Sebelum pergelaran performa gerak bertajuk "Umbul Donga Joget Rahayu" di panggung terbuka Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jateng itu, Mbah Prapto yang panggilan akrab Suprapto Suryodarmo itu, berbicara tentang maksud pertunjukkan gerak bersama sejumlah muridnya termasuk berasal dari sejumlah negara.
Kutipan berbahasa Jawa itu, kira-kira maksudnya bahwa performa tersebut sebagai suguhan doa untuk kemajuan nilai-nilai kemanusiaan, menyikapi keadaan zaman global agar makin mendatangkan keselamatan bersama, dan terutama untuk bangsa Indonesia yang sedang menggelar pesta demokrasi.
Mereka yang terlibat dalam performa itu, antara lain Carolina Nieduza (Polandia), Stefania Pifano (Venezuela), Sister Cittapala (Inggris), dan Fitri (Yogyakarta). Turun ke panggung juga untuk berperforma, sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung, antara lain Sitras Anjilin, Supadi Haryanto, Sutanto Mendut, Sih Agung Prasetyo, dan Marmujo.
Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borbudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Laily Prihatiningtyas, menjadi pembawa acara yang ditonton sejumlah orang, termasuk beberapa di antaranya peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
"Indonesia kehilangan 'sesrawungan' (pergaulan, red.) sebagai 'jejer' (pribadi, red.), kehilangan kohesi masyarakat karena suasana politik, ekonomi, dan turistik. 'Sesrawungan' itu masih tetap hidup, menjadi spirit di desa dan lokal. Mari kita hidupkan 'sesrawungan' itu," kata Mbah Prapto.
Pesta demokrasi yang sedang dijalani bangsa Indonesia saat ini, agaknya juga ingin disentuh secara arif melalui performa "Umbul Donga Joget Rahayu" dengan sutradara Mbah Prapto itu dalam pemahaman sebagai "sesrawungan politik" yang bermartabat.
Para penyaji melakukan gerak performa di panggung terbuka dengan menggunakan properti masing-masing. Mbah Prapto menggelar kain warna putih cukup panjang di tengah panggung beralas tanah. Ia kemudian menari-nari dengan membawa satu pelepah daun pisang.
Stefania yang seniman tari dan yoga tampak berjalan di antara tatanan dinding batu panggung itu, kemudian mendekati satu demi satu berbagai patung di studio tersebut, sedangkan Carolina yang seniwati dan arkeolog itu, berjalan dengan tenang dari dekat dinding dengan puluhan lukisan kaca hingga mendekati tempat Cittapala bermeditasi.
Suara jengkerik dan binatang malam lainnya dari tepi Sungai Pabelan Mati di belakang Studio Mendut, seakan turut mengiring performa itu. Begitu pula gemericik air di aliran sungai, mewarnai suasana "Umbul Donga Joget Rahayu".
Irama musik jazz dengan sejumlah tembang karya Antonio Carlos Jobim, yakni Samba Uma Nota So, Corvovado, dan Insensatez, dimainkan dengan piano oleh Sutanto Mendut yang juga inspirator utama Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
Ketua KLG Supardi Haryanto, dari tempat duduknya di kursi antik ukuran panjang, di pojok perpustakaan Studio Mendut, tiba-tiba membacakan puisi. Pembacaan puisi itu, seakan juga menjadi pengiring para penyaji performa di panggung dengan rerimbunan dedaunan pohon yang diterpa cahaya dari beberapa sudut dan ditonton bintang-bintang di langit kawasan sekitar 300 meter timur Candi Mendut itu.
"Isyarat alam tak dapat lagi dibaca. Musim bergeser tak dapat lagi diterka. Bumi dan samudra mengirim bencana. Kilat halilintar seakan meruntuhkan seisi langit, menghempas cakrawala. Panas perut bumi lewat mulut gunung seakan memusnahkan nuansa keindahan alam semesta. Bumi berguncang dibuatnya. Dari panggilan jiwa yang gagah perkasa, mereka membela kaum-kaum yang tertindas, akan tersingkap dan tertunjukkan muka-muka yang sesungguhnya. Atas kuasa-Nya yang akan membuka topeng-topeng durjana, yang saat ini sedang berpesta pora," demikian puisi itu.
Selagi puisi Supadi yang juga juragan sayuran dari Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Grabag, di kawasan Gunung Andong itu dibacakan, dalang muda Sih Agung Prasetyo, dari tempatnya duduk di sebatang kayu, di dekat patung Monumen Lima Gunung, menembangkan lagu Jawa dengan langgam dandanggula,
"'Ana kidung, rumeksa ing wengi, teguh hayu luputa ing lara, luput ing bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala gunane wong luput, geni atemahan tirta, miwah maling tan wani ngarah ing mami, tuju duduk pan sirna'," demikian syair tembang yang dilantunkan Sih Agung sambil memegang wayang kulit berbentuk gunungan.
Maksud syair lagu Jawa itu, kira-kira doa supaya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara terhindar dari bahaya, baik secara fisik maupun karena roh-roh jahat.
Di penghujung performa "Umbul Donga Joget Rahayu", Cittapala berasal dari Jerman yang rohaniwan Buddha dari Wihara Amaravati Budhis Monastry Inggris, beranjak dari tempatnya bermeditasi. Ia kemudian melakukan performa doa di depan patung Sang Buddha di dekat Monumen Lima Gunung.
"Kita bersyukur hadir di sini. Ada darma di sini. Sang Buddha mendapatkan darma dari alam. Darma itu ada di alam, sebagian besar kita bisa mengambil, memaknai, dan memahami kebenaran darma," katanya.
Melalui performa "Umbul Donga Joget Rahayu", katanya, terasa pula kekuatan sangha dalam bentuk kebersamaan atas mereka yang hadir di tempat tersebut.
Direktur Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI RiwantoTirtosudarmo menyatakan kagum atas pertunjukkan tersebut.
Performa itu telah membuat semua penonton dan mereka yang terlibat dalam pementasan, seakan melepaskan "atribut" pekerjaan dan status sosial keseharian masing-masing.
Meskipun tidak mudah memahami makna gerak yang mereka performakan, ia menyatakan menikmati apa yang dilihat dan getaran suasana yang terpancar dari panggung alami, malam itu.
"Kembali ke alam dan desa, ada ketulusan, jujur, tidak dibuat-buat. Ini yang langka. Ini jadi inspirasi untuk tempat-tempat yang lain. Ini berkah untuk Indonesia," katanya.