Tulisan tersebut menjadi ungkapan ramah menyambut pengunjung tempat wisata ziarah yang berupa Gua Masigit Sela itu.

Namun, jika seseorang yang sedang di dalam gua cukup lapang dengan puluhan stalaktit dan sejumlah ceruk gelap yang disebut oleh sesepuh dan juga penunggu gua, Turmudi (83), sebagai kamar itu kemudian bulu kuduk berdiri dan perasaan merinding muncul, kiranya hal tersebut lumrah saja.

"Ya begitu," katanya seolah membenarkan suasana dirasakan pengunjung, khususnya yang baru pertama kali berada di dalam gua itu.

Suasana di dalam gua memang gelap karena tanpa lampu penerang. Cahaya yang masuk hanya dari mulut gua yang terletak di Dusun Mangunjaya, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap.

Di bagian agak tengah gua, terdapat stalaktit yang telah menjuntai hingga menyentuh lantai gua, dikenal sebagai soko guru, dengan bekas dupa yang dibakar peziarah dan beberapa lembar daun pisang.

Seorang pemandu dari desa tetangga, di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Narsid (52), mencoba memperagakan kepada seorang tamunya pada Rabu (2/9) siang itu, bagaimana memeluk soko guru di dalam gua tersebut, yang dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan.

Ia juga bercerita tentang pengalaman pribadi pada 2003, sebelum melakukan kebiasaannya menangkap burung di kawasan Segara Anakan tersebut. Saat berdiri di mulut gua itu, tiba-tiba seekor burung cukup besar terbang menerpa wajahnya. Tak sempat, Narsid mengetahui jenis burung tersebut karena secepat kilat ke luar dari gua.

Dalam perburuannya secara manual pada hari itu juga, laki-laki yang sejak beberapa tahun terakhir bekerja sebagai pegawai SMA Negeri 1 Kampung Laut, mendapatkan 15 ekor burung, yakni "murai batu", "cecak ijo", "larwo", sedangkan dalam perburuan hari-hari biasanya, ia hanya mendapat tiga hingga lima ekor.

Tiba-tiba ia meminta tamunya berhenti bicara supaya bisa mencermati suara-suara di langit-langit gua. Cahaya senter pun diarahkan ke langit-langit, dan ternyata suara itu berasal dari seekor kelelawar cukup besar yang berkelebat-kelebat.

Di tempat transit peziarah Gua Masigit Sela yang berupa rumah panggung terbuat dari kayu seluas 70 meter persegi, Turmudi bercerita panjang lebar tentang ihwal objek wisata ziarah yang disebutnya diresmikan oleh Paku Buwono X, Raja Mataram berkedudukan di Keraton Surakarta.

Prasasti dari marmer bertuliskan huruf Jawa cukup panjang dalam beberapa baris, terpasang di dinding mulut gua. Turmudi terkesan mencoba mengeja tulisan dalam prasasti tersebut, meskipun tak rampung. Hanya nama Raja Mataram itu yang secara jelas dapat terbaca karena ditulis dalam aksara latin.

Nama "Masigit Sela" untuk gua itu yang dalam bahasa lokal berarti masjid di dalam batu, dikatakannya telah kondang hingga berbagai daerah di Indonesia karena kabar yang menyebar secara "gethok tular" atau dari mulut ke mulut, sejak masa lampau.

Untuk mencapai lokasi itu, pengunjung bisa berangkat menggunakan perahu tradisional, "compreng", bermesin tempel dengan kapasitas sekitar 20 orang, dari Pelabuhan Seleko Cilacap menuju dermaga kecil di depan Kantor Kecamatan Kampung Laut di kawasan Segara Anakan. Waktu tempuh dari pelabuhan rakyat di Cilacap hingga dermaga di Kampung Laut itu, selama sekitar dua jam.

Dari kantor kecamatan setempat, wisatawan ziarah bisa memanfaatkan jasa ojek warga setempat untuk menuju Gua Masigit Sela yang berjarak sekitar tiga kilometer dengan kondisi jalan sudah berpaving.

Selain Turmudi yang berstatus sebagai penjaga gua, ada sejumlah petugas lain dari warga setempat yang disebut sebagai juru kunci, yakni Juldik, Tatak, Tateng, Surya, Odin, Sugeng, Suryo, Surip, Pujono, dan Darmono.

Para peziarah wajib menulis nama dan alamat di buku yang telah disiapkan petugas di loket dan membayar retribusi desa Rp10.000 per orang. Hasil penarikan retribusi masuk Gua Masigit Sela setiap tahun sedikitnya mencapai Rp12.000.000.

Uang yang terkumpul tersebut selain sebagai pemasukan pemerintah desa, juga untuk biaya upacara tradisi warga setempat merayakan tahun baru Jawa, "Sura", yang berupa sedekah bumi dan laut di desa setempat.

"Biasanya setiap tahun, desa menyelenggarakan pergelaran wayang kulit dengan biaya yang terkumpul dari para peziarah gua ini," katanya dalam bahasa Jawa dialek Banyumasan.

Mereka yang datang untuk berziarah dan berdoa di Gua Masigit Sela berasal dari berbagai daerah di Indonesia, terutama kota-kota di Jawa. Setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, jumlah peziarah mencapai 15 orang, sedangkan setiap hari selama Sura, gua tersebut dipadati pengunjung.

"Kalau yang dari berbagai daerah datang ke sini, umumnya orang Jawa yang merantau. Ada banyak juga yang datang berziarah dari Tasikmalaya, Karawang, Indramayu, Bekasi, Banten. Ada juga dari Manado, Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Madura, Palembang, Jambi, Lampung, Papua, Bali, dan Yogyakarta," katanya.

Bung Karno (Presiden pertama RI Soekarno), katanya, juga pernah datang ke gua itu, yakni sebelum Indonesia merdeka. Sejumlah tokoh nasional lainnya saat ini, juga disebut Turmudi secara diam-diam atau tanpa diketahui banyak orang, berziarah pula ke tempat tersebut.

"Banyak artis juga datang ke sini," kata Turmudi yang juga mantan pejuang pada masa perang kemerdekaan RI di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dengan bergabung dalam pasukan yang disebutnya sebagai "Kompi Pujadi".

Umumnya, para peziarah berdoa di Gua Masigit Sela untuk memperoleh keselamatan, kelancaran menjalankan usahanya, kemudahan mendapatkan rezeki melalui jalan yang benar, dan tergapai cita-citanya.

"Hati harus mantap, jujur, percaya diri kalau berdoa dan berziarah ke gua ini, dari lubuk hati paling dalam. Insya Allah, Allah 'ngijabahi' (merestui, red.)," katanya.

Mereka membaca zikir dengan khusyuk dan melakukan shalat di dalam gua sebagai jalan peziarahannya.

Pengelola objek wisata ziarah juga telah menempatkan papan pengumuman tentang ketentuan berziarah yang harus ditaati dengan saksama oleh pengunjung, antara lain tetap melestarikan keutuhan batuan gua.

Selain itu, peziarah juga wajib menjaga ketenangan dan memperhatikan masalah kebersihan gua, mereka dilarang makan dan merokok di dalam gua, penggunaan senter seperlunya, mematikan lilin pada pukul 22.00 WIB, dan kewajiban membaca ayat-ayat Al Quran.

Barisan terakhir kalimat di papan pengumuman tentang tata tertib masuk Gua Masigit Sela tertulis, "Selamat Berdoa, Smoga Sukses".

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024