Situs yang ditemukan pertama kali pada 2008 di kawasan penambangan pasir di lereng Gunung Sindoro tersebut ditangani oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, dan Balai Konservasi Borobudur.

Situs yang diduga peninggalan zaman Mataram Kuno tersebut, berdasarkan penelitian bekas sisa bangunan berupa sampel arang kayu dan bambu yang diteliti di Badan Tenaga Atom Yogyakarta menunjukkan bahwa Situs Liyangan dihuni sejak abad VI hingga abad X.

Ketua Tim Ekskavasi Situs Liyangan dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Sugeng Riyanto menuturkan berdasarkan lima sampel arang yang diteliti di Badan Tenaga Atom Yogyakarta keluar angka tahun paling tua 578 M, 742 M, 846 M, 913 M, dan yang paling muda 997 M.

"Sampel arang yang kami kirim tiga di antaranya arang bambu dan dua sampel arang kayu. Munculnya abad VI, 8, 9, 10 itu membuktikan bahwa Situs Liyangan ini dihuni setidaknya 400 tahun," ungkapnya.

Ia yakin sebelum abad VI sudah ada penghuninya, namun belum ditemukan buktinya dan tempat itu terus dihuni hingga akhir abad X dan akhirnya terkubur oleh letusan.

"Kalau sebelumnya diperkirakan abad IX, untuk sementara ternyata lebih panjang masa huninya," tuturnya.

Balai Arkeologi Yogyakarta pada November 2014 kembali melakukan ekskavasi di Situs Liyangan dengan konsentrasi di sekitar jalan batu paling bawah. Pada ekskavasi tersebut tim menemukan beberapa hal spektakuler yang belum pernah ditemukan sebelumnya.

Sugeng mengatakan pada jalan batu tersebut salah satu sisinya terdapat talud dari batu. Kira-kira jarak sekitar delapan meter dari jalan batu ke arah barat ditemukan bangunan berupa struktur batu yang memanjang ke arah barat berbentuk lima teras berundak.

"Ekskavasi kali ini untuk mencari hubungan jalan batu dengan bangunan teras. Awal ekskavasi ditemukan lantai tanah yang terbakar di samping ada tulang, pecahan gerabah, dan keramik."
Di antara lantai yang terbakar, katanya ditemukan fitur-fitur berupa sejumlah lubang yang berpola memanjang dari timur ke barat sejajar dengan kultur batu bangunan teras.

Ia menyebutkan, sekitar 29 lubang tersebut terdiri atas dua baris berada di tengah teras atau teras ketiga. Lubang-lubang ini berbentuk persegi dan lingkaran. Bentuk lingkaran diperkirakan bekas bambu, dan yang persegi bekas kayu.

"Lubang-lubang yang berpola dengan jarak masing-masing 30 centimeter, kemungkinan itu dinding yang diperkuat dengan kayu dan bambu atau mungkin berupa pagar. Kami belum tahu persis karena baru ditemukan polanya saja," ucapnya.


"Jaladwara"
Selain ditemukan struktur batuan memanjang lima susun berbentuk teras dan di salah stu teras ditemukan sejumlah lubang tersebut, dalam penyusuran jalan batu dari arah kompleks candi utama kawasan peribadatan menuju arah bawah, di dekat jalan kuno tersebut tim menemukan bangunan batu yang diukir berupa "jaladwara".

"Penemuan terbaru komponen bangunan yang diukir membentuk jaladwara berbentuk makara. Bangunan berukir baru kali ini kami temukan. Hal ini menandakan bangunan suci, kalau makara itu binatang air mitologis," tutur Sugeng Riyanto.

Jaladwara adalah hiasan candi melukiskan mulut ikan menghadap keluar candi, gunanya untuk mengalirkan air dari kaki candi ke luar candi. Sedangkan makara merupakan wujud binatang.

Jaladwara di Liyangan memiliki bentuk unik dengan ukiran, sementara baru dua jaladwara ditemukan sebab bagian bangunan lain masih tertutup material vulkanik.

Dua jaladwara itu menyatu dengan bangunan batu yang tersusun rapi memanjang dengan trap-trapan semacam undakan.

Lubang jaladwara menyambung dengan saluran air di atasnya yang juga terbuat dari batu. Posisi jaladwara lebih menonjol dibandingkan trap-trapan batu yang menyangganya.

Bangunan tembok yang menjadi satu kesatuan dengan jaladwara memanjang dan ke bawah menyatu dengan tanah. Pada ujung bangunan yang berbatasan dengan talud bolder berupa undakan batu. Persis di bawah jaladwara juga ditemukan bongkahan arang.

"Adanya temuan tambahan tersebut kami mempunyai data lebih banyak tentang luasan situs, dari jalan batu terus mengarah ke bawah dan dari data yang kami temukan hingga pemetaan terakhir ini setidaknya kesimpulan ada tiga area utama, areal hunian, areal peribadatan, dan areal pertanian," tuturnya.

Menurut dia di areal hunian itu ternyata juga menjadi bagian areal peribadatan. Jadi areal hunian itu merupakan halaman pertama dari areal peribadatan.

"Di areal hunian ini selain dinamika kehidupan waktu itu juga ada suatu bangunan candi, di areal hunian ini kami sebut halaman pertama, kemudian naik ke halaman kedua ada dua batur, dan naik ke halaman tiga atau halaman utama ada suatu candi serta lima batur dan di atasnya merupakan areal pertanian," katanya.

Selain ekskavasi, kata Sugeng juga dilakukan analisis artefak temuan sebelumnya dari bahan tembikar atau gerabah berupa kendi, mangkuk, priuk, kemudian dari bahan keramik juga hampir sama ada guci, teko, dan mangkuk. Berdasar kajian, keramik di Liyangan berasal dari Tiongkok diperkirakan abad IX-X masehi.

Selain itu, juga ditemukan bahan dari logam, antara lain berupa lampu gantung, senjata, dan peralatan rumah tangga. Kemudian juga peralatan dari batu, antara lain berupa pipisan.

"Sekarang yang kami lakukan adalah analisis temuan-temuan artefak sisa analisis tahun lalu, kami memang urutkan mulai dari tembikar setelah seleai ganti ke logam, setelah selesai ke batu," paparnya.


Cagar Budaya
Sampai kapan ekskavasi atau penelitian Situs Liyangan selesai hingga kini belum ada yang tahu, namun untuk melindungi peninggalan sejarah tersebut Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Temanggung pada 2015 berencana untuk mengusulkan Situs Liyangan menjadi cagar budaya.

"Telah diketahui bersama bahwa Liyangan merupakan situs yang kompleks sehingga kuat untuk diusulkan menjadi cagar budaya," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Temanggung, Didik Nuryanto.

Ia mengatakan penetapan cagar budaya itu sesuai amanat undang-undang dengan melihat potensi yang ada, baik potensi temuan, luasan situs, kompleksitas temuan, maupun berbagai keunikan yang ditemukan para peneliti.

Ia menuturkan konsekuensi sebagai cagar budaya, yakni memiliki legal formal sehingga kawasan situs tersebut merupakan cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya.

Secara bertahap, katanya setelah dilakukan ekskavasi ditemukan berbagai peninggalan zaman Mataram Kuno, antara lain berupa bangunan candi, batur, bangunan talut, sisa rumah panggung yang telah menjadi arang, peralatan rumah tangga berupa keramik dan gerabah.

Ia menyebutkan, luas lahan yang telah dibebaskan di Situs Liyangan saat ini sekitar 21.000 meter persegi, terdiri atas sekitar 16.000 meter persegi dibebaskan oleh BPCB Jateng dan sisanya menggunakan anggaran Pemkab Temanggung.

Ia menuturkan selama ini Pemkab Temanggung juga ikut andil dalam pembiayaan ekskavasi, pada 2013 dianggarkan Rp230 juta, kemudian 2014 Rp97 juta, dan pada 2015 juga menganggarkan Rp97 juta.

Didik mengatakan pada 2015 Pemkab Temanggung tidak menanggarkan untuk pembebasan lahan, namun BPCB Jateng kembali akan membeli lahan masyarakat di kawasan Situs Liyangan sekitar 15.000 hektare.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024