Semarang, ANTARA JATENG - Ketua Advokasi Hukum Front Pembela Islam (FPI) Zainal Abidin Petir, S.Pd., S.H., M.H. memandang perlu ada tolok ukur jelas soal kegentingan yang memaksa sebelum Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
"Jangan ada kesan bahwa Presiden mengeluarkan perpu karena `tidak puas` dengan sanksi yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)," kata Petir dalam wawancara dengan Antara di Semarang, Minggu, ketika merespons Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU tentang Ormas.
Dalam perpu itu, disebutkan bahwa UU Ormas mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif.
Petir mengatakan bahwa Presiden memang berhak menetapkan perpu sebagaimana kentuan dalam konstitusi, Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun, ada syaratnya, yakni dalam kondisi kegentingan yang memaksa (vide Pasal 1 Angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Akan tetapi, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 Penjelasan atas UU No. 12/2011, pasal itu dinilai cukup jelas atau tidak ada definisi "kegentingan yang memaksa" sehingga perlu ada batasan yang jelas agar tidak mengedepankan subjektivitas.
"Nah, apakah kondisi sekarang sudah sangat genting? Padahal, keberadaan UU No. 17/2013 itu sudah cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945," kata Petir.
Ia menekankan, "Sangat bahaya kalau dalam pembuatan undang-undang kepentingan pribadi atau golongan masuk karena UU itu untuk mengatur rakyat supaya tertib dan ada kepastian hukum. Semua harus merasa terlindungi, itu asas pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan."
Setidaknya, menurut Petir, parameter kegentingan adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Berikutnya, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU sudah ada tetapi tidak memadai.
Kekosongan hukum, katanya lagi, tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa (jalur legislatif) karena akan memakan waktu yang relatif sangat lama, sementara keadaan sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
"Ini era demokrasi, jangan sampai pemerintah justru membungkam ide dan kreativitas rakyat dalam melakukan pengawasan dan kritik membangun," katanya.
Lagi pula, UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 E Ayat (3) memberikan jaminan kepada setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Begitu pula, lanjut dia, dalam Pasal 24 Ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
Berita Terkait
Stafsus: Yaqut dilantik jadi Menag untuk perbaiki tata kelola Kemenag
Senin, 4 Desember 2023 13:52 Wib
Pesan mantan Ketua FPI Banjarnegara
Rabu, 3 Agustus 2022 15:52 Wib
Dua polisi terdakwa "unlawful killing" lepas dari sanksi pidana
Jumat, 18 Maret 2022 13:05 Wib
Ditanya hakim kondisi batin saat baku tembak, Briptu Fikri: Kacau, sangat kacau
Rabu, 2 Februari 2022 14:49 Wib
Jaksa ajukan banding atas vonis kasus kerumunan Rizieq Shihab
Senin, 31 Mei 2021 13:18 Wib
Polri: Munarman ditangkap karena terlibat baiat di tiga lokasi
Selasa, 27 April 2021 18:27 Wib
Munarman ditangkap, bakal diperiksa di Polda Metro Jaya
Selasa, 27 April 2021 18:25 Wib
Presiden terima TP3 Enam Laskar FPI yang dipimpin Amien Rais
Selasa, 9 Maret 2021 12:31 Wib