"Ada SMS dari terdakwa Chairun Nisa mengatakan Pak Akil, saya minta bantu nih untuk Gunung Mas, tapi untuk incumbent yang menang ini artinya anda mengerti permintaan dari terdakwa?" tanya jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Pulung Rinandoro dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

"Awalnya saya belum mengerti, karena tidak menyebut kabupaten Gunung Mas, saya jawab bergurau, berapa ton emasnya? Jadi tidak langsung ke masalahnya," jawab Akil.

Akil menjadi saksi sekaligus untuk perkara Chairun Nisa yang didakwa menjadi perantara penerimaan uang untuk Akil dan terdakwa bupati terpilih Gunung Mas Hambit Bintih serta keponakannya, Cornelis Nalau yang juga bendahara tim sukses Hambit.

SMS tersebut menurut Akil dikirimkan pada 19 September 2013, dan langsung direspon.

"Tapi mengapa Saudara membalas Kapan mau ketemu? Saya malah mau suruh ulang nih Gunung Mas?" tanya jaksa Pulung.

"Betul saya SMS demikian, tapi perkaranya belum ada, ini bergurau saja, itu biasa gurau-gurau saja," jawab Akil.

Padahal perkara gugatan pilkada Gunung Mas yang diajukan oleh pesaing Hambit Bintih pada 13 September 2013 dan MK punya waktu 14 hari untuk memutuskan suatu perkara. Tahapannya adalah setelah terdaftar di MK, maka diregistrasi oleh panitera, diteliti apakah memenuhi syarat formal, diajukan ke Ketua MK untuk menentukan hakim panel yang mengadili, dan dimulai pemanggilan saksi, sehingga waktu efektif mengaadili tinggal sembilan hari.

"Tapi perkara ini belum diregister," ungkap Akil

"Saya mohon kejujuran bapak, kalau perkara belum masuk, kok bisa mengatakan akan diulang?" tanya Pulung.

"Ini memang bergurau pak," jawab Akil

"Kemudian dijawab oleh Chairun Nisa Jangan diulang dong Pak, saya besok ke Palangkaraya, besok sambil sarapan bisa Pak? Ini menunjukkan keseriusan terdakwa untuk menjawab saudara," cecar jaksa Pulung.

"Itu terdakwa yang bisa jawab," kata Akil.

SMS Chairun Nisa selanjutnya adalah menanyakan sejauh mana perkembangan sengketa Gunung Mas.

"Bapak menjawab dipendam di meja saya, jadi ini kata bapa di meja tapi kenapa mengatakan belum tahu?" tanya jaksa Pulung.

"Tapi faktanya memang belum ada perkaranya, saya hanya menjawab SMS, tapi apakah fisiknya ada atau tidak saya tidak ingat, itu hanya jawaban spontan," ungkap Akil.

Akil yang pernah menjadi anggota DPR periode 1999-2004 dan periode 2004-2009 dari fraksi Golkar mengaku berteman akrab dengan Chairun Nisa sehingga biasa bergurau.

"Saya memang suka bergurau dengan terdakwa, karena pernah menjadi rekan saya di DPR, saya juga pernah minta tolong untuk keberangkatan haji karena dia di komisi haji, tapi (permintaan tolong Chairun Nisa) ini bukan barter," tambah Akil.

Akil pun mengaku tidak ada keinginan untuk menolak permintaan Chairun Nisa tersebut, meski mengingat statusnya sebagai ketua MK.

"Saya tidak menolak permintaan itu, saya hanya bergurau saja," ungkap Akil.

Akil juga mengaku tidak melanggar kaidah etis sebagai hakim konstitusi.

"Saya tidak ber-SMS dengan yang pihak yang berperkara, di MK pun tidak diatur mengenai guyonan dalam etika," jelas Akil.

Chairun Nisa mengungkapkan ia pun hanya sekedar bergurau saat mengirimkan SMS dengan Akil.

"Saya sependapat dengan keterangan saksi, SMS permintaan fee dari saya sesungguhnya hanya bercanda saja karena ada tulisan di bawah SMS hanya bercanda saja," ungkap Chairun Nisa.

Padahal Chairun Nisa menerima Rp75 juta dari Hambit sebagai upahnya sebagai perantara antara Hambit dan Akil.

Dalam perkara ini, Chairun Nisa didakwa dengan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai orang yang menerima hadiah atau janji dengan ancaman penjara 4-20 tahun dan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Sedangkan Hambit Bintih dan Cornelis Nalau didakwa memberikan uang Rp3,075 miliar kepada Akil Mochtar dan anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa dan didakwa pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai orang yang memberikan sesuatu kepada hakim untuk mempengaruhi putusan perkara dengan ancaman penjara 3-15 tahun dan denda Rp150-750 juta.


Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024