lokal/Temanggung saja tetapi juga luar Jawa dan bahkan luar negeri," katanya.

Kemudian mengumpulkan sejumlah ibu rumah tangga yang mayoritas petani untuk berdagang. Mereka ditawari untuk menyajikan kuliner tanpa MSG, pewarna maupun pemanis buatan.

Awalnya mereka ragu dengan makanan tanpa MSG apa bisa enak, Namun mereka diberi tahu cara memasak maupun kebaikan produk tanpa MSG, pewarna dan pemanis buatan. Mereka juga dikasih tahu bagaimana menyajikan maupun mengemas makanan,

"Kami menolak plastik di Pasar Papringan, sebisa mungkin menggunakan batok, piring lidi atau daun pisang, jati, kertas dan sebagainya," kata dia.

Ia menuturkan Pasar Papringan mencoba mengangkat produk-produk yang belum berkembang dengan mendatangkan beberapa tamu atau perajin yang sudah berkembang untuk melakukan "workshop".

"Sebenarnya Pasar Papringan ini bukan saja digelar di Minggu Wagenya, aktiviatasnya itu memang berjalan di antara Minggu Wage, kami punya banyak kegiatan, termasuk pada anak-anak untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka," katanya.

Pada stan kerajinan, katanya, misalnya batik menantang pada perajin untuk menggunakan pewarna alam. Harganya lebih mahal tidak apa-apa, tetapi pihaknya mencoba mencarikan pasar untuk produk yang terbaik. Hasil pertanian yang dijual di Pasar Papringan adalah organik.

Ia menyebutkan jumlah pedagang pada Pasar Papringan I hanya 23 orang, kemudian pada kegiatan Pasar Papringan II meningkat menjadi 32 pedagang. Dalam penyelenggaraan tersebut disediakan dua hingga tiga stan tamu yang berasal dari luar desa.

"Kami mengundang komunitas, perajin dari luar desa tetapi masih daerah Temanggung," katanya.

Ia mengatakan Pasar Papringan buka pukul 06.00 hingga 12.00 WIB, sampai saat ini banyak pedagang yang kehabisan barang sebelum pukul 12.00, maka pengunjung jangan sampai terlambat datang.

Pada penyelenggaraan pertama, katanya masih bereksperimen maka untuk menyediakan makanan dan lain-lain para pedagang dimodali, karena mereka belum bisa mengambil risiko.

"Mereka kami modali dan bagi hasil keuntungan. Namun untuk penyelenggaraan ke dua hampir semua pedagang dengan modal sendiri," katanya.

Ia mengatakan Pasar Papringan mencoba mengenalkan produk-produk lokal khas Temanggung, misalnya kopi Kelingan, karena daerah ini potensi kopi cukup besar.

Kemudian sesuai dengan lokasi di papringan maka mencoba eksplorasi rebung, maka muncul soto papringan, kupat tahu papringan, gablok pecel papringan, semua berbau papringan karena eksplorasi dari rebung.

"Kami ingin tempat ini menjadi lahirnya makanan-makanan khas Temanggung yang muncul dari warga papringan," katanya.

Ada hal unik dalam penyelenggaraan Pasar Papringan, yakni dalam bertransaksi tidak menggunakan uang rupiah, tetapi koin bambu atau pring. Koin yang disediakan, yakni satu pring, lima pring, 10 pring, dan 50 pring. Satu pring setara dengan Rp1.000.

Fransisca menjelaskan pengunjung yang akan berbelanja di pasar tersebut harus menukarkan uangnya dengan koin pring tersebut dan nanti ada sisa koin bisa ditukarkan kembali.

Seorang pedagang Pasar Papringan warga Kelingan, Mujiyah (43) mengatakan penyelenggaraan Pasar Papringan disambut baik oleh masyarakat.

"Kami senang bisa berjualan di pasar tersebut meskipun hanya 35 hari sekali, lumayan hasilnya untuk menambah penghasilan keluarga," kata ibu rumah tangga ini.

Ia menyebutkan pada gelaran Pasar Papringan tersebut pihaknya menjual beberapa jenis makanan, antara lain bubur, cincau, telur kampung, dan gorengan.

"Pada gelaran Pasar Papringan pertama, kami mendapat hasil Rp217 ribu dan pada Pasar Papringan ke dua penghasilan meningkat menjadi Rp250 ribu," katanya.

Pedagang yang lain Klumpuk (50) mengaku mendapat penghasilan Rp151 ribu dengan dagangan kimpul rebus, ketan jali, petotan, kacang rebus, dan pisang rebus.

"Kami senang mengikuti kegiatan tersebut untuk kesibukan dan mendapatkan penghasilan. Pasar Papringan digelar setiap selapan justru bagus agar orang tidak bosan," katanya.

Selamatkan Papringan
Penggagas Pasar Papringan, Singgih Susilo Kartono menjelaskan latar belakang penyelenggaraan Pasar Papringan adalah penyelamatan papringan atau kebun bambu.

Menurut dia kondisi papringan di desa-desa sudah terancam dan orang desa sendiri sudah bosan, tidak menyukainya karena papringan itu kotor dan gelap.

"Bahkan kadang orang bilang papringan ada dedemitnya, tempat orang buang sampah," katanya.

Papringan sekarang berada di daerah permukiman, kalau tidak dilakukan upaya pelestarian maka akan tergusur, sementara tanaman bambu itu tanaman yang luar biasa, dia tumbuh sangat cepat, tidak perlu ditanam kembali.

Ia menuturkan tanaman bambu punya sejarah panjang, tanaman bambu sejak awal dipakai oleh masyarakat desa sejak lahir hingga orang meninggal. Jadi peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, bahkan konstruksi rumah.

Dia mengatakan keberadaan bambu sudah lama dan orang melihat bambu itu sebagai fase sederhana atau miskin sehingga orang mengidentifikasi bambu sebagai simbol kemiskinan dan orang menjadi tidak suka lagi.

Namun, kini bambu menjadi perhatian banyak pihak, karena dia tumbuh sangat capat, menghasilkan oksigen jauh lebih banyak, tidak ada penyakitnya, menyuburkan tanah, dan untuk konservasi air.

Ia mengatakan tanaman bambu tumbuh sangat cepat sehingga menghasilkan kayu dan perlu sebuah cara agar masyarakat desa kembali mencintai bambu, berani menyukai papringan. Caranya adalah sekitar papringan dibersihkan dan yang becek dibuat tidak becek, kemudian diberikan aktivitas pasar.

"Pasar papringan ini saya harapkan bisa memberikan sebuah manfaat. Orang desa itu harus melihat dulu, kalau dia sudah lihat dan mendapat manfaat ekonomi, kegembiraan, dikunjungi banyak orang, saya berharap ini bisa menjadi salah satu cara bagian dari landscape fisik terhadap alam, sosial, dan budaya," katanya.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024