"Pemilihan kepala daerah tingkat provinsi secara langsung oleh rakyat mencerminkan perwujudan hak dan kedaulatan rakyat, partisipasi rakyat dalam pilkada, dan memperkuat legitimasi," katanya kepada Antara di Semarang, Jumat.
Profesor Wiwieq (sapaan akrab peneliti senior LIPI Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D.) mengatakan hal itu ketika menjawab pertanyaan mengenai kelemahan dan keunggulan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), baik secara langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD.
Ia lantas menyebutkan sejumlah keunggulan pilkada langsung lainnya, yakni mendekatkan hubungan antara pemimpin dan rakyat, pendidikan politik rakyat, melembagakan proses pendalaman demokrasi, serta menjamin terpilihnya pemimpin yang kapabel dan akseptabel.
Adapun kelemahannya pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, lanjut Prof. Wiwieq, terjadinya politisasi birokrasi, biaya tinggi, rawan konflik, dan belum siapnya pranata demokrasi, di samping menimbulkan problematik dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Sementara itu, pemilihan gubernur melalui perwakilan, menurut Prof. Wiwieq, keunggulannya adalah lebih sederhana dan efisien serta mengurangi potensi konflik sosial, di samping dapat menciptakan pola relasi kepala daerah dan DPRD yang relatif harmonis.
Dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu juga menyebutkan sejumlah kelemahan pilkada melalui perwakilan, antara lain mereduksi proses demokratisasi lokal dan mendorong penguatan oligarki dan politik uang di DPRD.
Mengenai makna otonomi daerah terkait dengan revisi undang-undang tersebut, Prof. Wiwieq yang juga pakar otonomi daerah mengutarakan bahwa revisi terhadap UU itu akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan nasional (dekonsentrasi), di samping aktualisasi reperesentasi kepentingan lokal (devolusi).
Adapun tujuannya pilkada ini, kata Prof. Wiwieq, memilih pemimpin yang kapabel secara demokratis, memperdalam proses demokrasi (deepening democracy) di Indonesia, dan mendekatkan hubungan pemimpin dan rakyat.
Menyinggung kondisi empiris terkait dengan pilkada, Prof. Wiwieq berpendapat bahwa partai politik gagal melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi, di samping kesadaran politik rakyat pemilih belum memadai.
Selain itu, isu netralitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi/Panwaslu tingkat kabupaten dan kota, politisasi birokrasi, politik uang atau transaksional, dan politik kekerabatan.
Profesor Wiwieq (sapaan akrab peneliti senior LIPI Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D.) mengatakan hal itu ketika menjawab pertanyaan mengenai kelemahan dan keunggulan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), baik secara langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD.
Ia lantas menyebutkan sejumlah keunggulan pilkada langsung lainnya, yakni mendekatkan hubungan antara pemimpin dan rakyat, pendidikan politik rakyat, melembagakan proses pendalaman demokrasi, serta menjamin terpilihnya pemimpin yang kapabel dan akseptabel.
Adapun kelemahannya pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, lanjut Prof. Wiwieq, terjadinya politisasi birokrasi, biaya tinggi, rawan konflik, dan belum siapnya pranata demokrasi, di samping menimbulkan problematik dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Sementara itu, pemilihan gubernur melalui perwakilan, menurut Prof. Wiwieq, keunggulannya adalah lebih sederhana dan efisien serta mengurangi potensi konflik sosial, di samping dapat menciptakan pola relasi kepala daerah dan DPRD yang relatif harmonis.
Dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu juga menyebutkan sejumlah kelemahan pilkada melalui perwakilan, antara lain mereduksi proses demokratisasi lokal dan mendorong penguatan oligarki dan politik uang di DPRD.
Mengenai makna otonomi daerah terkait dengan revisi undang-undang tersebut, Prof. Wiwieq yang juga pakar otonomi daerah mengutarakan bahwa revisi terhadap UU itu akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan nasional (dekonsentrasi), di samping aktualisasi reperesentasi kepentingan lokal (devolusi).
Adapun tujuannya pilkada ini, kata Prof. Wiwieq, memilih pemimpin yang kapabel secara demokratis, memperdalam proses demokrasi (deepening democracy) di Indonesia, dan mendekatkan hubungan pemimpin dan rakyat.
Menyinggung kondisi empiris terkait dengan pilkada, Prof. Wiwieq berpendapat bahwa partai politik gagal melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi, di samping kesadaran politik rakyat pemilih belum memadai.
Selain itu, isu netralitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi/Panwaslu tingkat kabupaten dan kota, politisasi birokrasi, politik uang atau transaksional, dan politik kekerabatan.