"Warga jangan memilih caleg perokok. Pilih caleg yang tidak merokok untuk Indonesia yang lebih baik dan sejahtera karena di tangan mereka kebijaksanaan dan pengawasan pengendalian rokok dapat dilakukan," ujar Ari di Jakarta, Senin.
Dengan memilih caleg yang tidak merokok, sambung dia, maka sama halnya dengan berupaya untuk menekan jumlah perokok. Peraturan daerah untuk mengendalikan jumlah perokok dan pengawasan atas Perda tersebut tidak akan berjalan efektif jika lembaga legislatif diisi oleh orang-orang yang merokok.
"Bahkan yang menyedihkan justru asap rokok mendominasi di sebagian ruang-ruang publik di lembaga legislatif tersebut," kata dia.
Ari mengaku prihatin dengan tingginya angka perokok di Tanah Air yang terus meningkat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, jelas disebutkan bahwa perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas terus meningkat dari 2007 ke 2013.
Pada 2007, jumlah perokok penduduk 15 tahun ke atas di Indonesia mencapai 34,2 persen dan meningkat menjadi 36,3 persen pada 2013. Jika melihat komposisi ternyata 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan yang masih menghisap rokok pada 2013.
"Yang menarik dari data Riskesdas itu, 1,4 persen perokok berumur 10-14 tahun. Juga 9,9 persen perokok pada kelompok tidak bekerja. Walaupun tidak mempunyai penghasilan tetap mereka tetap merokok."
Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang).
Ari menjelaskan mereka yang merokok yang jelas akan lebih banyak mengalami sakit dibandingkan dengan yang tidak merokok.
"Negara akan bangkrut kalau perokok tidak dikendalikan. Mereka yang tidak merokok patut dikasihani karena hak hidup layak mereka akan tercampak karena jumlah para perokok yang terus meningkat," jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, rakyat harus bangkit untuk tidak memilih caleg yang merokok.