Buku setebal 305 halaman itu, berjudul "Dari Luar Pagar Taman Borobudur". Prolog buku tulisan Pak Coro yang nama panggilan dari Sucoro (62) itu, oleh Direktur Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riwanto Tirtosudarmo, sedangkan epilog Presiden Komunitas Lima Gunung Magelang Sutanto Mendut.

Peluncuran buku di halaman Pendopo Pondok Tingal, Kecamatan Borobudur, sekitar 500 meter timur candi Buddha terbesar di dunia yang dibangun sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra itu, bertepatan dengan Hari Pers Nasional 2014, Minggu (9/2).

Para seniman petani warga Dusun Jlarang, Desa Kalijoso, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, yang tergabung dalam grup "Langen Soreng Krido Santosa" mempersembahkan sendratari dengan mengambil satu kisah dalam relief Karmawibangga di Candi Borobudur, saat pembuka acara peluncuran buku tersebut.

Grup itu tergabung dalam komunitas Warung Info Jagad Cleguk (WIJC) Borobudur yang sejak 2003 didirikan oleh Pak Coro. Sekitar 40 penari dan penabuh gamelan mementaskan sendratari Kidung Karmawibangga dengan lakon "Pangeran Bajang".

Akhir pementasan ditandai prosesi penyerahan buku oleh Sang Penulis, kepada pimpinan Wihara Mendut Biksu Sri Pannyavaro Mahathera, Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Laily Prihatiningtyas, dan Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo.

Hadir pada kesempatan itu, antara lain Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur Bambang Irianto, Peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta M. Baiquni, arkeolog UGM Yogyakarta Daud Aris Tanudirjo, dan Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Umar Chusaeni.

Bante Pannyavaro menyatakan bahagia hadir dalam peluncuran buku "Dari Luar Pagar Taman Borobudur" yang isinya tentang kisah personal Pak Coro bergulat dalam kehidupan sejak lahir hingga saat ini, di Borobudur.

"Yang ingin ke Borobudur dan 'nguri-uri' (melestarikan, red.) budaya, mungkin tidak banyak yang tahu. Buku ini akan berguna bagi kita semua," katanya.

Ia mengatakan bahwa zaman dahulu, peranan Candi Borobudur memang tidak lepas dari tempat pemujaan umat Buddha. Akan tetapi, saat ini telah menjadi milik dunia dan bermanfaat untuk kepentingan universal.

Tyas menyatakan terima kasih kepada Pak Coro yang dengan sikap kritisnya selama ini dan melalui WIJC, menjadi kekuatan untuk menghidupkan tradisi budaya masyarakat kawasan Candi Borobudur.

Buku itu, katanya, suatu pencapaian Pak Coro selama ini atas pergulatan di Candi Borobudur, termasuk komitmennya terhadap pelestarian nilai luhur Borobudur.

"Ini pencapaian, catatan sejarah dari awal Borobudur sampai sekarang, Buku ini memberi kontribusi. Ini informasi lebih dalam dari Borobudur. Komunitasnya juga berkomitmen bersama kami semua dan internasional untuk menjaga Borobudur," katanya.

Digusur
Pak Coro adalah satu di antara ratusan warga sekitar Candi Borobudur yang tempat tinggalnya digusur untuk pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur pada awal 1980-an. Tulisannya dalam buku itu, tentang pembebasan tanah, meliputi beberapa judul, mulai halaman 159.

Ia juga pernah diperiksa dan mendapat perlakuan kasar aparat keamanan saat peristiwa peledakan bom di stupa Candi Borobudur pada pertengahan 1985. Catatannya tentang peristiwa itu, dituliskan pada bab IV. Melalui tulisannya, Pak Coro yang dalam tekanan pemeriksaan oleh aparat, terkesan menjadi berani meyakinkan petugas bahwa dia tidak terlibat peristiwa itu.

"Mohon bapak ketahui bahwa kehidupanku sekeluarga itu sangat mengandalkan tuah dari kebesaran candi itu. Bagaimana mungkin aku menghancurkan candi itu, sementara kehidupanku tergantung dengan orang yang datang ke Candi Borobudur itu," demikian penggalan tulisannya di halaman 248 buku itu yang kemudian diceritakan bahwa penjelasan itu, membuat aparat mengendorkan tekanan terhadap Pak Coro.

Kala itu, Pak Coro hidup dari usaha membuat kerajinan dari gif, sedangkan istrinya membuka warung makan. Dalam buku itu, Pak Coro juga bercerita tentang pengalaman kehidupannya, antara lain sekolahnya, sebagai penjudi, membuka usaha bengkel andong, kesukaan terhadap wayang, aktif dalam partai politik, bersama warga mempertahankan tanahnya dalam pembebasan lahan untuk taman Borobudur, dan fasilitator warga yang berperkara hukum dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

"Buku yang disusun Pak Coro merupakan pengalaman pribadi, nyata, 'true story'. Bukan mengungkit siapa yang salah dan benar, tetapi bisa menjadi inspirasi bijaksana dalam mengambil keputusan penting untuk melestarikan budaya di sekitar kita," kata Marsis Sutopo.

Ia menyebut bahwa buku tersebut menyuarakan pesan baik secara tersirat maupun tersurat.

Bahkan, Marsis pada kesempatan itu, mengaku terdorong untuk menulis buku yang isinya disebut sebagai "dari dalam". Barangkali maksudnya tentang buku kisah dari dalam pagar Taman Wisata Candi Borobudur, karena ia sejak 2007 hingga saat ini, bertugas untuk kepentingan konservasi Candi Borobudur.

Kepala Desa Borobudur Suherman menilai Pak Coro tidak lelah bersikap kritis dan seolah-olah menjadi sosok yang selalu melawan atas kebijakan pengelolaan Borobudur, terutama yang dipandangnya tidak berpihak kepada masyarakat kawasan candi.

"Pak Coro tidak lelah melawan, dari dulu sampai sekarang. Pak Coro 'anak nakal' yang membikin buku. Harapannya, bisa bermanfaat untuk manusia menjadi arif dan bijaksana memanfaatkan Borobudur, harapannya agar semua menjaga dan melestarikan Borobudur, sebagaimana nenek moyang punya harapan dengan membangun Candi Borobudur," katanya.

Oleh karena langkah cerdas Pak Coro yang warga biasa Borobudur itu menulis buku "Dari Luar Pagar Taman Borobudur", Baiquni memberikan dia gelar "Intelektual Organik" dari Borobudur.

Candi Borobudur dengan kawasannya, katanya, tempat belajar semua orang. Borobudur menyimpan kurikulum kehidupan dengan banyak ilmu yang bisa digali dan bermanfaat untuk menjawab berbagai persoalan kekinian.

"Buku Pak Coro ini bukan akademis yang banyak gagasan, tetapi refleksi gerakan yang dia lakukan. Kampus bisa menyambut baik dan buku ini memberi inspirasi lebih dalam. Harapannya, buku ini memberi pancaran baru keilmuan yang keluar dari trek akademis yang formal dan kaku, menjadi proses pengembangan ilmu pengetahuan," katanya.

Sutanto Mendut yang juga budayawan Magelang itu menyebut buku Pak Coro telah mendorong orang memberikan respons yang orisinil, baik terhadap Candi Borobudur dan kawasannya, maupun sosok penulisnya.

"Mereka berbicara yang pribadi, bukan karena posisi strukturalnya atau karena titipan lembaga dengan pimpinannya. Itu yang menarik dari buku ini dan Pak Coro," katanya.

Kekuatan harmonis pribadi-pribadi dari pancaran inspirasi Borobudur, secara simbolis dilantunkan dalam tembang dolanan rakyat, "Gugur Gunung", pada akhir sendratari Kidung Karmawibangga.

"'Ayo ayo, kanca kanca. Ngayahi dharmaning praja. Kene kene, kene kene, gugur gunung tandang gawe. Lila lan legawa, kanggo mulyaning negara. Siji loro telu papat, maju papat papat, diulang-ulungake, mesti enggal rampunge. Olobis kuntul baris, olobis kuntul baris, olobis kuntul baris, olobis kuntul baris'," demikian syair tembang itu yang maksudnya kira-kira, ajakan bersatu dan bergotong-royong, menjalankan darma secara ikhlas, untuk kemuliaan bangsa dan negara.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025