Nama orang itu Pangadi, sosoknya bersahaja, dan sikap lakunya seakan terkontrol oleh kematangan emosionalnya yang tidak meledak-ledak, tetapi "adhem ayem" (tenang).

Pangadi yang sederhana itu, di kampungnya menjadi kepala dusun dan pemimpin Sanggar Wonoseni, Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, dengan basis kesenian Madyopitutur, seni musik tradisional untuk mengiringi lantunan tembang-tembang islami.

Di jajaran seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), pemrakarsa agenda tahunan Festival Lima Gunung, Pangadi yang selama beberapa bulan terakhir membuka usaha pembuatan akik di rumahnya itu, mengaku tempat tinggalnya berada di kawasan Gunung Sumbing.

Dua hari menjelang festival (14--17 Agustus 2015), dia bersama Nanik Rohmiyati (istrinya) dan Dian Panca (anak gadisnya) yang masih libur kuliah kebidanan di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, tiba di kawasan Gunung Andong Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, dengan mobil bak terbuka.

Mobil sewaan itu, berisi berbagai peralatan memasak, seperti panci, cobek, penanak nasi elektrik, wajan, topeles besar tempat kerupuk, termos, gelas, piring, sendok, dan kompor gas dengan tabung elpiji. Selain itu, kasur dari busa untuk alas tidur menginap di lokasi festival di dusun itu dan beberapa lembar tikar.

Istrinya yang setiap hari jualan gorengan, menu makan, dan membuka warung kelontong di Dusun Wonolelo, tempat tinggal mereka, hendak membuka warung makan dan minuman di arena Festival Lima Gunung XIV.

Di kalangan pemimpin Komunitas Lima Gunung, Rohmiyati dikenal sebagai juru masak. Komunitas itu sering memesan menu makanan jika sedang menggelar berbagai kegiatan kesenian dan diskusi kebudayaan di pusat pertemuan komunitas tersebut di Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, di kawasan Pegunungan Menoreh.

Begitu tiba di lokasi festival di kawasan Gunung Andong, Pangadi melapor kehadirannya kepada Sutopo, ketua panitia lokal. Mereka kemudian bersama-sama menyiapkan gerai untuk Pangadi membuat akik. Gerai akiknya dibuat di depan musala dusun setempat menggunakan bahan sederhana, yakni "rigen", anyaman bambu tempat penjemuran daun tembakau panenan warga setempat.

Sejumlah orang lainnya, menyelesaikan pembuatan lokasi khusus untuk berjualan aneka makanan khas desa oleh warga setempat, termasuk yang hendak ditempati Rohmiyati dengan dibantu anak gadisnya itu. Lokasi gerai makanan yang bekas rumah warga setempat berlantai semen itu, dibuat dari "teratak" dengan penutup terpal relatif cukup luas.

Sambil sibuk bekerja, Pangadi berbincang menggunakan bahasa Jawa kepada Sutopo tentang kelegaannya setelah beberapa bulan terakhir sibuk mencari uang untuk pembayaran kuliah anak gadisnya itu melalui usaha pembuatan akik dan ketekunan istrinya berjualan makanan di dusunnya.

"Akhir bulan ini harus sudah dibayar, hampir setiap hari saya selesaikan pesanan akik sampai 'jam tiga jam empat pagi' (pukul 03.00 atau sampai 04.00 WIB, red.). Sekarang sudah cukup untuk bayar kuliah anak," katanya. Pada kesempatan itu dia pun menyebut jumlah uang kuliah anaknya itu.

Sutopo yang juga petani sayuran di kawasan gunung itu menimpali dengan cerita panenan tanaman tembakau di areal pertaniannya dalam beberapa hari mendatang yang akan mulai dilakukan.

Pemain ketoprak yang juga penabuh gamelan untuk mengiringi kesenian tradisional di dusunnya itu bertutur pula kepada sahabatnya di Komunitas Lima Gunung tersebut tentang panen cabai dan kobis yang sedang dilakukan di tengah kesibukan memimpin warga setempat menyiapkan berbagai keperluan sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung XIV.

"Istriku besok juga jualan makanan selama festival," katanya.

Panitia lokal juga memberi kesempatan kepada siapa saja untuk berjualan aneka barang, seperti makanan, minuman, mainan anak, produk kerajinan, dan suvenir dengan tempat yang telah disiapkan di halaman rumah-rumah warga.

"Selain melakukan pameran seni rupa, kami akan menjual kaus bertema festival ini," kata Albertus Novianto Eko Purnomo, pegiat Gabungan Seniman Borobudur (Gasebo), ketika bersama kelompok seniman di kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang itu, menyiapkan pembuatan seni instalasi di pintu masuk Dusun Mantran Wetan dengan menggunakan bahan instalasi berupa mobil buatan 1981, Land Rover Seri III.

Di tengah kesibukan warga siang itu untuk menyiapkan instalasi dusun dengan berbagai bahan alami, seperti janur, ranting kering, kelaras, dan menyelesaikan tiga panggung pementasan festival, puluhan perempuan yang masing-masing mengenakan kerudung pulang dari rumah kepala dusun setempat, Handoko.

Mereka pulang ke rumah masing-masing setelah selesai melakukan tradisi mendaras "doa selapanan" di rumah kadus tersebut dengan dipimpin kaum dusun, Ahmad Thohir, melewati jalan utama Mantran Wetan yang telah berhiaskan instalasi penjor dari janur. Sebagian mereka juga melewati tempat Pangadi dan Sutopo bekerja membuat gerai akik dari "rigen".

Petani sayuran setempat lainnya, Muhammad Roni, terlihat duduk seorang diri di tepi salah satu panggung di samping rumahnya. Musala kecil dengan tembok bercat warna kuning cerah dan masih baru, tampak menjulang di sampingnya duduk karena terletak di tanah yang lebih tinggi daripada halaman rumahnya.

Lelaki berumur tua yang juga ayah Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto itu seakan menikmati semarak suasana dusunnya menjelang festival yang rencananya menampilkan berbagai kesenian dengan 800--1.000 seniman itu.

Raut wajah Muhammad Roni yang sederhana itu seakan tak mampu menyembunyikan kebanggaan batin kepada salah satu anak laki-lakinya tersebut karena menghadirkan Festival Lima Gunung XIV di dusun itu. Anak lelakinya yang juga juragan sayuran memimpin Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran dengan basis kesenian tradisional bernama "Jaran Kepang Papat".

Kepada setiap tamu dari sejumlah tempat yang hadir untuk terlibat dalam penyiapan instalasi dusun untuk festival, dia dengan hangat mengulurkan jabat tangan, termasuk dengan santun menyilakan mereka untuk menikmati kudapan di meja makan di ruang tengah rumah anaknya itu.

Festival Lima Gunung XIV bertema besar "Mantra Gunung" yang digelar di dua lokasi, yakni Dusun Mantran Wetan (Gunung Andong) dan Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang (Gunung Merapi) pada tanggal 14--17 Agustus 2015.

Rencananya, festival tersebut melibatkan semua kelompok seniman Komunitas Lima Gunung, grup-grup kesenian tradisional dari sekitar desa itu, para seniman dan para tokoh budaya dari berbagai kota dan luar negeri yang selama ini berjejaring dengan Komunitas Lima Gunung.

Panitia festival, baik di Mantran Wetan maupun di Tutup Ngisor, telah menyusun rangkaian agenda festival yang padat itu, antara lain berupa pementasan tarian tradisonal, kontemporer, dan kolaborasi, pameran seni rupa, pentas musik, pembacaan puisi, kirab budaya, pemukulan gong, sarasehan budaya, pentas wayang dan ketoprak, pidato kebudayaan, dan peringatan HUT Ke-70 RI.

Para tokoh yang tercantum dalam jadwal bakal menyampaikan pidato kebudayaan, antara lain Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pelaku jejaring kebudayaan dari Solo Halim H.D., sineas Garin Nugroho, penyair Semarang Triyanto Triwikromo, Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta Hariadi Saptono.

Selain itu, budayawan Eros Jarot, putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga penggerak Gusdurian, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Raudhatuh Tholibin, Leteh, Kabupaten Rembang K.H. Ahmad Mustofa Bisri, dan Presiden Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut.

Dalam festival itu pula, Pangadi dengan anggota sanggarnya bakal menyuguhkan tarian karya baru bernuansa desa yang mereka beri judul "Tari Jiwo Rogo", sedangkan Supadi dengan anggotanya sebagai tuan rumah, antara lain mementaskan tarian "Kuda Lumping Papat", "Topeng Ireng Putra Putri", dan kuda lumping massal, melibatkan sekitar 150 seniman petani dari sejumlah grup di desa-desa sekitarnya.

Festival Lima Gunung digarap komunitas beranggota warga dusun yang berbasis kehidupan pertanian dengan kesenian tradisional yang mereka hidupi selama ini di kawasan lima gunung yang bagaikan sabuk Kabupaten Magelang.

Imajinasi semarak yang tertera dalam agenda padat dan kerja kreatif beralas semangat guyup-rukun dalam penyiapan festival, agaknya juga diperkuat oleh lorong pribadi-pribadi bersahaja dalam komunitas tersebut.

Harapannya, lorong bersahaja yang mereka tuangkan dalam Festival Lima Gunung mampu ditangkap setiap orang menjadi "mantra kehidupan".

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025