Kesadaran mereka yang warga kawasan Merapi di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu, justru telah tertanam bukan karena kaitannya dengan fase letusan dahsyat secara eksplosif pada akhir 2010 yang disambung dengan banjir lahar melalui berbagai alur sungai.
Akan tetapi, pintu pembuka kesadaran atas berkah Merapi oleh warga yang umumnya kalangan petani hortikultura itu, justru ketika terjadi erupsi Merapi 10 Februari 2001.
Sehari menjelang erupsi pada 14 tahun lalu tersebut, mereka menggelar doa bersama lintas agama dan kepercayaan, agar beroleh keselamatan dari bahaya Merapi kala itu. Doa bersama tersebut, mereka ungkapkan di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng, sekitar lima kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.
Tentu, mereka menjadi seakan takjub karena pada dini hari berikutnya, terjadi erupsi Merapi ditandai dengan keluarnya awan panas.
Mereka masuk kepada kesadaran bahwa doa tersebut terkabul, sedangkan warga beroleh keselamatan, sekaligus menyaksikan keagungan Ilahi, melalui karya-Nya yang berupa erupsi Merapi.
Hingga saat ini, setiap tanggal tersebut, mereka menyuguhkan doa bersama sebagai ungkapan syukur atas berkah Gunung Merapi, yang antara lain karena abu Merapi menyuburkan tanah pertanian mereka. Mereka menamai tradisi itu, sebagai "Sedekah Gunung".
Prosesi "Sedekah Gunung" dilakukan para petani sekaligus pekerja seni dan tradisi budaya yang tergabung dalam Padepokan Seni Tjipto Boedojo Tutup Ngisor dan Sanggar Bangun Budaya, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, dengan jejaringnya, antara lain kalangan pelajar dan sejumlah grup kesenian lainnya pada Senin (10/2).
Ratusan orang menjalani prosesi itu dengan berjalan kaki sejauh sekitar 300 meter dari halaman rumah Kepala Dusun Candi, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Wawan Herman Sulistyo, melewati Candi Asu untuk menuju Candi Pendem, di kawasan tepian alur Kali Tringsing yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.
Mereka mengenakan pakaian tradisional Jawa dan antara lain membawa penjor, kembang mawar, dupa, dan sesaji, serta membunyikan kelinting, dalam prosesi yang menjadi ungkapan puja-puji melalui tembang-tembang berbahasa Jawa dan doa kepada Tuhan atas karya Gunung Merapi.
Beberapa orang di antara mereka berjalan kaki mengelilingi pelataran Candi Asu dan Candi Pendem beberapa kali, sesuai dengan arah putaran jarum jam, sambil menaburkan kembang mawar warna merah dan putih.
Sebagian lainnya, seperti Sitras Anjilin, Bambang Santosa, Ismanto, dan Untung Pribadi, melakukan performa gerak di Candi Pendem. Gerak performa itu, menjadi simbol ungkapan doa untuk kelestarian alam Merapi.
Beberapa lainnya, seperti Ari, Yulva, Mohammad Sodik, Febri, dan Eka Pradhaning, secara bergiliran membacakan puisi tentang lingkungan dan Gunung Merapi, dengan iringan tiupan seruling.
Syair tembang berbahasa Jawa karya pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Sitras Anjilin, yang secara bersama-sama mereka unjukkan dalam "Sedekah Gunung" tersebut, menandakan tanggal peristiwa tersebut.
"'Saben surya ping sedasa nenggih. Wulanipun karo. Para kadang sami amemetri. Mrih lestari alam murakabi. Bebrayan sejati. Mrih sami lestantun'. (Setiap tanggal 10 Februari, warga mengingat peristiwa itu, untuk menguatkan kesadaran terhadap pentingnya melestarikan alam, menguatkan persaudaraan sejati dengan alam dan sesama, red.)," begitu penggalan syair tembang mijil tersebut.
Ungkapan bahwa mereka mencintai Gunung Merapi juga tersurat dalam syair lanjutan tembang itu.
"'Katresnan mring Gunung Merapi. Tan kena kinaya. Sugih brana rejeki gumilir. Tumrap para kadang amongtani. Dasar papan asri. Bening toyanipun. Jalak deruk kutut angrenggani. Endahing papannya. Sedaya mung nugrahaning Gusti. Mangga sedaya sami semedi. Mring Kang Maha Suci. Mrih rahayunipun'," demikian syair lanjutan tembang tersebut.
Kira-kira arti syair itu, bahwa mereka tak terhingga mencintai Merapi yang asri dengan air jernih yang menyuburkan pertanian warga. Berbagai satwa mewarnai keindahan Merapi. Semua itu anugerah Tuhan. Oleh karenanya, semua berdoa kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan.
Persembahan syukur atas anugerah Gunung Merapi untuk masyarakat setempat juga disampaikan melalui geguritan bertajuk "Pisungsung Gunung" karya Eka Pradhaning.
"'Lumantar rasa syukur lan kebak panarima. Tekaku asung pisungsung, mugiyo raharja. Dadia rahmat kang handayani. Yen ta banyu, watu, pasir, lan tetanduran. Datan dadi kanikmatan kang sejati. Lamun tanpa palilahing Ilahi'. (Melalui syukur dan penuh terima kasih. Kami datang memberi persembahan untuk kebahagiaan dan menjadi kekuatan rahmat. Air, batu, pasir, dan berbagai tanaman, memberi manfaat sejati. Hanya karena restu dari Tuhan, red.)" begitu bait ketiga geguritan tersebut.
Mereka kemudian menggelar kenduri di pendopo Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor. Kenduri melalui pembacaan doa-doa secara kejawen dipimpin oleh Cipto Miharso, seorang sesepuh padepokan yang dibangun pada 1937 di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber itu.
Mereka juga melanjutkan rangkaian prosesi itu, dengan sarasehan budaya bertema "Sedekah Gunung", dengan pembicara Sitras Anjilin, Ismanto, Agus Bima, dan Romo V. Kirjito, serta moderator Sodik.
Pimpinan Sanggar Bangun Budaya Desa Sumber Untung Pribadi mengatakan bahwa "Sedekah Gunung" sebagai ungkapan terima kasih masyarakat setempat kepada Tuhan atas anugerah Gunung Merapi.
"Melalui Merapi, masyarakat mendapatkan penghidupan karena tanahnya subur untuk pertanian dan air yang melimpah untuk kehidupan kami. Melalui Sedekah Gunung ini, kami selalu terpanggil untuk introspeksi akan pentingnya Merapi yang lestari," katanya.
Mereka mensyukuri kehidupannya di Gunung Merapi.