Penanda terbangun konstruksi keseimbangan politik negeri ini ditandai dengan pertemuan secara maraton Jokowi dengan para petinggi tiga kamar legislatif dan sejumlah elite partai politik. Badai politik dalam negeri selama beberapa bulan terakhir terkait dengan pemilu presiden dengan ikutannya, cenderung mereda.

Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat pun secara langsung bertemu dengan para puncuk pimpinan nasional untuk menyampaikan undangan resmi kehadiran para elite negeri pada pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wapres RI, 20 Oktober 2014.

Kekhawatiran yang sempat muncul tentang terganjalnya pelantikan Jokowi-JK sebagai pasangan Presiden dan Wapres RI periode 2014--2019 karena siasat politik para elite, menjadi sirna karena kepastian hari penting kenegaraan dan kebangsaan tersebut makin menguat.

Keseimbangan relasi para pemimpin nasional seakan makin dikukuhkan menjadi keseimbangan komplit, yakni dengan rakyat negeri dan alam juga, melalui prosesi para peritual di puncak Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Puluhan peritual datang dari beberapa kota, seperti Yogyakarta, Solo, dan Magelang ke pelataran Candi Borobudur, Rabu (15/10) malam, lima hari menjelang pelatikan Jokowi-JK itu oleh MPR di gedung parlemen, Senayan, Jakarta.

Mendung bergumpal sempat sejenak waktu membalut langit Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra.

Ketika koordinator penyelenggara ritual bertajuk "Chakra Mandhala Nusantara" itu, Agung "Begawan Prabu", selesai menyampaikan kata pengantar singkat, satu-dua tetes air terasa jatuh menerpa kulit para peritual.

"Malam ini kita berdoa dengan cara masing-masing, mengusahakan kebaikan yang sebaik-baiknya untuk Nusantara. Dalam beberapa hari mendatang, bangsa kita memasuki kepemimpinan baru di bawah Pak Jokowi-JK. Harapan kita kejayaan bangsa kita kembali lagi," kata Agung "Begawan Prabu" yang juga seniman Magelang itu.

Ritual doa di Borobudur dengan layanan pengamanan secara ramah oleh sejumlah petugas yang berjaga di Zona I Candi Borobudur malam itu, katanya, menjadi penting karena tempat itu adalah monumen luhur bangsa yang juga warisan peradaban dunia.

"Kita percaya masa kejayaan bangsa ini akan kembali lagi di bawah pemimpin baru," katanya seakan disambut satu-dua tetes air dari awan di langit Borobudur yang perlahan berarak diterpa angin malam.

Kristina Fong, Detik Cahyo Wicahyono, dan Bambang Tri Putranto, tiga di antara peserta riual kemudian meletakkan di pelataran barat laut Candi Borobudur, sejumlah properti antara lain cobek kecil berisi air, kembang kantil, melati, kamboja, dan kenanga, sejumlah lentera. Puluhan batang dupa ditancapkan di beberapa lembar pelepah pisang.

Para peritual duduk bersila di atas rumput pelataran, mengambil sikap semadi dan masuk dalam tafakur masing-masing, diiringi bunyi alat musik bernama "Singing Bowl" yang dibawa Detik Cahyo dan tiupan alat musik dari tanduk kerbau, "Shofar", oleh Begawan Prabu, penanda ritual dan doa dimulai.

Suasana meresap tenang di pelataran candi megah dari tatanan dua juta batu andesit di kawasan pertemuan antara aliran Sungai Elo dan Progo, Kabupaten Magelang, malam itu.

Mereka kemudian berpradaksina sebanyak tujuh kali, mengelilingi Candi Borobudur. Dalam balutan takzim, mereka menjalani prosesi yang diyakini sebagai doa dengan cara masing-masing di bangunan warisan peradaban dunia itu. Semerbak dari asap dupa menandai mereka berprosesi ritual di pelataran bangunan agung tersebut.

Puluhan lainnya kemudian kembali bersila di rumput pelataran candi, sedangkan Fong, Detik, dan Bambang meniti tangga timur hingga puncak stupa Borobudur dalam gelap malam dengan pengawalan petugas.

Diletakkannya dua cobek berisi berbagai kembang itu, persis di bawah stupa induk Candi Borobudur.

"Kami persembahkan bunga ini pertanda hormat kami kepada nenek moyang. Kejayaan bangsa, semoga kembali terwujud," kata Fong yang juga psikolog terapan dari Kota Solo itu.

Di puncak stupa Borobudur, mereka bertiga kemudian berpradaksina tujuh kali dalam balutan takzim ritual. Beberapa kali mereka bersimpuh mencium batu pelataran stupa, simbol hormat atas warisan bangsa dan doa kepada Tuhan untuk Nusantara di bawah pemimpin baru.

"Ada ketenangan menyapa hati hingga terasa bumi. Semua perlu menyapa alam tanpa henti. Semua berpengharapan besar Nusantara menemukan kejayaan kembali. Harapan banyak melalui doa untuk pemimpin baru. Doa kita di sini dan seluruh rakyat Indonesia, semoga terkabul," kata Fong.

Setelah ritual doa, Detik Cahyo yang telah menjalani hal serupa di beberapa candi, seperti Candi Sewu di Prambanan, Candi Ijo di Yogyakarta, dan Candi Gunung Wukir di Salam, Kabupaten Magelang, tersebut mengemukakan pentingnya usaha membangun keseimbangan relasi antara para pemangku negeri, rakyat, dan alam raya.

Para leluhur, kata dia, juga membangun relasi tersebut sehingga mewariskan kebudayaan bernilai luhur untuk generasi bangsa hingga saat ini, dalam wujud Candi Borobudur yang agung.

"Terus-menerus ada usaha perbaikan. Pemimpin, rakyat, dan alam, selalu mengusahakan keseimbangan untuk berbagai bidang kehidupan, termasuk bernegara dan berbangsa," katanya.

Candi Borobudur sendiri, baik secara fisik monumen maupun pemaknaan atas kekayaan pesan nilai universal, mewujudkan keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Relasi jagat ragawi dan rohani yang harmoni tertera dalam wujud bangunan menjadikan candi itu menorehkan makna tidak sekadar kejayaan, tetapi juga keagungan.

Dengan istilah prosesi mereka sebagai menyerap energi budaya dan keluhuran nilai Candi Borobudur, para peritual mengusahakan melalui doa-doanya agar keseimbangan relasi antara para pemimpin, rakyat negeri, dan alam raya makin mantap terbangun. Di samping itu, supaya kehidupan penghuni Nusantara ini beroleh kebaikan dan kejayaan.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025