Mereka menyebut sebagai sedang "topo ing rame" atau bertapa di tengah keramaian pesta demokrasi, dengan harapan meraih hikmah tertinggi dan kedalaman makna kearifan desa dan gunung dalam menghadapi agenda negeri yang puncaknya pada 9 Juli 2014.
Hiruk pikuk situasi perpolitikan negeri, apalagi menyangkut kampanye pemilu mendatang yang menghadapkan dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sebagaimana masyarakat lainnya, menjadi bagian penting kehidupan harian mereka di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang itu.
Desa-desa mereka juga berhias atribut kampanye dua pasangan kandidat itu, namun guyup mereka tetap terjaga. Suara mereka pada pilpres mendatang, boleh dipastikan tidak mengarah hanya kepada salah satu pasangan kandidat, namun terbelah dengan alasan hak setiap individu untuk menyalurkan pilihan politiknya untuk masa dengan Indonesia.
Suasana kebatinan di kalangan komunitas itu, ditangkap secara jitu oleh para petingginya sehingga kegiatan buka puasa bersama mereka pada Kamis (3/7) petang hingga malam hari yang dikemas dengan berbagai pementasan kesenian, seakan menjadi ajang pemantapan untuk keterlibatan setiap pegiat pada pilpres mendatang.
"Dalam perpolitikan pilpres, kami 'topo ing rame', memandang penting 'ngeli' (mengalir) tapi tidak 'keli' (hanyut). Melalui buka puasa Ramadhan tahun ini, kami melakukan refleksi holistik tentang akal sehat komunitas di realitas hidup persaudaraan silang kepentingan politik momentum dan kebangsaan, dan kekuatan kebudayaan sebagai latar kemanusiaan yang adil dan beradab," kata pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut.
Berbagai pementasan kesenian di panggung terbuka Studio Mendut, pusat aktivitas Komunitas Lima Gunung itu, antara lain musik Madyapitutur (Sanggar Wonoseni, Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan), tembang Shalawat dan tarian Kuda Lumping (Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak).
Selain itu, pentas teater "Wahyu Bapa Harjo" (Padepokan Tjipta Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun), tarian Geculan Santri Cilik, Kipas Jilbab, dan Topeng Ireng (Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis).
Nuansa religi Islami secara kental mewarnai pementasan kesenian oleh sejumlah grup di Komunitas Lima Gunung, baik menyakut syair tembang, tabuhan musik pengiring, maupun pakaian tarian yang mereka kenakan.
Selain itu, pentas kolaborasi musik jaz oleh grup "Jaz Randy Band" Kota Magelang dengan tiupan saksofon Nano Tirto (Direktur Utama Bank Jateng) dan permainan piano Sutanto Mendut, duet musik gitar oleh Direktur Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Djohan Salim dan Royke Koapada (dosen musik dan komponis), serta musik kontemporer oleh grup Gangsadewa Yogyakarta pimpinan Memet Chairul Slamet.
Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno yang juga hadir pada acara itu, didaulat untuk orasi budaya politik dan melantunkan satu lagu diiringi grup "Jaz Randy Band", sedangkan Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas berpidato yang intinya pilihan politik sebagai hak privasi setiap warga negara, meskipun setiap orang memiliki jejaring masing-masing.
Pegiat Komunitas Lima Gunung yang juga ulama muda dari Pondok Pesantren Payaman, Kecamatan Secang Kholilul Rohman Ahmad (Gus Kholil) memberikan "kuliah tujuh menit" sebelum waktu berbuka puasa tiba. Materi kultum yang disampaikan kepada jamaah kebudayaan Komunitas Lima Gunung berjudul "Falsafah Iqra dan Nilai-Nilai Universal Holistik Komunitas".
Saat tiba waktu untuk berbuka puasa, mereka "membatalkan puasa" dengan menyantap kolak dan berbagai camilan desa, sedangkan seorang petinggi komunitas, Pangadi, mengambil mikrofon kemudian mengumandangkan azan untuk mengajak mereka bershalat maghrib secara berjamaah di ruang terbuka "Sendang Pitutur" Studio Mendut, dengan imam Wabup Hadi Supeno.
Pada kesempatan itu, pegiat lainnya yang juga dalang dari Dusun Sudiomoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag Sih Agung Prasetyo mementaskan Wayang Gunung dengan sejumlah sosok wayang kontemporer berkarakter serangga, ciptaan pimpinan Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan Sujono.
Dalang muda itu menyuguhkan lakon "Debat Capres Republik Serangga Indonesia", hanya dengan iringan musik "gender" yang dimainkan seorang penabuh bernama Manteb. Dia memainkan empat wayang karakter serangga yang di masyarakat desa disebut sebagai uler kilan, tongkeret, tengu, dan orong-orong.
Dialog yang dimainkan dalam pementasan secara humor itu, mengisyaratkan tongkeret dan orong-orong, masing-masing berperan sebagai capres, uler kilan moderator debat, dan tengu pengamat politik.
Dikisahkan dalam debat melalui dua tokoh wayang serangga, bahwa setiap kandidat menyampaikan visi, misi, dan program kerja. Masing-masing juga menunjukkan rekam jejak dan karakter kepribadiannya sebagai pemimpin, sehingga setiap calon menyatakan optimistis layak meraih kemenangan pada pemilihan mendatang.
Pada akhir pementasan Wayang Gunung, tokoh moderator debat memberi kesempatan kepada tokoh wayang sebagai pengamat politik untuk menyampaikan penilaian dan pesan kepada rakyat atas pesta demokrasi.
"'Kabeh capres duwe keluwihan lan kekurangan. Ning sing penting ora 'black campaign', ora politik uang. Rakyat sing milih tetap rukun, migunakake nurani kanthi tanggung jawab kanggo nentokake pilihan politike'," kata tokoh wayang yang dimainkan perannya sebagai pengamat politik itu.
Terjemahan kalimat berbahasa Jawa yang disampaikan Sang Dalang dalam pementasan berdurasi sekitar 15 menit tersebut, kira-kira "Semua calon presiden ada kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi yang penting tidak kampanye sesat dan melakukan praktik politik uang. Rakyat harus tetap rukun dan menggunakan suara hati secara bertanggung jawab untuk menentukan pilihan politiknya".
Melalui mimbar kultumnya di depan "Monumen Lima Gunung" terbuat dari batu setinggi sekitar dua meter di panggung alam Studio Mendut, Gus Kholil mengemukakan Ramadhan tahun ini, harus menanggung beban kekejian, akibat marak kampanye sesat terkait dengan pilpres. Segelintir orang melakukan kampanye secara masif menggunakan model penyebaran kata-kata provokatif yang merasuk sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Beban Ramadhan itu, katanya, disebarkan melalui layanan pesan singkat, media sosial, media dalam jaringan, media cetak, televisi, radio, maupun dari mulut ke mulut yang mengakibatkan situasi seakan-akan mencekam bagi masyarakat awam. Ia menyebut kampanye sesat sebagai sampah yang harus disingkirkan.
"Apakah ini sejarah yang harus ditanggung oleh generasi Indonesia mendatang atau cukup hanya generasi yang mengalami masa Pilpres 2014 ini. Jawabannya akan terjawab setelah tanggal 9 Juli, pekan depan," katanya.
Ia menyebut Ramadhan tetap agung, menjadi momentum yang baik bagi manusia untuk membersihkan hati, budi, dan pikiran dari berbagai ihwal yang buruk. Ramadhan masih sedia kala, sebagai momentum manusia mendekatkan diri kepada Tuhan, sekaligus mempertegas manusia dalam dimensi kemanusiaannya.
Pesan Ramadhan kali ini, katanya, sebagai petunjuk bahwa keberadaan manusia benar-benar sebagai "khalifah fil ardl" atau pemimpin di muka bumi. Oleh karena kenyataan sebagai pemimpin di muka bumi memang bukan persoalan mudah, sehingga setiap umat Islam diwajibkan untuk "iqra" (membaca).
"Tidak hanya membaca bacaan, tulisan, ataupun Al Quran. Tetapi juga membaca yang lainnya, seperti membaca fenomena alam, peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dan sebagainya," katanya.
Peristiwa pemilu presiden juga bahan yang layak dibaca umat, agar mereka menangkap tanda-tanda perubahan apa yang akan terjadi atas Indonesia masa mendatang.
"Bukankah siapapun capres terpilih Indonesia harus berpikir lagi?" katanya.
Jalan komunitas seniman petani tersebut "topo ing rame" di tengah hiruk pikuk pilpres, kata Gus Kholil, karena mereka meyakini secara mendalam atas ungkapan iman, "Wallahu a'alam bishawab" (Hanya Allah Maha Mengetahui atas segala perkara).