Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam Marzuki, kursus itu dapat memperkenalkan calon pengantin baru tentang kehidupan keluarga dan segala permasalahan yang mungkin dihadapi.

"Kami mengupayakan agar kursus ini sifatnya wajib karena penting untuk menekan angka gugatan cerai, baik oleh suami maupun istri," kata Muharam usai pemaparan hasil penelitian dan pengembangan pada tahun 2009--2014 di Kemenag, Jakarta, Senin.

Selama ini, kata dia, memang sudah dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, tidak optimal dan hanya bersifat seremonial.

Ia mengatakan bahwa saat ini Kemenag melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam sedang dalam menyusun peraturan menteri sebagai landasan hukum kursus tersebut.

"Jadi, nantinya semua pasangan beragama Islam yang ingin menikah harus memiliki sertifikat kursus dasar pengantin (susdatin) untuk bisa mendaftar secara resmi ke KUA dan mendapatkan akta pernikahan," katanya.

Adapun dalam pelaksanaan kursus, kata Muharam, pemerintah berencana bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan Islam, seperti NU dan Muhammadiyah.

"Ini sesungguhnya dari susdapin ini adalah bagaimana pasangan menikah, bukan hanya secara fisik, melainkan juga batin. Menyadari bahwa ketika meresmikan hubungan, seluruh keluarga kedua belah pihak terlibat di dalamnya karena tidak jarang ini menjadi sumber konflik," katanya.

Idealnya, menurut dia, susdapin dilaksanakan selama sebulan dengan jadwal yang rutin. Namun, pemerintah menyadari kebijakan ini akan mengalami hambatan.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Aliran dan Pelayanan Keagamaan Kemenag Kustini mengemukakan bahwa salah satu ganjalan yang diantisipasi adalah susdapin hanya mempersulit proses pernikahan.

Alasan tersebut dikhawatirkan akan membuat masyarakat lebih memilih melakukan nikah siri.

"Akan tetapi, kami yakin jika kebijakan susdapin sudah ada, beserta landasan hukum, masyarakat akan tetap mematuhinya," tutur Kustini.

Berdasarkan Kemenag, Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA) mencatat bahwa dalam rentang waktu empat tahun (2010--2014) ada hampir 300.000 kasus perceraian yang diselesaikan oleh Pengadilan Agama (PA) atau sekitar 15 persen dari dua juta pasangan yang terdaftar.

Dari jumlah tersebut 70 persen gugatan perceraian dilakukan perempuan (cerai gugat) dan sisanya oleh laki-laki (cerai talak).

Hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag menyatakan bahwa perceraian tersebut disebabkan oleh lima faktor utama, yaitu tidak adanya keharmonisan, tidak ada tanggung jawab, masalah ekonomi, gangguan pihak ketiga, dan cemburu.

Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024