Suasana mereka siang itu, bisa dimaklumi sebagai nuansa khas kehidupan hangat dan meriah pasar. Mereka saling omong dan sahut-menyahut dengan gembira, sembari menunggu penempatan berjualan kembali di pasar yang hampir selesai dibangun lagi oleh pemerintah kota setempat, setelah terbakar pada 26 Juni 2008.

Setelah seorang pedagang minuman, mengantar dua gelas teh hangat, tak seberapa lama kemudian, seorang perempuan lainnya membawa baki juga datang, lalu meletakkan dua piring kupat tahu di samping kursi panjang, tempat duduk perempuan berpostur cukup tinggi dan berkaca mata yang saat ini telah berumur 65 tahun tersebut.

Perempuan pedagang rombeng itu, bernama Euthalia Toelastri. Berbagai barang dagangan yang dipajangnya di tempatnya berjualan yang siang itu relatif sepi pengunjung, antara lain pakaian, sepatu, tas, dan aksesoris.

Berbagai barang dagangan itu, serba bekas pakai, namun masih layak pakai, sedangkan sebagian barang seperti tas dan pakaian, telah ditambahi aksesoris baru melalui keterampilannya, untuk mendongkrak harga jual ulang.

Di tempat produksinya di Kelurahan Gelangan, Magelang Tengah, isteri mantan kepala polsek di satu wilayah pelosok di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Patrisius Soeparno (70) itu, dia menjadi perajin batik khas Magelang, pembuat kain penutup kasur, dan perajin kain perca.

Dia mengaku bahwa hidup perekonomiannya relatif sederhana. Setelah suaminya pensiun dari dinas kepolisian di Banyuwangi, pada 1994 mereka kembali ke kampung halaman di Kota Magelang.

Sejak 1997, perempuan yang dua periode (1982-1987 dan 1987-1992) menjadi anggota DPRD Banyuwangi dari Partai Golkar itu, hingga saat ini berjualan rombeng di Pasar Rejowinangun Kota Magelang.

Pertemuan dengan kawan-kawan lama, sesama pegiat Sekretaris Bersama Golkar Kota Magelang pada era 1965-1966 membuatnya aktif lagi baik di partai itu maupun kehidupan organisasi masyarakat. Pada 1997, ia ikut Satgas Golkar dan kemudian menjadi Anggota Seksi Pendidikan dan Keterampilan Partai Golkar Kota Magelang.

Jajaran pimpinan partai pun, menarik perempuan itu untuk menempati nomor urut 7 calon anggota legislatif pada Pemilu, 9 April 2014, untuk Daerah Pemilihan Kecamatan Magelang Tengah.

"Tapi 'garingan' (tanpa uang, red.), apa adanya," kata ibu tiga anak dan lima cucu itu.

Dia memastikan diri tak memiliki kekuatan gemerencing uang untuk mendapatkan kursi legislatif, apalagi kalau harus menggelar praktik politik uang. Meskipun demikian. Toelastri juga menghitung-hitung butuh total biaya ideal sekitar Rp10 juta untuk mendapatkan 2.500 suara, agar mendapat kursinya dari dapil dengan enam kelurahan itu. Dia memastikan tak mampu mendapatkan uang Rp10 juta itu untuk kekuatan meraih kursi dewan.

"Uang yang keluar baru Rp210 ribu, untuk cetak kartu nama dan fotokopi-fotokopi. Tidak ada yang bantu, apalagi tawaran dari pengusaha. Saya tidak mau berutang, apa adanya saja, dengan sowan ke pertemuan-pertemuan warga, saya menawarkan memperjuangkan perempuan dan anak putus sekolah, program pelatihan keterampilan untuk berusaha," katanya.

Optimisme bahwa masih banyak warga pemilih yang anti-praktik politik uang, juga lekat menghinggap Sholahuddin (34), seorang caleg nomor urut 2 Partai Kebangkitan Bangsa untuk Daerah Pemilihan Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, yang meliputi lima kelurahan.

Praktik Politik Uang
Kota Magelang dengan tiga kecamatan dan keseluruhan 17 kelurahan itu, terdiri atas 246 caleg dan 92.740 warga calon pemilih pada pemilu mendatang. Sebanyak 25 kursi dewan setempat diperebutkan pada pesta demokrasi mendatang di daerah itu.

Tanpa menyebut nama, Udin yang mantan wartawan di beberapa media cetak selama 10 tahun terakhir itu, mengaku tahu tentang informasi sejumlah caleg yang menjalankan praktik politik uang untuk meraih kursi legislatif pada pemilu mendatang.

Malang melintang di dunia jurnalistik sejak 2003 hingga 2013 dan kegiatan sosial kemasyarakatan, menjadi bagian modal penting suami Isrofatul Nikmah (34) dan bapak dari Baariq Afkar Al Ahmed (3,5) itu, sebagai kontestan untuk meraih kursi dewan setempat.

Udin yang saat ini berkiprah di salah satu amal usaha sosial kemasyarakatan berbasis informasi yang dikelola Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, pimpinan K.H. Muhammad Yusuf Chudlori itu, menyatakan komitmen untuk menghindar jauh-jauh dari praktik politik uang dalam pemilu mendatang.

Terhitung sejak Agustus 2013 hingga Januari 2014, biaya sekitar Rp30 juta dari tabungan pribadi telah dikeluarkan untuk berbagai keperluan dirinya sebagai caleg, seperti uang transportasi puluhan relawannya, biaya komunikasi, dan uang saku relawan. Total kebutuhan hingga hari pemilihan mendatang sudah diperkirakannya bakal membutuhkan sekitar Rp60 juta.

"Kalau tanpa politik uang bisa mencapai Rp60 juta idealnya. Tetapi untuk urusan politik, saya tidak mau punya utang. Kalau 'deal' politik, saya siap, tetapi bukan utang pribadi," katanya sambil menyuguhkan kacang atom kepada Antara yang mewawancarai di Stasiun Radio Siaran Fast FM di kompleks Ponpes API Tegalrejo, tempatnya berkiprah saat ini.

Sejumlah kawannya selama ini, katanya, tanpa embel-embel transaksional, dengan suka hati, membantunya dalam perjuangannya sebagai caleg.

Bantuan dari mereka itu, antara lain berupa pencetakan kartu nama, stiker, alat peraga, dan kalender untuk dibagikan kepada masyarakat melalui berbagai pertemuan kultural yang dirawatnya, seperti shalawat, tahlilan, yasinan, dan pengajian.

"Kami mengedepankan pendidikan kesadaran politik kepada warga. Bahkan, kami persilakan warga untuk memilih yang memang benar-benar layak duduk di kursi dewan. Juga bicara politik uang. Kalau uang besar keluar untuk politik, rawan korupsi. Beda kalau 'low cost' (kecil biaya, red.), maka kalau menjadi dewan, akan lebih 'ngopeni' (merawat, red.) masyarakat," katanya.

Soal kemungkinan praktik politik uang oleh para caleg, terutama selama masa kampenye pemilu, memang menjadi hal yang dicermati secara serius oleh jajaran Panitia Pengawas Pemilu Kota Magelang.

"Salah satu fokus perhatian panwaslu memang kemungkinan terjadi praktik politik uang, berbagai kalangan diharapkan ikut mewaspadai dan menghindarinya," kata Ketua Panwaslu Kota Magelang Zuhron Arofi.

Kalau warga juga tidak berkeinginan untuk transaksi politik dalam bentuk praktik politik uang, katanya, hal itu justru menjadi hal yang meringankan para caleg dalam berjuang meraih kursi dewan dan kemudian menguatkan komitmen perhatian mereka terhadap kepentingan pembangunan masyarakat luas.

Hingga saat ini, pihaknya belum menemukan atau mendapatkan laporan praktik politik uang, terkait dengan berbagai tahapan pesta demokrasi di daerah setempat.

"Sebatas isu, kami mendengar itu. Tetapi kalau tidak ada bukti, laporan, atau temuan langsung, hal itu tidak bisa diproses, karena politik uang ini masuk kategori pelanggaran pidana pemilu," kata Zuhron yang juga pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang itu.

Toelastri dan Udin, agaknya memang dua di antara para caleg lainnya yang turun ke gelanggang pesta demokrasi, dengan mengandalkan komitmen diri sebagai petarung tanpa gemerencing, dalam hiruk pikuk politik saat ini.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025