Rangkaian tradisi mereka yang mulai pagi hingga malam hari itu, biasanya sebagai ulukan syukur atas berkah pertanian yang memakmurkan kehidupan pertanian dan permohonan warga kepada Tuhan agar selalu terbebas dari mara bahaya.

Oleh karena empat bulan lagi, hendak masuk pesta demokrasi, warga Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di tenggara puncak gunung tersebut, pada "perti dusun", Rabu (8/1) menyisipkan panjatan doa secara Islam, agar pemilihan umum tak menggoyahkan semangat persaudaraan dan persatuan mereka.

"Manunggaling cipta lan karsa, kita sadaya nindakaken adat punika. Mugi masyarakat ing ngriki tansah ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi, sumrambah bangsa lan negari," kata ulama setempat, Thohir.

Ungkapan Thohir itu, ketika memimpin doa dalam bahasa Jawa pada pelaksanaan tradisi tersebut di halaman rumah Kepala Dusun Mantran Wetan Handoko.

Kalimat doa tersebut, kira-kira maksudnya sebagai permohonan seluruh warga setempat yang berjumlah 142 keluarga untuk menyatukan kehendak, berdoa, dan melaksanakan tradisi "perti dusun".

Mereka berharap melalui tradisi itu, selalu hidup tenteram, rukun, dan makmur oleh hasil panenan pertanian. Mereka juga berdoa untuk ketenteraman bangsa dan negara yang hendak menjalankan Pemilu pada April 2014.

Tradisi setiap Sapar (kalender Jawa, red.) oleh masyarakat setempat atau mereka sebut sebagai "Saparan Mantran" dalam wujud prosesi "Tumpeng Jongko" itu, diawali dengan arak-arakan berjalan kaki oleh warga seraya mengusung gunungan tumpeng yang berupa berbagai sayuran hasil panenan.

Setiap warga, baik tua, muda, anak-anak, laki-laki, maupun perempuan, pagi itu membawa ingkung, nasi dalam bakul, dengan aneka lauk pauk, turut dalam prosesi yang berakhir di halaman rumah kadus setempat.

Tembang doa secara islami mereka lantunkan sepanjang prosesi. Arak-arakan warga dipimpin okeh Handoko dengan di dampingi Thohir, yang masing-masing mengenakan peci.

Pagi itu, puncak Gunung Andong terkadang terlihat jelas secara kasat mata, namun juga sejenak waktu tertutup awan cukup tebal.

Saat tiba di halaman rumah kadus, Handoko membawa satu ancak berisi aneka sesaji dan tumpeng untuk diletakan di atap rumahnya, sedangkan warga duduk bersila di atas terpal plastik yang digelar di halaman rumah tersebut.

Setiap warga mengangkat kedua tangan, mengikuti darasan doa yang diunggah oleh Thohir, yang antara lain juga untuk mendoakan cikal bakal dusun setempat.

"'Warga Mantran Wetan atur bekti dhateng cecithak, bobak Dusun Mantran Wetan, tansaha wilujeng. Mugi warga anggenipun among tani, tansah subur, pikantuk rejeki ingkang barokah'. (Warga mewujudkan bakti kepada cikal bakal dusun dan berharap agar warga dalam bertani mendapatkan kesuburan, panenan melimpah dan mendapat berkah, red.)," katanya.

Di hadapan warganya, Handoko mengemukakan semangat kekeluargaan yang harus terus dihidupi meskipun sebentar lagi mereka akan terlibat dalam pemilu.

Pemilihan umum, bukan memecah belah masyarakat, akan tetapi sebagai pesta demokrasi yang membahagiakan dan memberikan pengharapan untuk kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik pada masa mendatang.

"'Ing tahun politik punika, wonten pesta demokrasi. Panyuwun kita sadaya, sumangga masyarakat beda pemanggih, namung tetep njagi persatuan lan kesatuan, manunggaling masyarakat'. (Pada tahun politik ini ada pesta demokrasi. Kita semua tetap menjaga persatuan dan kesatuan meskipun berbeda pilihan politik, red.)," katanya.

Ia menyebut tradisi "Saparan Mantran" dalam wujud prosesi "Tumpeng Jongko" menjadi sarana budaya warga untuk menguatkan semangat hidup bersaudara dan kekeluargaan.

Mereka kemudian mementaskan tarian tradisi ritual, berupa "Jaran Papat". Tarian itu berwujud sajian tarian kuda lumping oleh empat warga setempat, yakni Sunoto, Sudiman, Paidin, dan Sumarlan. Sajian tarian itu dengan iringan tabuhan tiga bende dan masing-masing satu "truntung" serta "kencreng".

Rangkaian tradisi "Saparan Mantran" juga dimeriahkan dengan pementasan musik Rebana Jawa, tarian tradisional Warok Bocah, Topeng Ireng Putra dan Putri, Brontolungit, Kuda Lumping, dan Leak.

Sejumlah tarian dari grup kesenian tradisional dari Kabupaten Temanggung juga dipentaskan pada kesempatan tersebut.

Turut hadir pada rangkaian tradisi mereka, antara lain Presiden Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang Sutanto Mendut dan puluhan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dengan pimpinan rombongan, pengajar mereka, Joko Aswoyo.

Meskipun tidak bisa hadir dalam tradisi "Saparan Mantran" yang secara khusus dikemas juga untuk permohonan dan doa agar pemilu mendatang berlangsung lancar dan damai, Divisi Sosialisasi dan Penghitungan Suara KPU Kabupaten Magelang M. Yasir Arrofat, melalui layanan telepon seluler menyatakan apresiasinya atas prakarsa masyarakat kawasan Gunung Andong itu.

"Terima kasih kami atas perhatian warga terhadap pemilu. Namun kami mohon maaf tidak bisa bergabung dalam acara 'Saparan' karena hari ini (8/1) juga ada evaluasi panitia pemilihan kecamatan se-kabupaten," katanya.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025