Mantan penguasa Romawi di tanah Yudea dengan namanya yang tertoreh kuat hingga saat ini dalam peristiwa historis terkait dengan sosok dari Nasaret itu, bahkan terkesan kaget ketika pewartaan kabar keselamatan Yesus sudah makin tersebar luas, dilakukan para pengikut-Nya.
"Yesus yang disebut Kristus?" tanya Pilatus. "Ya, Kamu lupa? Dia yang kamu jatuhi hukuman mati pada Hari Paskah Yahudi, sebelas tahun yang lalu itu," jawab Kornelius yang telah menjadi Kristen atau pengikut Yesus Kristus itu.
Demikian profesor sejarah dari Western Michigan University, Amerika Serikat, Paul L. Maier, menuliskan rekonstruksi berbagai fakta historis tentang Yesus dalam novel sejarah jilid kedua berjudul "Pontius Pilatus, dari Pengadilan Kontroversial sampai Kejatuhan". Cetakan pertama novel tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh penerbit Dioma, Malang, Jawa Timur, pada bulan Oktober 2009.
Hingga saat ini, nama Pontius Pilatus menjadi bagian yang disebut oleh umat Katolik di berbagai belahan dunia, saat doa kredo "Aku Percaya" setiap kali mengikuti ibadat ekaristi. Dalam doa itu, tercantum kalimat bahwa Yesus wafat di kayu salib pada zaman pemerintahan Pontius Pilatus,
Penyaliban Yesus kemudian menjadi peristiwa refleksi iman para pengikut-Nya hingga saat ini melalui berbagai pesan aktual zaman terkait dengan tugas perutusan membebaskan manusia dari dosa dan mengembalikan relasi manusia dengan Allah Bapa.
Umat Katolik merefleksikan peristiwa kematian Yesus dalam doa yang disebut Jalan Salib, setiap Jumat menjelang Hari Raya Paskah, dengan menggali kedalaman makna keimanan, sesuai dengan perkembangan kehidupan pada zamannya.
"Hari ini kita jalani jalan salib kita," kata Romo Matheus Sukmawanto, rohaniwan Katolik Gereja Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ketika memimpin prosesi doa jalan salib yang diikuti ratusan umat di kawasan barat daya dari puncak Gunung Merapi, Jumat (3/4).
Pada 2.000 tahun lalu, orang Yahudi memandang salib sebagai tanda penghinaan dan perendahan martabat manusia, sedangkan orang Yunani memandang sebagai tanda kebodohan dan melulu sebagai hukuman mati yang tidak masuk akal. Setelah peristiwa penyaliban Yesus, salib dipandang sebagai tanda kemenangan kuasa Allah atas kuasa maut. Lebih-lebih dengan kebangkitan Kristus, menunjukkan kuasa Allah yang sungguh-sungguh melampaui akal dan pikiran manusia.
"Maut dikalahkan, kehidupan baru didapatkan. Perspektif inilah yang tumbuh subur, teristimewa di kalangan orang-orang kristiani," kata Romo Sukma yang wilayah pelayanan gereja setempat meliputi umat Katolik di kawasan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang.
Umat Katolik setempat melakukan prosesi jalan salib kontemporer yang digarap dalam nuansa kental kehidupan mereka sebagai petani aneka sayuran dan padi dengan melibatkan pemuda dan pemudi peguyuban Orang Muda Katolik (OMK) Wilayah Lor Senowo, Dusun Grogol,Desa Mangunsoko, Kecamatan Dukun. Koordinator jalan salib petani itu adalah seniman desa setempat, Andreas Susanto.
Salib dari bambu setinggi 2 meter bersanding dengan garu dan sebatang bambu dengan kibaran bendera Merah Putih, didirikan di depan altar di gedung terbuka yang mereka sebut sebagai Gubug Selo Merapi (GSPi).
Di lantai berinstalasi kain warna putih, di bawah salib, umat meletakkan berbagai alat rumah tangga dan piranti pertaniannya, antara lain caping, cangkul, sekop, sabit, senggrong, tenggok, ember, keranjang, panci, wajan, serok, sotil, sedangkan anak-anak meletakkan berbagai perlengkapan sekolah, seperti buku, tas, penggaris, pensil, dan bolpoin.
"Dijadikan satu piranti kehidupan sehari-hari umat ini, di tempat yang sama, untuk dijadikan satu dengan salib Kristus. Kita mohon supaya perjalanan hidup kita di sini mendapat berkat dari Allah. Kita menghayati Jumat Agung ini dengan membawa salib konkret kita," katanya.
Moko, tokoh pemuda setempat, berbalut kain warna putih di tubuhnya, memasuki GSPi sambil melantunkan tembang Jawa. Dia lalu berjalan paling depan memulai prosesi. Sejumlah pemuda lainnya membawa 14 salib bambu berhias anyaman janur dan beberapa pemudi lainnya membentangkan kain warna putih relatif cukup panjang, berjalan diikuti umat, ke luar dari tempat itu.
Romo Sukma yang mengenakan jubah warna putih dengan stola warna ungu dan bercaping memimpin umat dengan doa "Bapa Kami" dan "Salam Maria", serta lantunan beberapa lagu rohani Katolik. Langit yang bermendung membuat puncak Gunung Merapi sekitar 8 kilometer dari tempat tersebut, tidak tampak.
Mereka prosesi jalan salib Jumat Agung dalam genggaman suasana khusyuk, menyusuri pematang sawah dengan dedaunan tanaman padi yang terlihat berwarna hijau segar.
Setiba ditepi alur Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi, Romo Sukma dengan memegang Injil berdiri di atas sebongkah batu raksasa, sisa banjir lahar hujan pascaerupsi 2010, sedangkan umat berdiri bergerombol di tepi sungai yang pernah menjadi areal penambangan pasir dan batu tersebut.
Dari atas batu andesit, dia mengajak umat merenungkan peristiwa Yesus yang memanggul salib dari Kota Yerusalem menuju tempat penyaliban di Bukit Golgota, berjumpa dengan para perempuan, termasuk Bunda Maria, yang berduka. Veronika, pengikut Yesus dikisahkan mendapat tanda iman ketika mengusap wajah Al Masih yang bermandi darah dan keringat itu dengan selembar kain.
"Yesus memberi penghiburan kepada mereka yang para ibu itu. Ibu kita adalah tanah Merapi, tempat tinggal kita yang harus selalu dipelihara, tidak dirusak, tidak dieksplorasi, tetapi dirawat melalui perjuangan sebagai petani supaya kita selalu menjumpai tanda keagungan Allah melalui tanah ini," katanya.
Mereka melanjutkan prosesi jalan salib petani, menyusuri alur Kali Senowo sambil melantunkan tembang rohani Katolik berbahasa Jawa, "Nderek Dewi Maria" (Mengikuti Maria) sampai di bebatuan raksasa di bawah cekdam Kajangkoso.
Di tempat itu, sang pastur mengajak umat merenungkan tentang hidup mengandalkan pertanian yang harus selalu membangun kebersamaan dan persaudaraan, serta saling menolong sebagaimana Simon, petani dari Kirine menolong Yesus memanggul salib. Kehadiran orang lain dalam penziarahan hidup setiap orang juga menjadi penentu penting atas jalan peziarahan manusia.
"Berziarah bersama orang lain sehingga petani tidak hanya berpikir tanah untuk bercocok tanam, air untuk sendiri, menggeser pematang supaya lahan makin luas. Kita hidup bersama orang lain harus menghargai orang lain. Kita tidak boleh merasa sendiri, ada partner bekerja dan berziarah kepada Allah. Simon membantu Yesus memanggul salib, menyadarkan kita bahwa hidup tidak lepas dari peran orang lain. Partner kita adalah Yesus," ujarnya.
Kebersamaan juga penting untuk membangun kepentingan masyarakat umum, bangsa, dan negara, disimbolkan dalam bendera Merah Putih yang diusung dalam prosesi jalan salib petani Gunung Merapi.
Ia menyebut pentingnya petani yang juga umat Katolik kawasan Merapi juga menjadi bagian dari masyarakat umum lainnya berjuang bersama-sama untuk kesejahteraan seluruh bangsa dan negara.
Setelah umat melanjutkan prosesi dan tiba di lokasi renungan ketiga di pojok Dusun Grogol, di tepi ruas jalan menuju pos pengamatan Gunung Merapi di Babadan, Romo Sukma mengajak mereka untuk merefleksikan tentang tiga kali Yesus terjatuh saat melakoni jalan salibnya.
"Dalam hidup manusia, juga petani, berkali-kali jatuh. Saat itulah kita disadarkan tentang kebutuhan akan orang lain, butuh penolong. Saat jatuh tidak 'ngelokro' (putus asa, red.), tetapi bangkit dengan pertolongan penolong utama, yaitu Yesus Kristus," katanya.
Mereka tiba kembali di depan altar Gubug Selo Merapi, menata lagi piranti prosesi yang berupa alat-alat pertanian dan piranti rumah tangga di bawah salib kontemporer petani untuk mendapat berkat melalui Romo Sukmawanto.
Mereka pun kemudian pulang ke rumah masing-masing, membawa berbagai piranti untuk menjalani hidup sehari-hari sebagai petani di lereng Gunung Merapi, dengan semangat memanggul salib tanda kemenangan.
"Jalan salib petani, cara kami menggali kedalaman tema Paskah tahun ini, 'Iman Disertai Perbuatan Kasih Semakin Hidup'," kata Andreas Susanto.