Itu berarti musim kemarau panjang yang disertai dengan kekeringan di sejumlah kabupaten dan kota di provinsi berpenduduk sekitar 33 juta jiwa ini tidak mengganggu produksi padi.
Bahkan, ia mengklaim produksi beras pada 2015 bakal melesat hingga 10,6 juta ton atau naik 10,8 persen dibandingkan tahun lalu.
Dengan produksi tersebut, itu lebih dari cukup untuk memberi makanan pokok rakyat Jateng hingga April 2016. "Itu mencukupi dan tidak butuh beras impor," kata Ganjar, politikus PDI Perjuangan itu.
Bila ditambah dengan cadangan beras sekitar 1 juta ton yang tersebar di lumbung petani, pedagang, konsumen, serta tempat penggilingan, stok riil di lapangan lebih dari cukup. Apalagi kebutuhan beras di Jateng per bulan "hanya" 250.000 ton sehingga stok yang ada sekarang ini aman.
Oleh karena itu, Ganjar dengan tegas mewanti-wanti jangan sampai ada beras impor merembes ke pasar Jateng. Ia tentu khawatir rembesan beras impor bakal memukul harga beras produksi petani domestik.
"Beras impor jangan sampai masuk ke Jateng. Terus terang saya tidak setuju (impor), tapi kalau Pemerintah Pusat punya alasan lain, saya menghormati," katanya.
Di tengah meluapnya surplus beras di Jateng, Pemerintah Pusat malah sudah membuka keran impor beras 1 juta ton dari Thailand dan Vietnam. Konon, kebutuhan untuk mengamankan stok 1,5 juta ton. Kekurangan 500.000 ton masih diusahakan.
Kalau benar Jateng surplus beras hingga 3 juta ton, seharusnya daerah lain yang memiliki kesamaan geografis, musim, dan selama ini menjadi lumbung beras, seperti Jatim, Sulsel, dan Jabar, juga bisa meraih surplus serupa.
Pada 2015, Badan Pusat Statistik memproyeksikan produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 75,55 juta ton, yang bila disetarakan dengan beras sekitar 43 juta ton.
Di atas kertas, dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia pada 2015 sebanyak 255,462 juta jiwa (BPS) dan konsumsi beras per kapita/tahun 124,89 kg serta kebutuhan beras lainnya, maka pada 2015 "hanya" diperlukan 33,368 juta ton atau diproyeksikan suprlus sekitar 10 juta ton pada tahun ini.
Bila melihat angka-angka tersebut, Indonesia tidak perlu impor beras. Apalagi sebanyak itu.
Akan tetapi, buktinya pemerintah memang sudah mengimpor beras di pengujung tahun 2015 dengan dalih menjaga ketahanan pangan.
Bagi negara agraris seluas Indonesia, impor beras bukan semata mengurangi devisa. Ada martabat bangsa yang dipertaruhkan. Apalagi negara ini pernah menjadi eksportir beras pada dekade 1990-an.
Apa pun kenyataannya, Pemerintah membutuhkan data akurat tentang produksi beras nasional dan konsumsi per kapita. Sayangnya, data yang selama ini diakses publik melalui pejabat, sering simpang siur.
Implikasinya, kebijakan impor beras malah memicu opini spekulatif, misalnya, jangan-jangan impor beras itu hanya ulah segelintir pedagang pemburu rente. ***
Bahkan, ia mengklaim produksi beras pada 2015 bakal melesat hingga 10,6 juta ton atau naik 10,8 persen dibandingkan tahun lalu.
Dengan produksi tersebut, itu lebih dari cukup untuk memberi makanan pokok rakyat Jateng hingga April 2016. "Itu mencukupi dan tidak butuh beras impor," kata Ganjar, politikus PDI Perjuangan itu.
Bila ditambah dengan cadangan beras sekitar 1 juta ton yang tersebar di lumbung petani, pedagang, konsumen, serta tempat penggilingan, stok riil di lapangan lebih dari cukup. Apalagi kebutuhan beras di Jateng per bulan "hanya" 250.000 ton sehingga stok yang ada sekarang ini aman.
Oleh karena itu, Ganjar dengan tegas mewanti-wanti jangan sampai ada beras impor merembes ke pasar Jateng. Ia tentu khawatir rembesan beras impor bakal memukul harga beras produksi petani domestik.
"Beras impor jangan sampai masuk ke Jateng. Terus terang saya tidak setuju (impor), tapi kalau Pemerintah Pusat punya alasan lain, saya menghormati," katanya.
Di tengah meluapnya surplus beras di Jateng, Pemerintah Pusat malah sudah membuka keran impor beras 1 juta ton dari Thailand dan Vietnam. Konon, kebutuhan untuk mengamankan stok 1,5 juta ton. Kekurangan 500.000 ton masih diusahakan.
Kalau benar Jateng surplus beras hingga 3 juta ton, seharusnya daerah lain yang memiliki kesamaan geografis, musim, dan selama ini menjadi lumbung beras, seperti Jatim, Sulsel, dan Jabar, juga bisa meraih surplus serupa.
Pada 2015, Badan Pusat Statistik memproyeksikan produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 75,55 juta ton, yang bila disetarakan dengan beras sekitar 43 juta ton.
Di atas kertas, dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia pada 2015 sebanyak 255,462 juta jiwa (BPS) dan konsumsi beras per kapita/tahun 124,89 kg serta kebutuhan beras lainnya, maka pada 2015 "hanya" diperlukan 33,368 juta ton atau diproyeksikan suprlus sekitar 10 juta ton pada tahun ini.
Bila melihat angka-angka tersebut, Indonesia tidak perlu impor beras. Apalagi sebanyak itu.
Akan tetapi, buktinya pemerintah memang sudah mengimpor beras di pengujung tahun 2015 dengan dalih menjaga ketahanan pangan.
Bagi negara agraris seluas Indonesia, impor beras bukan semata mengurangi devisa. Ada martabat bangsa yang dipertaruhkan. Apalagi negara ini pernah menjadi eksportir beras pada dekade 1990-an.
Apa pun kenyataannya, Pemerintah membutuhkan data akurat tentang produksi beras nasional dan konsumsi per kapita. Sayangnya, data yang selama ini diakses publik melalui pejabat, sering simpang siur.
Implikasinya, kebijakan impor beras malah memicu opini spekulatif, misalnya, jangan-jangan impor beras itu hanya ulah segelintir pedagang pemburu rente. ***