Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian
periode 2000-2001 Rizal Ramli mengaku menjelaskan secara umum kepada KPK
bahwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak bisa
dilepaskan peranannya dari tekanan IMF kepada Indonesia.
Rizal mendatangi gedung KPK untuk didengar keterangan dan
pandangannya terhadap kebijakan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI.
"Seperti diketahui di Asia pada 1997-1998 mengalami krisis.
Negara-negara tetangga kena krisis dan Indonesia juga kena. Kalau kita
undang IMF ekonomi Indonesia tetap kena krisis dan anjlok sekitar enam
persen, dua persen bahkan nol persen," kata Rizal di gedung KPK,
Jakarta, Selasa.
Namun, kata dia, Menteri Perekonomian pada waktu itu mengundang IMF
akibatnya ekonomi Indonesia malah anjlok ke minus 13 persen.
"Sebelum Managing Director IMF Michael Camdessus ketemu Pak Harto
pada Oktober 1997, saya diundang dengan beberapa ekonom, saya
satu-satunya ekonom yang menolak IMF datang ke Indonesia karena
pengalaman di Amerika Latin, IMF malah bikin lebih rusak daripada bikin
lebih bagus," katanya.
Pada saat itu, kata Rizal, IMF menyarankan agar tingkat bunga bank
dinaikkan dari 18 persen menjadi 80 persen sehingga banyak
perusahaan-perusahaan yang sehat menjadi bangkrut dengan bunga 80 persen
tersebut.
"IMF memerintahkan supaya ditutup 16 bank kecil-kecil tahun 1998
tetapi begitu bank kecil ditutup rakyat tidak percaya dengan semua bank
Indonesia apalagi bank swasta pada mau menarik uangnya seperti BCA dan
Danamon. Bank-bank ini nyaris bangkrut, akhirnya pemerintah terpaksa
menyuntik BLBI dalam mata uang dolar AS dan pada waktu itu nilainya
sekitar 80 miliar dolar AS," tuturnya.
Selanjutnya, Rizal juga menjelaskan soal IMF pada waktu itu yang
memaksa pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada 1 Mei 1998.
"Dua hari sebelum kenaikan itu saya diundang oleh Managing Director
IMF Asia di Hotel Grand Hyatt. Dia bilang Pak Ramli kami mau minta
pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM 74 persen, saya bilang
hati-hati ini suasananya sudah "panas" kalau kamu paksakan ini bisa
terjadi sesuatu," kata Rizal.
Pada 1 Mei 1998, kata Rizal, Pemerintahan Soeharto akhirnya menyetujui untuk menaikkan harga BBM sebesar 74 persen.
"Kemudian terjadi demo besar-besaran di Makassar, Medan, Solo, dan
Jakarta. Ribuan orang luka-luka ratusan meninggal, Rupiah anjlok dari
Rp2.300 menjadi Rp15.000. Hal ini dikenal dalam literatur sebagai
kerusuhan yang diakibatkan oleh kebijakan IMF. Jadi akibat tiga
kebijakan ini, terjadi lah kasus BLBI yang besar," ucap Rizal.
Ia juga menceritakan bahwa pada waktu itu para pemilik bank yang
dibantu kredit BLBI pada dasarnya akan dibantu dengan uang tunai.
"Jadi meminjam tunai harus dikembalikan dengan tunai tetapi pada
Pemerintahan Habibie dilobi diganti tidak usah bayar tunai asal
menyerahkan aset saham, tanah, dan bangunan perusahaan. Kalau obligornya
itu benar dia serahkan aset yang bagus yang sesuai dengan nilainya tapi
juga ada kasus-kasus di mana dia menyerahkan aset "busuk" yang nilainya
itu tidak sepadan," kata Rizal.
Rizal mengaku dirinya dipanggil KPK dalam kapasitasnya sebagai
mantan Menko Perekenomian dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK) pada saat itu.
"Tetapi kejadian yang diselidiki oleh KPK ini terjadi setelah saya
tidak lagi jadi Ketua KKSK dan tidak lagi jadi menteri tetapi oleh Menko
yang baru di pemerintahan setelah Gus Dur. Saya dimintai keterangan
karena saya ketahui prosedur proses dalam pengambilan keputusan
masalah-masalah yang ada di BPPN. Sebelumnya, KPK juga sudah memanggil
Kwik Kian Gie yang jadi Menko sebelum saya menjabat untuk mengetahui
proses dalam prosedur yang terjadi," tuturnya.
Sebelumnya, Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT) selaku Ketua Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diduga menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan
atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku
pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.
Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya
mencapai Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat
(1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling
banyak Rp1 miliar.
Berita Terkait
Kapolri: Satgas BLBI sita Rp5,9 triliun aset obligor
Kamis, 27 Januari 2022 16:12 Wib
Mahfud MD perintahkan Satgas BLBI sita aset pengemplang utang
Senin, 8 November 2021 11:49 Wib
Menkeu bakal blokir akses obligor BLBI ke lembaga keuangan
Jumat, 4 Juni 2021 13:19 Wib
Menkeu: Dana BLBI Rp110 triliun bakal ditagih ke 22 obligor
Kamis, 22 April 2021 16:41 Wib
Mahfud: Kerugian negara dalam kasus BLBI mencapai Rp109 triliun lebih
Senin, 12 April 2021 14:35 Wib
MAKI bakal gugat Praperadilan SP3 perkara BLBI oleh KPK
Jumat, 2 April 2021 10:51 Wib
Rizal Ramli desak KPK tuntaskan kasus-kasus besar
Jumat, 19 Juli 2019 11:12 Wib
Kwik dan Rizal Ramli dipanggil jadi saksi kasus BLBI
Kamis, 11 Juli 2019 10:42 Wib