Tradisi setiap Sura, tahun baru dalam kalender Jawa, oleh pondok pesantren yang dipimpin Kiai Haji Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) dan digarap para seniman petani Komunitas Lima Gunung itu, telah menjadi magnet kehadiran berbagai tokoh lintas sektoral, tak hanya kalangan seniman dan budayawan setempat.
Mereka yang hadir dalam "Suran Tegalrejo", antara lain Menteri Tenaga Kerja Muhammad Hanif Dhakiri, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Kacung Marijan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Selain itu, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Magelang K.H. Ahmad Said Asrori, Ketua DPRD Kabupaten Magelang Saryan Adiyanto, Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif, Rektor Universitas Tidar Magelang Cahyo Yusuf, serta perupa Arahmaiani.
Kehadiran mereka dari berbagai lintas sektoral itu, seolah ingin meneguk perspektif kebudayaan untuk menguatkan bekal melakoni perjalanan masing-masing seperti pesan yang disuguhkan dalam pentas "Wayang Gunung" berlakon "Ratu Adil Lintas Sektoral" dengan dalang muda Sih Agung Prasetyo pada Jumat (21/11) hingga menjelang malam itu.
Wayang gunung berupa tokoh wayang mewujudkan berbagai serangga, karya Sujono, seniman petani Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, di kawasan antara Gunung Merapi dengan Merbabu.
Sang dalang yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung, saat mementaskan wayang tersebut diiringi tabuhan slenthem dan gender. Pesan dari lakon yang terinspirasi dari tema Borobudur Writers and Cultural 2014, "Ratu Adil: Kekuasaan dan Pemberontakan di Nusantara" belum lama ini, intinya setiap orang menjadi "ratu adil" bagi sektor kehidupan masing-masing yang tenteram, damai, dan guyub, dari tataran jagat besar hingga jagat kecil.
Peringatan tahun baru Jawa yang kemudian dikenal sebagai "Suran Tegalrejo" tahun ini, dengan tema "Jamasan Zaman 2014", berlangsung di Pondok Pesantren Entrepreneur Asrama Perguruan Islam Meteseh Tempuran yang menjadi bagian dari Ponpes API Tegalrejo pimpinan Gus Yusuf.
Berbagai suguhan pementasan secara meriah dan dalam suasana terkesan hangat pada kesempatan itu, antara lain musik islami "Shalawat Pituturmadya" (Sanggar Wonoseni, Bandongan), "Shalawat Rebana" (Kelompok Shalawat Diponegoro Kelurahan Mendut, Mungkid), "Shalawat Jawa" (Sanggar Andong Jinawi, Mantren Wetan, Ngablak).
Selain itu, pentas musik puisi, monolog, performa seni, musik grup Hong Wilaheng oleh sejumlah seniman dengan iringan musik kontemporer secara rampi-rampi, antara lain Munir Syalala, Yani, Wicahyanti Rejeki, dan Gepeng Nugroho. Grup "Sampak Gusuran" pimpinan Habib Anis Ba'asyin (Pati) menyuguhkan paduan pentas tembang, musik, tari, dan selawatan.
Setelah budayawan dan Presiden Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang Sutanto Mendut berpidato singkat, disusul pementasan komunitas itu secara rampi-rapi, meliputi tembang gunung, tarian topeng saujana, klono bronto, roro putih, truntung cangkem, dan prosesi singkat mengusung gunungan Wayang Gunung.
Setelah pementasan Wayang Gunung, dalang Sih Agung menyerahkan wayang serangga sebagai cenderamata, masing-masing kepada Menaker Hanif Dhakiri (wayang kupu-kupu) dan Gus Yusuf (wayang semprang).
"Ratu adil iku 'kerjo, kerjo, kerjo', (Ratu adil itu juga menyangkut semangat bekerja keras membangun kerukunan, kedamaian, dan kesejahteraan masyarakat, red.)," demikian salah satu penggalan ungkapan dalang Sih Agung saat memainkan wayang itu. Pada kesempatan itu, ia juga mengucapkan tentang makna "jamasan zaman" sebagai kehadiran zaman baru untuk melangkah kepada kehidupan bersama dengan semangat baru.
Hanif yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa (2014) dan staf khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2006-2007) itu, mengungkapkan daya pikat "Suran Tegalrejo" dalam tema "Jamasan Zaman 2014" dengan perspektif kental kebudayaan.
"Pesantren ini menjadi menarik, kegiatannya menarik karena perpektifnya adalah kebudayaan. Cara pandang kebudayaan ini harus terus digelorakan untuk membangun relasi dan berdialog dalam dinamika masyarakat kita," katanya dalam pidato kebudayaan.
Tumpuan utama bergerak untuk pembangunan masa depan Indonesia dengan cara pandang kebudayaan, katanya, terletak kepada sumber daya manusia.
Pembangunan yang bersifat material, katanya, menjadi tidak berarti apabila tidak diikuti oleh investasi sumber daya manusia.
"Kebetulan dalam Kabinet Kerja pimpinan Pak Jokowi-JK (Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla), urusan investasi sumber daya manusia, sebagiannya merupakan tugas dan tanggung jawab saya sebagai Menteri Tenaga Kerja," katanya.
Ia berharap banyak kepada kelangsungan tradisi "Suran Tegalrejo" tersebut, terkait dengan kepentingan investasi sumber daya manusia Indonesia.
Kacung Marijan bertutur tentang kebudayaan sebagai keniscayaan interaksi manusia yang mewujud dalam sistem nilai (hubungan manusia dengan Tuhan, antarmanusia, dan manusia dengan alam semesta), ekspresi (antara lain nyanyian, tarian, zikir, puisi), dan fisik (antara lain masjid dan candi).
"Dengan kebudayaan, hidup manusia makin baik, terawat, hubungan satu sama lain makin nyaman, dengan lingkungan alam makin bagus, tidak takut banjir, bagaimana mengelola alam. Hubungan dengan alam melahirkan kearifan lokal. Kita kaya kebudayaan, dengan meletakkan secara baik untuk membangun manusia secara utuh, tetapi juga menyangkut membangun kenegaraan dan kebangsaan," katanya.
Pada wali yang telah menyebarkan ajaran Islam pada masa lampau, katanya, juga memperkuat kebudayaan dengan keislaman di Indonesia.
Dengan mengutip Buya Syafi'i Ma'arif , tokoh pluralisme Indonesia yang juga mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Kacung mengatakan bahwa, "Islam yang punya masa depan, yang pro-kebudayaan. Islam diturunkan juga untuk memperkuat kebudayaan". Hadirin pun bertepuk tangan mendengar pidato kebudayaan Sang Dirjen Kebudayaan itu.
Gus Yusuf yang juga pemuka spiritual Komunitas Lima Gunung, pada kesempatan itu bercerita tentang salah satu kebijaksanaan dan keputusan arif dari almarhum Kiai Chudlori, ayahnya yang juga pendiri Ponpes Tegalrejo. Keputusan arif dan bijaksana Kiai Chudlori itu, diceritakan berulang-ulang di berbagai tempat oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Seperti sejarah cerita disampaikan oleh Gus Dur, tentang Kiai Chudlori, masjid, dan gamelan," katanya.
Kisah itu, tentang Gus Dur yang masa mudanya menjadi santri di Ponpes Tegalrejo, diajak Kiai Chudlori menerima tamu, rombongan warga salah satu desa di Kecamatan Pakis yang datang ke ponpes tersebut.
Mereka bersitegang tentang pemanfaatan kas desa. Warga terbelah, satu kelompok ingin kas desa untuk biaya membangun masjid dan satu lainnya untuk membeli gamelan.
"Masalah itu tidak selesai dibahas di kampung, akhirnya dibawa ke Tegalrejo (ponpes)," katanya.
Kiai Chudlori, katanya, "dhawuh" (minta) kepada warga tersebut agar kas desa untuk membeli gamelan. Alasannya, hal yang penting adalah membangun ketenteraman, guyub, dan rukun warga, sebagaimana ajaran Islam untuk ketenteraman dan perdamaian umat manusia.
"Itu yang utama. Islam itu datang untuk menjaga ketenteraman untuk kedamaian. Tidak ada gunanya masjid megah tetapi masyarakat berseteru. Kalau masyarakat guyub dan rukun, masjid bakal berdiri dengan sendirinya. Cerita tentang Kiai Chudlori itu yang selalu diulang-ulang Gus Dur. Bahwa esensi Islam itu bukan sebatas simbol-simbol, tetapi ketenteraman, guyub, rukun, dan kedamaian," katanya.
Gus Yusuf juga menegaskan bahwa orang Indonesia yang memeluk Islam, tidak lepas dengan kebudayaan. Untuk menjadi Islam yang baik, juga dituntut menjadi orang Indonesia yang baik.
"Islam seratus persen, Indonesia kita juga seratus persen. Inilah yang perlu kita 'uri-uri' (lestarikan) bersama-sama," kata Gus Yusuf.