Semarang (ANTARA) - "Parani Food & Supplier Festival" menampilkan puluhan stan dari berbagai pelaku usaha kuliner serta pemasok bahan makanan dan minuman berlangsung di MAC Ballroom, Semarang, Jawa Tengah (Jateng), dari 1 sampai dengan 3 Oktober 2025.
Managing Director Sinnar Luciana Jaya Lavencia di Semarang, Rabu (1/10), mengatakan Festival Parani bukan sekadar pameran biasa, tetapi menjadi ekosistem yang mempertemukan pemasok, pelanggan dan calon pengusaha kuliner.
"Parani diambil dari bahasa Jawa yang berarti mendatangi. Harapannya, acara ini menjadi ajang kebersamaan untuk mendorong pertumbuhan industri 'F&B' (food and beverage) di Jawa Tengah," katanya, saat pembukaan pameran.
Menurut dia, industri makanan dan minuman di Kota Semarang menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, seiring meningkatnya jumlah tempat makan, pusat kuliner, dan tingginya minat masyarakat terhadap kuliner.
Ia mengatakan para pelaku usaha di Jateng, khususnya Semarang, sangat antusias mengembangkan bisnis makanan dan minuman karena minat masyarakat yang cukup tinggi terhadap kuliner.
"Menurut kami, bisnis 'F&B' masih cukup baik ya. Karena kelihatannya orang Jawa Tengah juga masih suka jajan. Jadi, masih bisa untuk menaikkan 'F&B' di Jateng," katanya.
Bahkan, program makan bergizi gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah pusat juga turut mendorong peningkatan kebutuhan bahan baku yang berdampak terhadap perkembangan industri makanan dan minuman.
"Kalau dengan ada (program, red.) MBG mungkin 20 persen pertumbuhan secara bahan makanannya. Ini menjadi peluang bagi pengusaha untuk menyediakan bahan baku yang berkualitas," katanya.
Melalui "Parani Food & Supplier Festival", perusahaannya ingin mempertemukan para pelaku usaha makanan dan minuman, pemasok dan konsumen agar industri makanan dan minuman di Jateng semakin berkembang.
"Kami hadir supaya bisa memberikan edukasi bahwa Semarang tidak ketinggalan dengan kota yang lainnya. Jadi, kami membawakan beberapa bahan-bahan yang bisa mendukung kemajuan 'F&B' di Kota Semarang," katanya.
Sementara itu, Nanda Djoennaedy selaku Founder Sinnar Luciana Jaya mengatakan bisnis makanan dan minuman selama ini terbukti tangguh meski menghadapi beragam tekanan
Seperti, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1998 dengan naiknya nilai tukar dolar AS secara signifikan, ternyata bisnis makanan dan minuman tetap berjalan meski mengalami sedikit penurunan.
Demikian pula, saat Indonesia bersama negara-negara lainnya dihantam pandemi COVID-19 yang membuat prospek industri makanan dan minuman juga turun, namun tidak begitu drastis.
"Pelaku usaha tetap membuat makanan, sehingga distribusi bahan baku tetap berjalan. Saat ini, bisnis 'F&B' terus berkembang," katanya.
"Ketika krisis ekonomi tahun 1998, pas dollar AS naik, penjualan kami memang turun, tapi enggak sampai tinggi, drastis. Karena para pengusahanya kan tetap harus buat (makanan, red.)," katanya.
Selain pameran, kata dia, pengunjung bisa menikmati gelar wicara, demo masak, dan berbagai lomba unik seperti kompetisi makan roti bersama pabrikan Swiss dan lomba kreasi red velvet.
Baca juga: Pakar Unsoed: Nusakambangan potensial kembangkan "food estate"

