Tiga pimpinan KPK ajukan "judicial review" UU KPK
Jakarta (ANTARA) - Tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu, untuk mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 19/2019 tentang KPK.
Ketiga pimpinan KPK itu, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang, namun mereka menyampaikan gugatan itu secara pribadi, atas nama koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas 13 orang pegiat antikorupsi.
"Kami datang ke sini itu sebagai pribadi dan warga negara mengajukan judicial review UU KPK yang baru, Nomor 19/2019. Kami didukung 29 pengacara," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Baca juga: KPK panggil anak Menkum HAM terkait kasus suap proyek dan jabatan
Dalam kesempatan itu, terlihat pula eks pimpinan KPK M. Yasin, mendampingi ketiga pimpinan KPK itu dalam mengajukan judicial review, sekaligus menjadi penggugat.
Selain mereka berempat, ada sembilan nama lainnya yang terdaftar sebagai penggugat, yakni eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Betty Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo.
Kemudian, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Fickar Hadjar, Abdilah Toha, Ismid Hadad, serta Omi Komaria Madjid, istri dari mendiang Nurcholis Madjid.
Baca juga: Presiden Jokowi masih susun nama-nama Dewan Pengawas KPK
Meski mengajukan peninjauan kembali atas UU KPK, Agus tetap mengharapkan Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
"Ya enggak apa-apa (mengajukan judicial review). Kalau, misalkan, Presiden sekarang keluarkan perppu juga enggak apa-apa," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode menjelaskan UU KPK itu memiliki banyak kesalahan secara formil maupun materiil sehingga harus digugat, apalagi proses penyusunannya tidak melibatkan konsultasi publik.
"Bahkan, DIM-nya (daftar inventarisasi masalah) saja tidak diperlihatkan ke KPK sebagai stakeholder (pemangku kepentingan) pertama UU KPK. Berikutnya lagi naskah akademik UU itu. Tidak masuk juga prolegnas," tuturnya.
Laode juga melihat ketidaksinkronan pada beberapa pasal, yakni antara Pasal 69 dan 70 UU KPK, kemudian aturan tentang Dewan Pengawas yang justru bukan mengawasi, tetapi memberikan izin.
"Jadi, yang mengawasi Dewan Pengawas itu siapa? Karena tidak ada yang mengawasi semua kinerja dalam KPK, atas sampai bawah. Mereka tidak melakukan pengawasan, tetapi melakukan operasional memberikan izin penyadapan dan penggeledahan," ujarnya menegaskan.
Ketiga pimpinan KPK itu, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang, namun mereka menyampaikan gugatan itu secara pribadi, atas nama koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas 13 orang pegiat antikorupsi.
"Kami datang ke sini itu sebagai pribadi dan warga negara mengajukan judicial review UU KPK yang baru, Nomor 19/2019. Kami didukung 29 pengacara," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Baca juga: KPK panggil anak Menkum HAM terkait kasus suap proyek dan jabatan
Dalam kesempatan itu, terlihat pula eks pimpinan KPK M. Yasin, mendampingi ketiga pimpinan KPK itu dalam mengajukan judicial review, sekaligus menjadi penggugat.
Selain mereka berempat, ada sembilan nama lainnya yang terdaftar sebagai penggugat, yakni eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Betty Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo.
Kemudian, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Fickar Hadjar, Abdilah Toha, Ismid Hadad, serta Omi Komaria Madjid, istri dari mendiang Nurcholis Madjid.
Baca juga: Presiden Jokowi masih susun nama-nama Dewan Pengawas KPK
Meski mengajukan peninjauan kembali atas UU KPK, Agus tetap mengharapkan Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
"Ya enggak apa-apa (mengajukan judicial review). Kalau, misalkan, Presiden sekarang keluarkan perppu juga enggak apa-apa," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode menjelaskan UU KPK itu memiliki banyak kesalahan secara formil maupun materiil sehingga harus digugat, apalagi proses penyusunannya tidak melibatkan konsultasi publik.
"Bahkan, DIM-nya (daftar inventarisasi masalah) saja tidak diperlihatkan ke KPK sebagai stakeholder (pemangku kepentingan) pertama UU KPK. Berikutnya lagi naskah akademik UU itu. Tidak masuk juga prolegnas," tuturnya.
Laode juga melihat ketidaksinkronan pada beberapa pasal, yakni antara Pasal 69 dan 70 UU KPK, kemudian aturan tentang Dewan Pengawas yang justru bukan mengawasi, tetapi memberikan izin.
"Jadi, yang mengawasi Dewan Pengawas itu siapa? Karena tidak ada yang mengawasi semua kinerja dalam KPK, atas sampai bawah. Mereka tidak melakukan pengawasan, tetapi melakukan operasional memberikan izin penyadapan dan penggeledahan," ujarnya menegaskan.