Dalam status tertinggi atas aktivitas vulkanik, "Awas Merapi", sejak sekitar 10 hari sebelumnya, gunung tersebut seakan menyatakan kerja alaminya yang paling besar dan bertubi-tubi, melalui erupsi eksplosif yang kemudian dicatat sebagai ulangan peristiwa serupa setelah sekitar seabad sebelumnya. Gunung Merapi dalam catatan pada 2006, tingginya 2.968 meter dari permukaan air laut.
Penghancuran kubah lava Merapi terjadi pada 5 November 2010 dini hari, setelah sejak beberapa jam sebelumnya gunung berapi yang meliputi wilayah Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten (Jateng), dan Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) itu, membuat kolom awan setinggi empat kilometer dan letusannya cukup intensif.
Hari itu, berdasarkan catatan Badan Geologi dalam http://www.vsi.esdm.go.id, terjadi penghancuran kubah lava yang sebelumnya tumbuh hingga mencapai 3,5 juta meter kubik. Luncuran terjauh awan panas dari puncaknya mencapai 15 kilometer ke arah Kali Gendol, sedangkan jarak aman yang direkomendasikan secara kewilayahan sebagai paling jauh dari puncak gunung mencapai 20 kilometer.
Pengungsian warga lereng Gunung Merapi di berbagai wilayahpun memantik datangnya pertolongan kemanusiaan dari berbagai kalangan, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara mandiri. Peristiwa letusan dahsyat Merapi 2010 telah memanggil sentuhan kemanusiaan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 410.388 warga Merapi mengungsi ke berbagai tempat, sedangkan total korban jiwa akibat erupsi secara langsung maupun tidak langsung tercatat 347 orang dengan angka terbesar warga Sleman, disusul Magelang, Klaten, dan Boyolali.
Hujan abu secara intensif selama berhari-hari membuat berbagai tempat tertutup tebal material vulkanik yang kemudian dipahami sebagai sumber penting bagi kesuburan bumi kawasan Merapi. Abu vulkanik juga terbawa angin hingga beberapa daerah di luar empat kabupaten tersebut.
"'Kridhaning Merapi ndadosaken kita sadaya sinau punapa kemawon, nyinau alam, nyinau babagan kamanungsan, ngemutaken dhumateng agunging Pengeran' (Letusan Merapi 2010 membuat kita semua belajar banyak hal, belajar alam, belajar hal-hal kemanusiaan, dan mengingatkan betapa agung Tuhan, red.)," kata Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar tujuh kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.
Hal itu dikatakan saat berbicara pada peringatan lima tahun erupsi besar Merapi yang diselenggarakan secara sederhana oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Magelang di tempat wisata unggulan daerah setempat, Bukit Ketep, Kecamatan Sawangan, Kamis (5/11).
Jarak antara puncak bukit dengan ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan air laut itu, hingga puncak Merapi sekitar empat kilometer. Bukit Ketep menawarkan kepariwisataan panorama alam sejumlah gunung di kawasan Magelang, hamparan pertanian hortikultura yang dibudidayakan petani setempat, serta edukasi menyangkut vulkanologi.
Peringatan letusan Merapi 2010 yang sekaligus ajang promosi wisata Bukit Ketep itu, ditandai dengan pemotongan tumpeng, pembacaan puisi, guritan, performa seni berjudul "Pancawarsa Krida Merapi", dan refleksi Merapi, bertempat di pelataran Panca Arga Bukit Ketep.
Hadir pada kesempatan bermakna tersebut, antara lain Kepala Disparbud Pemkab Magelang Edy Susanto, para pegawai objek wisata Bukit Ketep, Kepala Desa Ketep Arifin, beberapa perwakilan kelompok relawan Merapi, dan penyair pengembara dari Magelang Bambang Eka Prasetya.
Kedahsyatan letusan Merapi diungkapan oleh Edy Susanto melalui karya guritan yang dibacakan sebagai pengakhir pidatonya. Melalui puisi berbahasa Jawa itu, ia juga menyampaikan makna peristiwa alam itu sebagai sumber kemakmuran warga.
"'Gemludug jumlegur gemleger. Miris ngrerujit, nggrantes. Geni muncrat saka kawahe. Lintu-lumintu wedus gembel lakune. Panas tan kinira. Sato lunga saka alase. Garing aking ngrampas katentremaning warga, kaendahaning swasana. Nalika suaramu nyemburake laharmu. Ora ana kang bisa mbendung kekarepanmu. Kabeh warga keplayu. Ngungsi. Nanging kamurahaning Gusti. Dadyo rabuk tan saya subur lemahe lan saya makmur wargane'," demikian dua dari empat bait guritan "Pancawarsa Kridaning Merapi" karyanya itu.
Kira-kira terjemahan syair itu, betapa letusan Merapi begitu dahsyat, dari kawah tersembur api dan turun awan panas. Letusannya membuat satwa pergi dari hutan, warga mengungsi, dan suasana mencekam. Tak ada yang bisa membendung letusan Merapi. Tetapi, peristiwa itu sesungguhnya menunjukkan kemurahan Tuhan karena tanah Merapi menjadi subur dan masyarakat makmur.
Ihwal tentang makna letusan Merapi, ternyata telah diungkapkan Bambang Eka dalam puisi yang ditulisnya pada Oktober 2010 berjudul "Engkau Berkah Selamanya". Dia bacakan karya itu di puncak Panca Arga Bukit Ketep pada peringatan tersebut. Letusan pertama Merapi lima tahun lalu terjadi pada 26 Oktober, beberapa saat menjelang kumandang maghrib.
"Merapi empu kepundan penyimpan harapan meski terlilit. Tabahkan jiwa saat butir pasir hadir menghambur tanpa reda. Ajari kami cakap berkelit ketika upaya menatap sulit membelit. Sepertimu kami berharap, perkasa kendati menyangga sederet luka. Jejakkan langkahmu bersama abu, pasir, kerikil, dan batu. Luapkan murkamu seberapapun, hati kami tak berbalut ragu. Hingga saat keringat dan air mata berbaur lahar terkubur. Berbuah sejahtera serta bahagia saat bumi semburkan subur," demikian sejumlah bait karyanya itu dengan sub-judul, "Puisi yang tak pernah selesai".
Melalui performa gerak, berpadu dengan senandung tembang Jawa, dan syair oleh sejumlah seniman, seperti Agus "Merapi" Suyitno, Kikis, Aning Purwa, dan Begawan Prabu, mereka juga terkesan hendak mengatakan bahwa Merapi dengan erupsi besarnya pada 2010 telah menjadi sumber kesuburan alam setempat.
Mereka berperforma seni menggunakan sejumlah properti, seperti lukisan karya Agus "Merapi" Suyitno tentang sosok supranatural dari Gunung Merapi bernama "Nyai Gadung Mlati" yang disebutnya sebagai lambang kesuburan.
Lukisan di atas kanvas ukuran kecil tersebut, dipasang di anak tangga Panca Arga Bukit Ketep dengan alas bentangan kain merah menghadap ke Gunung Merapi yang siang tersebut tertutup kabut tebal, meski suasana langit di atas Ketep cukup cerah. Mereka juga menebarkan bunga mawar dan pemasangan beberapa batang dupa dalam performa itu.
Performa mereka yang tajuk "Pancawarsa Krida Merapi" dengan iringan tabuhan jimbe kecil dan tiupan seruling bambu juga menjadi atraksi wisata yang menarik bagi pengunjung Bukit Ketep.
Puisi "Suara Bumi" yang dikumandangkan dengan lantang oleh Aning di tengah performa tersebut, seakan juga memperkuat ungkapan letusan Merapi sebagai samudra memori.
Fase erupsi Merapi 2010, sebagai peristiwa yang tidak mudah diungkapkan dengan kata-kata oleh Edy. Saat itu, posisinya di jajaran birokrasi Pemkab Magelang membawanya untuk turut bersama instansi lain, mengurusi keperluan masyarakat dari dampak erupsi Merapi.
Dinas Perindustrian dan Koperasi Pemkab Magelang yang dipimpin Edy ketika itu, ikut dalam langkah tanggap darurat erupsi Merapi, melalui penyediaan dapur umum dan makanan bagi para pengungsi. Dia juga mengaku tetap memiliki naluri penanganan kebencanaan karena sebelumnya menjadi kepala Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemkab Magelang, yang antara lain menangani dampak fase erupsi Merapi sebelumnya, yakni pada 2006.
"Saya sulit berkata-kata. Kebetulan saya pernah menjadi pelaku ketika menghadapi Merapi. Peristiwa alam itu bukan untuk dilawan. Tetapi Tuhan memberikan kemampuan akal manusia untuk bisa menyiasati. Merapi tidak memusuhi kita. Merapi bukan bencana kalau tidak ada korban. Kalau ada korban, itu karena kelemahan manusia dalam menyiasati," katanya.
Disebutnya bahwa letusan Merapi 2010 sebagai kehendak Tuhan agar manusia belajar lebih mendalam lagi tentang kehidupan bersama sesamanya dan bersaudara dengan alam sekitarnya karena menjadi sumber kemakmuran.
"Tuhan berkehendak lewat Merapi. Itulah pelajaran," ungkapnya.
Sitras yang juga salah satu petinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, pada kesempatan tersebut juga mengungkapkan dalam bahasa Jawa mengenai refleksinya tentang Merapi sebagai bencana atau bukan.
"Letusan Merapi sebagai musibah karena banyak orang tinggal di kaki gunung itu, kalau tidak, tentu bukan bencana. Letusan Merapi sebagai rutinitas alam, kalau tidak meletus tentu beda persoalannya," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Merapi selalu mengirim pertanda ketika hendak memasuki fase erupsi, karena dia memperhatikan perilaku manusia yang tinggal di bawah gunung tersebut. Namun, tidak setiap orang mampu menangkap tanda-tanda alam itu.
Tanda-tanda alam menyangkut aktivitas vulkanik Merapi, ditangkap dengan berbagai peralatan modern hasil kemajuan teknologi, yang dipasang Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi di berbagai tempat di gunung itu, didukung dengan pemantauan selama 24 jam oleh para petugas pos pengamatan di berbagai tempat di kawasan Merapi.
"Di dekat kita, juga masih ada orang yang bisa menerima tanda-tanda Merapi kalau akan bekerja (erupsi, red.). Sesungguhnya Merapi memperhatikan perilaku orang di bawah gunung. Kalau alamnya rusak akan berdampak terhadap kehidupan manusia dan alam. Kalau ada tanda dari Merapi, satu cara mengatasinya adalah 'mlajar, nebihi' (menyingkir, red.) gunung," katanya.
Letusan dahsyat Gunung Merapi lima tahun lalu yang membentangkan perubahan wajah alam, membawa pengalaman masyarakat dengan kearifannya untuk menyingkir, dan mengundang daya-daya kemanusiaan itu, akan selalu menjadi samudra wisata memori penting dan penuh makna.
Penghancuran kubah lava Merapi terjadi pada 5 November 2010 dini hari, setelah sejak beberapa jam sebelumnya gunung berapi yang meliputi wilayah Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten (Jateng), dan Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) itu, membuat kolom awan setinggi empat kilometer dan letusannya cukup intensif.
Hari itu, berdasarkan catatan Badan Geologi dalam http://www.vsi.esdm.go.id, terjadi penghancuran kubah lava yang sebelumnya tumbuh hingga mencapai 3,5 juta meter kubik. Luncuran terjauh awan panas dari puncaknya mencapai 15 kilometer ke arah Kali Gendol, sedangkan jarak aman yang direkomendasikan secara kewilayahan sebagai paling jauh dari puncak gunung mencapai 20 kilometer.
Pengungsian warga lereng Gunung Merapi di berbagai wilayahpun memantik datangnya pertolongan kemanusiaan dari berbagai kalangan, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara mandiri. Peristiwa letusan dahsyat Merapi 2010 telah memanggil sentuhan kemanusiaan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 410.388 warga Merapi mengungsi ke berbagai tempat, sedangkan total korban jiwa akibat erupsi secara langsung maupun tidak langsung tercatat 347 orang dengan angka terbesar warga Sleman, disusul Magelang, Klaten, dan Boyolali.
Hujan abu secara intensif selama berhari-hari membuat berbagai tempat tertutup tebal material vulkanik yang kemudian dipahami sebagai sumber penting bagi kesuburan bumi kawasan Merapi. Abu vulkanik juga terbawa angin hingga beberapa daerah di luar empat kabupaten tersebut.
"'Kridhaning Merapi ndadosaken kita sadaya sinau punapa kemawon, nyinau alam, nyinau babagan kamanungsan, ngemutaken dhumateng agunging Pengeran' (Letusan Merapi 2010 membuat kita semua belajar banyak hal, belajar alam, belajar hal-hal kemanusiaan, dan mengingatkan betapa agung Tuhan, red.)," kata Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar tujuh kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.
Hal itu dikatakan saat berbicara pada peringatan lima tahun erupsi besar Merapi yang diselenggarakan secara sederhana oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Magelang di tempat wisata unggulan daerah setempat, Bukit Ketep, Kecamatan Sawangan, Kamis (5/11).
Jarak antara puncak bukit dengan ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan air laut itu, hingga puncak Merapi sekitar empat kilometer. Bukit Ketep menawarkan kepariwisataan panorama alam sejumlah gunung di kawasan Magelang, hamparan pertanian hortikultura yang dibudidayakan petani setempat, serta edukasi menyangkut vulkanologi.
Peringatan letusan Merapi 2010 yang sekaligus ajang promosi wisata Bukit Ketep itu, ditandai dengan pemotongan tumpeng, pembacaan puisi, guritan, performa seni berjudul "Pancawarsa Krida Merapi", dan refleksi Merapi, bertempat di pelataran Panca Arga Bukit Ketep.
Hadir pada kesempatan bermakna tersebut, antara lain Kepala Disparbud Pemkab Magelang Edy Susanto, para pegawai objek wisata Bukit Ketep, Kepala Desa Ketep Arifin, beberapa perwakilan kelompok relawan Merapi, dan penyair pengembara dari Magelang Bambang Eka Prasetya.
Kedahsyatan letusan Merapi diungkapan oleh Edy Susanto melalui karya guritan yang dibacakan sebagai pengakhir pidatonya. Melalui puisi berbahasa Jawa itu, ia juga menyampaikan makna peristiwa alam itu sebagai sumber kemakmuran warga.
"'Gemludug jumlegur gemleger. Miris ngrerujit, nggrantes. Geni muncrat saka kawahe. Lintu-lumintu wedus gembel lakune. Panas tan kinira. Sato lunga saka alase. Garing aking ngrampas katentremaning warga, kaendahaning swasana. Nalika suaramu nyemburake laharmu. Ora ana kang bisa mbendung kekarepanmu. Kabeh warga keplayu. Ngungsi. Nanging kamurahaning Gusti. Dadyo rabuk tan saya subur lemahe lan saya makmur wargane'," demikian dua dari empat bait guritan "Pancawarsa Kridaning Merapi" karyanya itu.
Kira-kira terjemahan syair itu, betapa letusan Merapi begitu dahsyat, dari kawah tersembur api dan turun awan panas. Letusannya membuat satwa pergi dari hutan, warga mengungsi, dan suasana mencekam. Tak ada yang bisa membendung letusan Merapi. Tetapi, peristiwa itu sesungguhnya menunjukkan kemurahan Tuhan karena tanah Merapi menjadi subur dan masyarakat makmur.
Ihwal tentang makna letusan Merapi, ternyata telah diungkapkan Bambang Eka dalam puisi yang ditulisnya pada Oktober 2010 berjudul "Engkau Berkah Selamanya". Dia bacakan karya itu di puncak Panca Arga Bukit Ketep pada peringatan tersebut. Letusan pertama Merapi lima tahun lalu terjadi pada 26 Oktober, beberapa saat menjelang kumandang maghrib.
"Merapi empu kepundan penyimpan harapan meski terlilit. Tabahkan jiwa saat butir pasir hadir menghambur tanpa reda. Ajari kami cakap berkelit ketika upaya menatap sulit membelit. Sepertimu kami berharap, perkasa kendati menyangga sederet luka. Jejakkan langkahmu bersama abu, pasir, kerikil, dan batu. Luapkan murkamu seberapapun, hati kami tak berbalut ragu. Hingga saat keringat dan air mata berbaur lahar terkubur. Berbuah sejahtera serta bahagia saat bumi semburkan subur," demikian sejumlah bait karyanya itu dengan sub-judul, "Puisi yang tak pernah selesai".
Melalui performa gerak, berpadu dengan senandung tembang Jawa, dan syair oleh sejumlah seniman, seperti Agus "Merapi" Suyitno, Kikis, Aning Purwa, dan Begawan Prabu, mereka juga terkesan hendak mengatakan bahwa Merapi dengan erupsi besarnya pada 2010 telah menjadi sumber kesuburan alam setempat.
Mereka berperforma seni menggunakan sejumlah properti, seperti lukisan karya Agus "Merapi" Suyitno tentang sosok supranatural dari Gunung Merapi bernama "Nyai Gadung Mlati" yang disebutnya sebagai lambang kesuburan.
Lukisan di atas kanvas ukuran kecil tersebut, dipasang di anak tangga Panca Arga Bukit Ketep dengan alas bentangan kain merah menghadap ke Gunung Merapi yang siang tersebut tertutup kabut tebal, meski suasana langit di atas Ketep cukup cerah. Mereka juga menebarkan bunga mawar dan pemasangan beberapa batang dupa dalam performa itu.
Performa mereka yang tajuk "Pancawarsa Krida Merapi" dengan iringan tabuhan jimbe kecil dan tiupan seruling bambu juga menjadi atraksi wisata yang menarik bagi pengunjung Bukit Ketep.
Puisi "Suara Bumi" yang dikumandangkan dengan lantang oleh Aning di tengah performa tersebut, seakan juga memperkuat ungkapan letusan Merapi sebagai samudra memori.
Fase erupsi Merapi 2010, sebagai peristiwa yang tidak mudah diungkapkan dengan kata-kata oleh Edy. Saat itu, posisinya di jajaran birokrasi Pemkab Magelang membawanya untuk turut bersama instansi lain, mengurusi keperluan masyarakat dari dampak erupsi Merapi.
Dinas Perindustrian dan Koperasi Pemkab Magelang yang dipimpin Edy ketika itu, ikut dalam langkah tanggap darurat erupsi Merapi, melalui penyediaan dapur umum dan makanan bagi para pengungsi. Dia juga mengaku tetap memiliki naluri penanganan kebencanaan karena sebelumnya menjadi kepala Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemkab Magelang, yang antara lain menangani dampak fase erupsi Merapi sebelumnya, yakni pada 2006.
"Saya sulit berkata-kata. Kebetulan saya pernah menjadi pelaku ketika menghadapi Merapi. Peristiwa alam itu bukan untuk dilawan. Tetapi Tuhan memberikan kemampuan akal manusia untuk bisa menyiasati. Merapi tidak memusuhi kita. Merapi bukan bencana kalau tidak ada korban. Kalau ada korban, itu karena kelemahan manusia dalam menyiasati," katanya.
Disebutnya bahwa letusan Merapi 2010 sebagai kehendak Tuhan agar manusia belajar lebih mendalam lagi tentang kehidupan bersama sesamanya dan bersaudara dengan alam sekitarnya karena menjadi sumber kemakmuran.
"Tuhan berkehendak lewat Merapi. Itulah pelajaran," ungkapnya.
Sitras yang juga salah satu petinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, pada kesempatan tersebut juga mengungkapkan dalam bahasa Jawa mengenai refleksinya tentang Merapi sebagai bencana atau bukan.
"Letusan Merapi sebagai musibah karena banyak orang tinggal di kaki gunung itu, kalau tidak, tentu bukan bencana. Letusan Merapi sebagai rutinitas alam, kalau tidak meletus tentu beda persoalannya," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Merapi selalu mengirim pertanda ketika hendak memasuki fase erupsi, karena dia memperhatikan perilaku manusia yang tinggal di bawah gunung tersebut. Namun, tidak setiap orang mampu menangkap tanda-tanda alam itu.
Tanda-tanda alam menyangkut aktivitas vulkanik Merapi, ditangkap dengan berbagai peralatan modern hasil kemajuan teknologi, yang dipasang Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi di berbagai tempat di gunung itu, didukung dengan pemantauan selama 24 jam oleh para petugas pos pengamatan di berbagai tempat di kawasan Merapi.
"Di dekat kita, juga masih ada orang yang bisa menerima tanda-tanda Merapi kalau akan bekerja (erupsi, red.). Sesungguhnya Merapi memperhatikan perilaku orang di bawah gunung. Kalau alamnya rusak akan berdampak terhadap kehidupan manusia dan alam. Kalau ada tanda dari Merapi, satu cara mengatasinya adalah 'mlajar, nebihi' (menyingkir, red.) gunung," katanya.
Letusan dahsyat Gunung Merapi lima tahun lalu yang membentangkan perubahan wajah alam, membawa pengalaman masyarakat dengan kearifannya untuk menyingkir, dan mengundang daya-daya kemanusiaan itu, akan selalu menjadi samudra wisata memori penting dan penuh makna.