Lagu berjudul "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" ciptaan Ibu Sud itu menggambarkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara maritim yang memiliki sekitar 13.667 pulau dengan luas lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi.

Oleh karena itu, banyak warga negara Indonesia yang hidup sebagai nelayan dengan mengandalkan sumber daya perikanan di laut sebagai mata pencaharian mereka.

Akan tetapi dalam perkembangannya, persediaan ikan di beberapa wilayah perairan Indonesia mulai menyusut akibat penangkapan berlebih (overfishing) dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Terkait kondisi tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang belum lama menjabat segera mengambil kebijakan dengan mengeluarkan peraturan Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dan Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Sontak, dua peraturan tersebut menimbulkan gejolak di kalangan nelayan terutama yang berkaitan dengan larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik.

Bahkan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 2/Permen-KP/2015 itu memicu unjuk rasa di berbagai daerah, salah satunya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu dengan memblokir jalur pantai utara sebagai bentuk kekesalan mereka terhadap kebijakan yang melarang penggunaan pukat hela dan pukat tarik di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.

Salah seorang nelayan, Casroli mengatakan bahwa peraturan Nomor 2/Permen-KP/2015 itu akan mematikan nelayan setempat.

"Mohon disampaikan kepada Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) bahwa nelayan Kabupaten Batang tidak setuju Permen Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 itu," katanya.

Aksi serupa juga terjadi di Kabupaten Rembang, Jateng, di mana nelayan setempat menuntut pencabutan larangan penggunaan jaring pukat hela dan pukat tarik.

"Tuntutan nelayan hanya menginginkan Kementerian Kelautan dan Perikanan mencabut larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan tarik," katanya.

Berbeda dengan nelayan-nelayan kabupaten lainnya, nelayan di Cilacap justru mengeluhkan terbitnya peraturan Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).

"Dengan kondisi alam kita sekarang seperti ini, kami mencari Rp10 ribu di sini (Kampung Laut, red.), sekarang susah. Makanya sebagian ada yang alih profesi menjadi petani sawah dan sebagian melaut di Samudra Hindia," kata salah seorang nelayan, Jumo Anwar di Kampung Laut, Cilacap.

Akan tetapi dengan adanya peraturan Nomor 1/Permen-KP/2015, kata dia, nelayan Kampung Laut merasa sakit karena tidak boleh menangkap lobster di bawah 2 ons atau berukuran kurang dari 8 centimeter.

Menurut dia, peraturan tersebut akan "membunuh" nelayan Kampung Laut yang sebagian besar merupakan pencari lobster.

"Mayoritas lobster yang ada di pesisir Nusakambangan itu di bawah 2 ons, sedangkan yang harus kita cari di atas 3 ons (berukuran lebih dari 8 centimeter, red.)," katanya.

Oleh karena itu, dia mengharapkan peraturan tersebut ditinjau ulang karena jika tetap diberlakukan akan menyengsarakan nelayan.

Berbeda dengan pernyataan yang disampaikan Jumo Anwar, Ketua Bidang Organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cilacap Indon Tjahjono justru mendukung kebijakan Menteri KP Susi Pudjiastuti yang melarang penangkapan lobster berukuran kurang dari 3 ons karena ukurannya sangat kecil.

Menurut dia, larangan tersebut mendukung perkembangbiakan lobster sehingga kalau ada yang berukuran kurang dari 3 ons, harus dilepas kembali sama seperti kepiting yang bertelur.

"Permen KP Nomor 1 Tahun 2015 ini sebenarnya tujuannya baik kalau kita berbicara untuk kepentingan konservasi kelestarian lingkungan hayati, untuk kepentingan sosial ekonomi nelayan jangka panjang," katanya.

Hanya saja, kata dia, untuk kepentingan jangka pendeknya kurang terpikirkan karena menyangkut hajat hidup masyarakat kecil.

"Mestinya, sebelum mengeluarkan permen (peraturan menteri) apapun kan dikaji oleh tim ahli dan pemangku kepentingan. Setelah keluar, sosialisasikan dulu ke pemangku kepentingan utama, yaitu nelayan," katanya.

Dengan demikian, kata dia, begitu peraturan itu keluar akan menjadi keputusan yang bisa mengakomodasi semua kepentingan, baik untuk kelestarian jangka panjang maupun sosial ekonomi nelayan.

Terkait peraturan Nomor 2/Permen-KP/2015, dia juga mengaku mendukungnya karena penggunaan pukat hela (trawls) berdampak terhadap kerusakan lingkungan karena Cilacap pernah mengalami dampak penggunaan alat tangkap itu.

"Oleh karena itu, kami sangat mendukung sekali kebijakan pelarangan penggunaan jaring-jaring yang merusak lingkungan. Saat ini di Cilacap sudah tidak ada penggunaan jaring 'trawls'. Kalau ada, akan kita sikat duluan," katanya.

Sementara itu, dosen jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Purnama Sukardi mengatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu memikirkan langkah alternatif bagi nelayan yang menggunakan cantrang (sejenis pukat, red.) dalam mencari ikan.

"Larangan penggunaan cantrang memang bagus karena cantrang termasuk jenis pukat sehingga harusnya dilarang dari dulu. Cantrang merusak lingkungan karena ikan yang kecil-kecil ikut terjaring," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, KKP seharusnya memikirkan langkah alternatif bagi nelayan-nelayan kecil yang selama ini menggunakan cantrang.

Dia mencontohkan langkah alternatif yang dapat diambil KKP berupa memberikan bantuan kapal besar untuk nelayan kecil sehingga mereka bisa mencari ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE).

"Itu masalah hidup dan mati sehingga mereka mempertahankan penggunaan cantrang," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa di ZEE terdapat wilayah kosong yang sejak tahun 1900-an sampai sekarang masih menjadi rebutan sejumlah negara.

Menurut dia, wilayah tersebut berada sekitar 200 mil laut dari Cilacap ke arah selatan.

"Sejak 1900-an di situ sudah ada kapal-kapal Jepang, Korea, Malaysia, dan Thailand. Luas sekali sampai Afrika," katanya.

Ia mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan invasi besar-besaran untuk mengalihkan nelayan-nelayan kecil yang selama ini menggunakan cantrang ke kapal besar agar bisa mencari ikan di wilayah ZEE.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa larangan penggunaan cantrang atau pukat itu seharusnya diberlakukan secara bertahap.

"Jangan langsung diterapkan. Kalau langsung, mereka (nelayan, red.) makan apa," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, pakar kelautan dan perikanan Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberikan solusi bagi nelayan pascapelarangan penggunaan jaring cantrang.

"Sebenarnya ada dua solusi yang dapat diberikan oleh pemerintah," katanya usai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Akuakultur Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto di Gedung Soemardjito Unsoed.

Menurut dia, solusi pertama adalah larangan penggunaan jaring cantrang itu jangan diberlakukan di seluruh wilayah perairan Indonesia.

"Yang sudah 'overfishing' (penangkapan ikan berlebih, red.) saja, yang sudah jenuh. Perairan yang masih 'underfishing' (penangkapan ikan yang masih kurang, red.) menurut saya sebaiknya dibolehkan, tentunya dengan pengaturan," kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu.

Ia mengatakan bahwa pengaturan itu di antaranya dengan sedikit memperbesar mata jaringnya supaya tidak merusak kelestarian lingkungan.

"Solusi yang kedua, kalau memang mau dilarang semua, pemerintah harus memberikan alternatif alat tangkap yang efisien sekaligus ramah lingkungan," katanya.

Bahkan, kata dia, tidak hanya alternatif alat tangkap saja tetapi juga pemerintah harus mendorong perbankan supaya memberi pinjaman kepada nelayan.

Menurut dia, hal itu disebabkan modal yang dimiliki nelayan terbatas.

"Saya kira, dua solusi itu yang bisa 'win-win'. 'Win-win' itu artinya pemerintah benar, bisa menegakkan kelestarian, juga tidak menciptakan pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi perikanan tidak menurun, di lain sisi nelayan juga 'happy', gembira," katanya.

Disinggung mengenai kemungkinan nelayan tradisional yang menggunakan perahu kecil dialihkan ke kapal-kapal besar, Rokhmin mengatakan bahwa hal itu merupakan salah satu bentuk alternatif alat tangkap ikan.

"Persis yang saya bilang tadi. Jadi, bentuk alternatif lain itu dengan mendorong nelayan untuk bisa beroperasi ke wilayah-wilayah perairan yang lebih lepas, yang selama ini ikannya dicuri," katanya.

Akan tetapi, kata dia, hal itu tidak seperti membalikkan telapak tangan karena nelayan yang biasanya hanya sehari dalam mencari ikan (one day fishing) agar bisa melaut selama satu minggu atau lebih harus dilatih dan sebagainya.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah seharusnya jangan membuat kebijakan yang mematikan sesaat sebelum adanya solusi.

Saat menyampaikan makalah yang berjudul "Pembangunan Perikanan yang Berdaya Saing, Adil, dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia" dalam seminar tersebut, Rokhmin mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan kebijakan dan strategi pembangunan sektor kelautan dan perikanan di antaranya pengembangan 5.000 unit armada kapal modern (berkapasitas di atas 30 gross tonage) milik nelayan, badan usaha milik negara (BUMN), atau swasta Indonesia dengan "purse siners", "longliners", atau pukat ikan.

Menurut dia, kapal-kapal itu untuk wilayah Laut China Selatan dan Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda dan Maluku, Laut Arafura, perairan barat Sumatera dan selatan Jawa, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang selama ini banyak dicuri nelayan asing, serta perairan internasional di luar ZEEI.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025