Mereka memiliki cara sama menggunakan uang jarahannya. Berfoya-foya. Kepada para wanita cantik, para koruptor begitu royal dengan memberi uang, perhiasan, rumah, hingga mobil mewah.
Cara sama juga dilakukan oleh bandit kecil. Setelah mendapat hasil curian, mereka menghamburkan uangnya di lokalisasi, belanja aksesori, beli minuman keras, atau mentraktir para wanita jalang.
Seperti halnya dengan para koruptor, bandit ini juga merasa tidak sayang membuang uang yang diperolehnya dari hasil menjarah dan melukai orang lain.
Puluhan mobil, sebagian di antaranya supermewah dengan harga di atas Rp 10 miliar, menjadi koleksi terdakwa kasus korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga mengoleksi mobil mewah.
Begitu pula Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, hingga eks pegawai pajak Gayus Tambunan. Bagi kalangan tertentu, mobil memang bukan lagi alat transportasi, melainkan citra diri dan gengsi.
Sah-saja memiliki mobil mewah, namun menjadi terkutuk bila memperolehnya dengan cara menggarong uang negara. Bagi penjarah tersebut, tidak ada istilah kenyang karena mereka terus ingin memliki semua hal.
Kepemilikan mobil mewah yang demikian banyak -- dari sisi kepantasan dan fungsi -- memang tidak lazim, kecuali mereka memang buka usaha jual beli mobil. Lebih aneh lagi ketika para koruptor itu memberi mobil kepada wanita cantik, sebagian berprofesi sebagai artis atau setidaknya mengaku artis.
Kepemilikan mobil mewah itu seolah merupakan pelampiasan pada masa balitanya ketika hanya bisa memandangi mainan atau gambar mobil-mobil mewah. Ketika balita, mereka akan menangis bila keinginannya tak dituruti.
Ketika dewasa, untuk memenuhi hasrat memiliki mobil mewah dalam arti sebenarnya, mereka nekat korupsi agar bisa memiliki mobil mewah impiannya. Mobil mewah, rumah luks, wanita cantik, dan kekuasaan besar merupakan obsesi tak berkesudahan bagi mereka.
Kepada para wanita cantik, koruptor juga ingin menunjukkan kekuasaannya. Tentu cara termudah adalah "memilikinya" dengan memberi atau mengabulkan apa yang diminta mereka. Uang, tas bermerek, mobil, rumah, dan perhiasan merupakan benda paling mudah untuk menaklukkan wanita-wanita yang ingin hidup enak dan mewah dengan jalan pintas.
Memiliki segal hal, apalagi yang berkaitan dengan barang yang menjadi simbol status, bagi mereka merupakan bagian penting. Tanpa atribut kemewahan tersebut, mereka merasa tidak eksis. Cara kerja otak mereka, meminjam pendapat Erich Fromm, hanya disesaki nafsu untuk memiliki (to have), bukan menjadi (to be) pribadi yang memberi makna bagi sesama.
Karena itu dengan segala cara mereka ingin menguasai segala hal, dengan cara apa apa pun. Masyarakat yang serakah memang dibentuk oleh cara berpikir untuk "memiliki", bukan "menjadi".
Takhta, harta, dan wanita sepertinya menjadi trilogi "ta" yang tidak pernah lapuk digerus oleh zaman. Di mana pun kekuasaan itu berada, di situlah harta dan wanita berkelindan dengan pria pemilik kekuasaan.
Barang siapa tidak kuat menyangga takhta atau kekuasaannya, dia pasti terjerumus pada barang panas (korupsi) dan terjebak dalam syahwat yang tak berkesudahan. Kita sudah menyaksikan betapa banyak pejabat tergelincir kasus korupsi. Kita saksikan pula betapa banyak wanita sosialita terseret dalam pusaran kasus korupsi. Tanda-tanda korupsi akan berhenti tampaknya tidak begitu terang.
Kita masih akan menyaksikan drama penangkapan tersangka koruptor. Kadang, kita kaget menyaksikan tokoh yang semula kita anggap bersih, ternyata mati kutu di hadapan penyidik KPK. ***