Itu adalah syair tembang berbahasa Jawa, dilantunkan berulang-ulang dalam iringan tabuhan gamelan untuk turut membangun suasana sedih pementasan wayang orang "Cupumanik Astagina" oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Pementasan dengan dalang Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, kawasan Gunung Merapi di halaman Bentara Budaya Jakarta, Selasa (17/12) malam.

Hadir pada kesempatan itu, antara lain budayawan Eros Djarot, pemimpin Komunitas Salihara Goenawan Mohammad, Ketua Pengurus Dewan Pelatih Persatuan Gerak Badan Bangau Putih Bre Redana, dan Presiden Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut.

Pementasan tersebut, dalam rangkaian Temu Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) dengan tema besar "Maneges Gunung" yang berupa pameran seni rupa dan instalasi, pentas kesenian tradisonal, serta dialog kebudayaan (17--22 Desember 2013).

Lantunan tembang bernama pilu karya seniman petani Riyanto itu, mengiring adegan kesedihan Anjani (Rekyan), Guwarso (Eka Pradaning), dan Guwarsi (Widyo Sumpeno) di Pertapaan Grastina, ketika melihat ibunya Dewi Windradi (Nana Ayom) dikutuk oleh suaminya Resi Gutama (Untung Pribadi) menjadi tugu batu karena diketahui selingkuh dengan Batara Surya.

Pusaka "Cupumanik Astagina" diperoleh Anjani dari ibunya, sedangkan ibunya mendapatkan benda berupa cupu yang mahasakti itu dari Batara Surya.

Dalam kisah umumnya atas lakon Ramayana itu, siapa pun yang memiliki cupu tersebut dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan. Namun, keindahan dan kebahagiaan itu sesungguhnya semu dan mengakibatkan korban.

Di tangan para seniman petani yang menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung itu, "Cupumanik Astagina" ditangkap sebagai gadget. Saat pementasan itu, Anjani menggunakan properti komputer tablet sebagai wujud "Cupumanik Astagina".

Guwarso dan Guwarsi berkehendak pula memiliki cupu itu. Ketiganya berebut hingga Anjani meminta perlindungan Resi Gutama. Sang Resi yang terperanjat karena Anjani memiliki pusaka itu, kemudian menjelaskan tentang kesaktian cupu tersebut.

Berbagai informasi, seperti dikisahkan oleh Resi Gutama, bisa diperoleh dari cupu itu, termasuk tentang hal ihwal yang buruk dan tidak pantas. Cupu itu dikatakannya berbahaya bila dipegang oleh anak-anak tanpa bimbingan orang dewasa, karena dunia maya yang dapat diakses melalui gadget tersebut dapat mendatangkan keburukan, seperti pornografi dan pornoaksi.

Saat itu juga diketahui pula bahwa "Cupumanik Astagina" berasal dari Batara Surya. Hal itu, membuat Resi Gutama naik pitam dan mengutuk Dewi Windradi menjadi tugu batu.

Sang Resi yang sakti juga membuang cupu hingga jatuh di Telaga Maderda. Ketiga anaknya memburu cupu itu. Jembawan (Pangadi), seorang cantrik pertapaan diperintah Resi Gutama untuk mengiring ketiga anak tersebut.

Guwarso dan Guwarsi terjun ke Telaga Maderda. Namun, badannya lalu berubah menjadi kera. Pada adegan selanjutnya, masing-masing dengan nama Subali (Surawan) dan Sugriwo (Danang). Demikian pula, Anjani yang kepanasan badannya karena mengejar cupu itu, lalu membasuh muka dengan air telaga tersebut sehingga wajahnya berubah menjadi kera.

Mereka pun datang kepada Resi Gutama meminta petunjuk agar pulih menjadi manusia.

Saat itu pula, Sang Resi berujar bahwa ketamakan mengakibatkan manusia kehilangan kemanusiaan. Siapa pun manusia, bila rakus dan hanya mementingkan diri sendiri, akan mengalami degradasi kemanusiaan. Dalam kisah "Cupumanik Astagina", manusia tamak digambarkan berubah menjadi kera.

"Sekarang ini, zamannya teknologi informasi. Jika internet dimanfaatkan secara tepat, akan mendatangkan kebaikan. Akan tetapi, bila tidak bisa memilah informasi, akan menjadikan keburukan manusia, merusak moral. Anak-anak perlu mendapat pendampingan saat memanfaatkan internet," kata Sitras Anjilin yang juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung itu, setelah pementasan.

Goenawan Mohammad yang juga budayawan itu menilai bahwa lakon wayang orang "Cupumanik Astagina" suguhan Komunitas Lima Guung itu sebagai suatu sindiran inspiratif karena teknologi yang maju tidak hanya memuat berbagai kelebihan, tetapi juga berisiko terhadap manusia.

Lakon "Cupumanik Astagina" dalam wujud teknologi, kata dia, identik dengan harga mahal, kesenjangan, konflik, kecepatan informasi hingga merata, jelas, tanpa batas, dan kemudahan dalam akses.

Melalui teknologi internet pula, katanya, manusia menemukan suatu perpustakaan besar dalam sejarah sejak lahir. Akan tetapi, kemajuan teknologi informasi juga mengandaikan mengakibatkan kecemburuan dan keserakahan.

"Akan tetapi, ada sisi risiko ketika informasi begitu banyak, beragam, dan cepat, orang bingung, lalu berpegang pada apa yang bisa dipercaya dengan gampang, tanpa melakukan pemikiran yang lebih untuk menerima informasi yang banyak," katanya.

Ia mengkritik para pengguna jejaring sosial yang sering kali membuat pernyataan tanpa merenungkan terlebih dahulu informasi yang dipikirkannya.

Jejaring sosial, kata dia, sering kali menjadi industri kebencian atau bahkan industri akal pendek.

"Tanpa menganalisis, memperhitungkan apa yang terjadi jika ini sampai kepada orang lain. Maka, ada baiknya kita merenungkan apa yang dipesankan oleh 'Cupumanik Astagina'," katanya.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025