Perbincangan sejumlah warga terkait dengan Pemilu Presiden 9 Juli 2014, mengesankan dukungan kuat mereka terhadap pasangan kandidat, sebagaimana beberapa baliho yang terpasang di dusun mereka.

Pemilu presiden mendatang, diikuti dua pasangan calon, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan nomor urut 1 dan Joko Widodo-Jusuf Kalla nomor urut 2.

Masing-masing pasangan kandidat itu, diusung dalam pesta demokrasi lima tahunan oleh koalisi partai politiknya. Mereka terus menggalang dukungan politik rakyat untuk meraih kursi kepresidenan untuk periode 2014-2019.

Lanjutan perbincangan sepenggal-penggal soal pilpres, seakan menyusup secara cair ke pendapa Padepokan Tjipto Boedojo di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, saat berlangsung acara seni dan budaya bertajuk "Umbul Donga Segara-Gunung", Sabtu (21/6) siang hingga menjelang maghrib.

Acara itu, kerja sama Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor pimpinan Sitras Anjilin dengan Padepokan Lemah Putih Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pimpinan Suprapto Suryodarmo, dengan antara lain dihadiri Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas dan pengelola salah satu komunitas Borobudur, "Warung Info Jagad Cleguk" Sucoro.

Sejumlah pementasan menandai acara itu, antara lain wayang bocah "Buta Njaluk Pusaka Kembang" (anak-anak Dusun Tutup Ngisor), tarian dan musik "Rebut Balung Tanpa Isi" (Sanggar Bangun Budaya Desa Sumber), musik dan gerak "Sedulur" (Pandoraremaji Yogyakarta), monolog "Kisah Selagi Tua" (Muhammad Sodiq dari Padepokan Tjipto Boedojo).

Selain itu, suguhan tari tunggal "Bentuk Air" di halaman padepokan (Agnes Kristina), tari "Somba" (Sera dari Aceh, Sulviana dari Makassar, dan Rodrigo dari Spanyol), geguritan "Sandyakala" (Eka Pradaning dari Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor) dan musik "Eleven PM" (Yok dan Alit Yogyakarta).

Sebelum dialog budaya soal khasanah nilai-nilai segara dan gunung, Suprapto Suryodarmo, Sitras Anjilin, Kaori Okado, dan Agus Bima menyuguhkan performa "Umbul Donga Segara-Gunung" diiringi musik gender oleh Kamso. "Umbul donga" maksudnya menyampaikan doa.

"Indonesia sekarang sangat politik, masalah kebudayaan masyarakat menjadi tidak kelihatan. Kita diokupasi, ditelan, dan dipakai menjadi politik," kata Suprapto yang juga pengajar gerak spiritual itu.

Para pembicara dalam dialog, menyampaikan beragam perspektif tentang kekayaan alam, budaya, dan spiritualitasnya terkait dengan segara dan gunung. Agus Bima dari Klaten dalam dialog itu, antara lain mengemukakan adanya satu garis lingkar candi-candi yang dibangun nenek moyang bangsa Indonesia, di berbagai tempat di kawasan Gunung Merapi.

Sitras Anjilin membicarakan soal aliran air yang hulunya dianggap sebagai tempat suci, sedangkan segara atau lautan sebagai peleburan. Siapa saja yang banyak melihat dan mengalami aliran air dari hulu (gunung) hingga segara, diartikan secara kultural sebagai memiliki keragaman wawasan, pemikiran, sikap arif, dan kekuatan spiritualitas.

Selain itu, Tyas mengemukakan tentang kecerdasan nenek moyang bangsa Indonesia membangun Candi Borobudur, terkait dengan luasnya pengetahuan mereka atas jagat lautan dan daratan.

Pemimpin kelompok Sanggar Gadung Mlati Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Ismanto, mengemukakan kebebasan siapa saja untuk menafsirkan secara multidimensi atas "Umbul Donga Segara-Gunung".

"'Umbul donga' menjadikan pesta demokrasi pilpres mendatang menjadi kesejukan masyarakat. Semoga ini menjadi multitafsir, saling memperkaya arti dan makna kehidupan, membuat orang tidak mudah terhasut, saling mendengarkan orang, dan saling berbicara," katanya.

Pada kesempatan itu, Ismanto agaknya ingin menyoroti, betapa multitafsir juga sajian wayang bocah "Buta Njaluk Pusaka Kembang" yang digarap Sodiq dengan melibatkan sekitar 15 anak dusun setempat berusia anak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama itu.

Sejumlah lagu dolanan anak seperti "Prakanca", "Bang-Bang Tut", dan "Gundhul-Gundhul Pacul" menandai pementasan wayang bocah itu.

Sejumlah syair tembang itu pun, menurut Ismanto, mengandung pesan kepada calon pemimpin Indonesia masa depan, tentang pentingnya menguatkan semangat gotong-royong, keberpihakan kepada kepentingan rakyat, dan inspirasi mereka agar selalu mengedepankan urusan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan untuk rakyat, melalui kekuasaan yang dipegangnya.

Lakon carangan dengan model pementasan secara kontemporer itu, seperti dijelaskan oleh Sang Sutradara, tentang seorang raja (Dimas) dari Kerajaan Buta hendak merebut kembang pusaka milik ratu (Sinta) dari Kerajaan Widadaren.

Sang ratu tidak menyerahkan kembang yang dirawat oleh rakyatnya itu dengan tekun kepada buta atau raksasa, akan tetapi buta diberi bibit pohon untuk ditanam dan dirawat sehingga tumbuh kembang yang kemudian menjadi pusaka.

"Pesannya ingin mengajarkan kepada manusia, juga calon pemimpin kita, bahwa untuk mendapatkan sesuatu bukan dengan cara merebut dan merusak milik orang lain. Memang tidak mudah, karena memang untuk mencapai tujuan harus dimulai dari menanam," kata Sodiq.

Melalui performa gerak "Rebutan Balung Tanpa Isi" yang diiringi tetabuhan alat musik jimbe (Yoni Legowo dan Arifin), bonang (Ibnu Sadewa), gong (Pujianto), ketuk (Damar), dan seruling (Antok), Untung Pribadi yang memimpin Sanggar Bangun Budaya itu, mengatakan bahwa lakon tersebut tentang rebutan air dalam suatu "lodhong" (potongan bambu).

Pemain performa itu, adalah Untung, Muhammad Sodiq, Setyoko, dan Sunantoro. Mereka memainkan gerak di panggung padepokan yang dibangun sejak 1937 itu, dengan membawa "lodhong".

"Kalau diraih dengan cara buruk, hanyalah sia-sia yang didapatkan," kata Untung yang juga salah satu bagian dari keluarga besar Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor itu.

Demikian pula dengan geguritan "Sandyakala" yang disajikan penciptanya, Eka Pradaning. Secara gampang, syair-syairnya bercerita tentang letusan dahsyat Gunung Merapi akhir 2010 yang disusul dengan banjir lahar hujan dari gunung itu secara terus menerus pada 2011.

Akan tetapi, salah satu bait geguritan itu, tak pelak dari sindirannya yang tajam atas merebak tak henti-henti kampanye sesat, terkait dengan pemilu presiden yang hingga saat ini masih berada di tahapan kampanye oleh masing-masing pasangan kandidat dengan para pendukungnya.

"'Sandyakala ana sesawangan kang sumpek dinulu. Ngebaki sajroning alam lan sesawangan. Swara-swara manungsa wis dudu ilat kang semanak. Kang gawe resepe ati tinali rasa tresna lan asih. Lambene wong-wong iku wis padha salin rupa. Malih panah lan gendewa kang tegel nyocoki. Ati lan rasa pangrasa mungguhing liyan. Ilate wong-wong iku wis malih dadi tumbak cucukan. Kang ngrojah-rajeh nalare tangga teparo. Kanthi upas lan pitenah amrih lali marang lekase ati'," demikian salah satu bait geguritan tersebut.

Kira-kira terjemahan bebas atas bait itu, keadaan sedang menyesakkan dada karena orang-orang berbicara kasar, tidak menyenangkan hati, dan tanpa kasih sayang. Wajah manusia berubah menjadi panah yang menusuk perasaan dan lidahnya menjadi tumbak yang merobek-robek nalar sesama. Perkataannya menjadi racun yang memfitnah karena manusia telah lupa hati nurani.

"Sekarang ini memang tahun permainan politik di negeri kita, tetapi juga sedang Piala Dunia. Tetapi, sebagaimana permainan sepak bola, harus juga bermain dengan betul," kata Agus Bima.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024