Spirit Damai Ditanam Lewat Pancaran Seribu Lentera
Di dahan-dahan pepohonan dengan umat di bawahnya duduk di kursi dan sebagian lainnya bersila di atas tikar, juga digantungkan puluhan ting berhiaskan kereneng terbuat dari rajutan bambu.
Begitu juga, di tepi kanan dan kiri jalan sepanjang 300 meter dari perempatan dusun hingga halaman Gereja Santo Yusup Wonokerso, Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, puluhan ting tertancap di mana-mana.
Instalasi ting menjadi penyemarak suasana prosesi mereka yang merayakan peristiwa turunnya roh kudus atas para rasul, yang dalam tradisi gereja dikenal sebagai Hari Pantekosta.
Suasana tertangkap sebagai semarak sejak menjelang petang hingga hari menjadi malam di dusun itu. Ketua Gereja Wilayah Wonokerso Winarto menyebut sekitar 600 umat mengikuti perarakan Hari Pantekosta yang dilanjutkan misa kudus dipimpin Romo Robertus Saptaka.
Nuansa toleransi antarumat beragama juga terasa menyejukkan hati, ketika umat Katolik memulai misa, saat itu pula terdengar kumandang azan Maghrib. Umat Islam setempat juga menjalankan ibadahnya secara takzim di masjid tak jauh dari gereja setempat.
Penggarapan prosesi perayaan Pantekosta dipimpin seniman lereng Gunung Merapi Ismanto dan pendamping peguyuban Orang Muda Katolik Wilayah Wonokerso Cercentia Yudita. Mereka kemudian memberi nama peristiwa itu, Festival Seribu Ting. Dalam kotbah misa, Romo Saptaka menyebut instalasi natural tebaran ting itu, sebagai terkesan semarak.
Inspirasi utama Festival Seribu Ting adalah peristiwa iman Katolik, ketika roh kudus dalam wujud lidah-lidah api turun atas para murid pertama Yesus.
Turunnya roh kudus membuat mereka memiliki keberanian untuk menjadi pengabar atas Yesus Kristus yang telah sengsara hingga wafat disalib, namun tiga hari kemudian bangkit dari kematian, dan kemudian Isa Almasih itu naik ke surga.
Ratusan umat bersama puluhan misdinar dan sejumlah prodiakon, arak-arakan dari perempatan dusun menuju gereja setempat. Setiap umat membawa ting berbalut kereneng yang disangga dengan sebilah bambu.
Sejumlah pemuda dengan wajah bercat warna putih, menjadi pemanggul tandu dari bambu yang berisi bara api dalam wajan saat prosesi itu.
Lantunan tembang-tembang rohani Katolik mengiring prosesi mereka. Di pintu masuk halaman gereja, tabuhan sejumlah tambur dengan penyangga rajutan bilah bambu, menyambut mereka yang menjalani arak-arakan.
Misa berlangsung di halaman gereja. Begitu hari makin malam, tempat di bawah rimbun pepohonan berubah menjadi semarak oleh pancaran cahaya ting beraneka warna.
"Ini menjadi simbol iman kami, betapa roh kudus turun atas umat di sini, untuk selanjutnya menjadi semangat dan suka cita umat untuk hidup sehari-hari sebagai pembawa kebaikan," kata Yudita didampingi Ismanto.
Begitu banyak ting yang dibuat dan ditata di berbagai tempat di halaman gereja setempat dalam perayaan tersebut, katanya, sehingga para kreator menyebut sebagai seribu ting.
Seribu ting menjadi lambang roh kudus yang hadir, menjadi kekuatan spiritual umat untuk menjadi pengabar pesan perdamaian.
Romo Saptaka menyebut perayaan Pantekosta petang itu, sebagai kehadiran roh kudus atas umat Katolik Wonokerso.
Roh kudus menggelorakan semangat mereka untuk menjadi pewarta kabar keselamatan dan perdamaian di lingkungan masing-masing.
"Dulu roh kudus hadir dalam bentuk api. Sekarang umat Wonokerso melambangkan dengan ting. Kehadiran roh kudus menjadi terang umat. Lambang umat di sini menjadi cahaya perdamaian. Roh kudus turun di Wonokerso supaya umat mencari persatuan dan kesatuan," katanya.
Roh kudus, katanya, mendorong umat untuk menjadi pewarta cinta kasih di manapun, yang wujudnya berupa kehidupan yang tenteram, termasuk bersama pemeluk agama lainnya.
"Termasuk jangan terpecah belah karena pemilu presiden. Bersama-sama umat yang lain membangun hidup menjadi lebih maju dan makmur," katanya.