Earth Hour (Jam Bumi) adalah sebuah kegiatan global yang diadakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat World Wide Fund for Nature (WWF) pada Sabtu terakhir bulan Maret setiap tahunnya. Kegiatan ini berupa pemadaman lampu yang tidak diperlukan di rumah dan perkantoran selama satu jam untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya tindakan serius menghadapi perubahan iklim.

Laki-laki warga Kauman bernama Luky Henri Yuni Susanto itu, hadir bukan dalam kapasitasnya saat ini sebagai calon anggota legislatif (caleg) untuk pemilu mendatang, tetapi karena terdorong kesadaran terhadap pentingnya penyelamatan lingkungan alam.

Begitu juga Tatang Djatmiko, seorang ketua salah satu partai politik yang juga caleg di kota setempat. Dia sejenak waktu, bersama-sama dengan umat Katolik Paroki Santo Ignatius Kota Magelang hadir dalam peringatan "Earth Hour", Sabtu (29/3) malam itu. Hadir pula pada kesempatan itu, Kepala Gereja Kevikepan Kedu Romo F.X Krisno Handoyo dan rohaniwan paroki setempat, Romo A.R. Yudono Suwondo.

Luky nampak terkesima menyaksikan lukisan kontemporer burung berkepala dua, ditampilkan di layar lebar oleh Romo Andang yang Koordinator Gerakan Hidup Bersih dan Sehat Keuskupan Agung Jakarta itu.

"Inspirasi gambar ini, tidak jauh-jauh dari tempat ini, ada di relief Candi Mendut," kata Andang ketika menjelaskan tentang pesan moral dari lukisan tersebut.

Seorang anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Magelang Muhammad Hatta mengatakan fabel itu dikenal dengan sebutan cerita Tantrik, terletak di relief bagian selatan Candi Mendut di Kabupaten Magelang, Jateng, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur.

Bentuk reliefnya berupa tubuh seekor burung namun berkepala dua. Satu kepala menghadap ke atas sedang menyantap makanan yang lezat-lezat, sedangkan satu kepala lainnya makan sisa-sisa makanan dan dalam posisi lunglai, seakan sekarat.

"Umumnya yang diceritakan kepada wisatawan seperti itu," katanya Hatta yang setiap hari mengantar wisatawan ke Candi Mendut, Pawon, atau Borobudur.

Romo Andang yang pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta itu, malam tersebut menceritakan ihwal arti yang agak berbeda dengan umumnya, tentang burung berkepala dua.

Pengisahan tentang burung itu, tentunya guna mengaitkan dengan tema kampanye "Earth Hour". Melalui satu kepala, burung itu makan yang baik-baik, sedangkan satu lainnya makan sembarangan dengan rakus dan bahkan racun pun dimakan, sehingga akhirnya burung itu mati.

"Kalau kita tidak peduli terhadap lingkungan dan bumi ini, semua mati," katanya.

Banyak hal dituturkan oleh Romo Andang tentang bumi dan lingkungan alam, kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, perilaku manusia yang bersahabat dan merusak lingkungan, pemanasan global, efek rumah kaca, dampak kerusakan lingkungan terhadap kesehatan manusia, pengelolaan sampah, pembuatan kompos, penggunaan plastik dan styrofoam, serta pendidikan cinta lingkungan.

Sebagai makhluk istimewa, katanya, manusia mendapat karunia dari Tuhan, berupa akal, budi, dan hati. Manusia perlu memanfaatkan kelebihan itu untuk memelihara semua yang ada di alam ini supaya bisa saling menghidupi.

"Manusia perlu berusaha tidak lagi menempatkan diri sebagai pusat ciptaan. Benar, manusia istimewa, tetapi makhluk lain juga punya hak hidupnya sendiri," kata doktor filsafat lulusan Katholieke Universiteit Leuven, Belanda itu.

Kerusakan bumi dan lingkungan alam ini, tidak lepas dari dosa ekologis manusia yang serakah, tidak peduli, dan tidak mau repot. Manusia harus menjalani pertobatan ekologis, baik secara personal, struktural, maupun simbolis, terkait dengan upaya pelestarian dan penyelamatan bumi dan lingkungan.

Ia mencontohkan tentang beberapa wujud pertobatan ekologis itu, antara lain peduli hingga menjadi habitus terhadap sampah, pengelolaan sampah secara bersama-sama dan intensif dengan kelompok masyarakat sekitarnya, menanam pohon dan memelihara secara berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.

Peringatan "Earth Hour" malam itu, memang terasa menjadi daya gugah kesadaran mereka yang hadir. Mereka pun dengan pembicara, kemudian berdialog sejenak waktu.

Tatang menyebut persoalan keadilan tak sekadar relasi antarmanusia atau bersifat sosial kemasyarakatan, namun juga keadilan terhadap tanaman dan binatang atau lingkungan alam.

"Mereka juga membutuhkan sentuhan hati manusia. Tidak dibenarkan sentuhan terhadap bumi dan alam, sekadar demi kepentingan manusia," katanya sebelum meninggalkan tempat itu, sebelum acara usai.

Sedangkan Luky menyatakan mendapatkan pasokan wawasan dan kesadaran tentang pentingnya manusia tak sekadar mengurus diri dan sesamanya sebagaimana perjuangan meraih kekuasaan politik, tetapi manusia harus kuat kesadarannya untuk mengurus lingkungan alam dan bumi yang menghidupinya.

"Tak cukup untuk para caleg berbekal kemampuan sosial politik, atau organisasi kemasyarakatan, tetapi juga persoalan lingkungan dan bumi yang harus dijaga, harus punya kesadaran kuat pula. Ini menambah pasokan bekal saya untuk maju," katanya.

Baik Tatang maupun Luky telah meninggalkan tempat itu, sebelum jarum jam menunjuk pukul 20.30 WIB, tanda seluruh lampu listrik di kompleks pusat Kevikepan Kedu (Kota Magelang, Kabupaten Magelang, dan Temanggung) dimatikan untuk selama satu jam, sebagai rangkaian kampanye "Earth Hour" di jantung Kota Magelang itu.

Dalam suasana gelap, tanpa lampu penerangan listrik, umat berjalan perlahan untuk berpindah dari aula itu ke gereja setempat, Mereka duduk berderet di kursi gereja dengan puluhan lampion menyalakan pendar lilin-lilinnya.

Mereka masuk dalam tafakur dan darasan "Rosario Eart Hour".

Sepenggal di antara rangkaian doa panjang itu, mereka unggah bersama-sama, "Ampunilah dosa-dosa kami, selamatkan kami dari api neraka, dan antarlah jiwa-jiwa ke dalam surga, terutama mereka yang sangat membutuhkan kerahiman-Mu. Amin".

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025