Belasan sosok serangga dalam wujud yang dinamai Wayang Gunung diusung ke Bentara Budaya Jakarta, dalam rangkaian agenda Temu Komunitas Lima Gunung bertajuk "Maneges Gunung", yang berupa pameran seni rupa dan instalasi, pementasan kesenian, serta dialog kebudayaan pada 17-22 Desember 2013.

Penciptanya adalah Sujono (43), seniman di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu. Dia juga pemimpin Sanggar Saujana di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di dekat aliran Sungai Pabelan, yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.

Kelompok kesenian rakyat yang dipimpinnya itu adalah bagian dari seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

"Setelah sekitar empat tahun terakhir berproses dengan inspirasi serangga menjadi karya topeng, tarian, dan lukisan, sekarang saya menggarap juga karya seni untuk menjadi Wayang Gunung," katanya setelah jumpa pers di Studio Mendut, Kabupaten Magelang belum lama ini.

Terkait dengan agenda Temu Komunitas Lima Gunung di Bentara Budaya Jakarta, pihaknya telah mempersiapkan komunitas tersebut selama sekitar setengah tahun terakhir.

Dia menyebutkan belasan wujud wayang berbahan plastik fiber berkarakter serangga yang disebut secara umum oleh masyarakat dusunnya itu, antara lain kinjeng, walang, dhongkeret, tengis, lemut, tlendho, cicir, jongkang, dheye, walang kadung, semprang, semut, engkis, gangsir, jangkrik, dan laron.

Dia kemudian mencontohkan tentang sifat alamiah sejumlah serangga, antara lain dhongkeret muncul saat perubahan musim, laron menjelang musim hujan, walang merusak padi, dan jongkang berkembang di pohon besar seperti kelapa serta dadap.

"Karakter setiap wayang digodok bersama-sama dengan para tokoh Lima Gunung melalui berbagai pertemuan informal, tanpa batas waktu. Juga untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menjadi makin banyak," katanya.

Ia menginginkan karya Wayang Gunung kelak menempel ketat pada Komunitas Lima Gunung, melalui pemberian cuplikan nama para pegiatnya dalam sebutan karakter setiap wayang.

Momentum Temu Komunitas Lima Gunung ingin dijadikan peluncuran secara terselubung atas karya yang masih akan terus menempuh perjalanan menuju kematangan ciptaan wayang tersebut.

Agenda komunitas di Bentara Budaya Jakarta itu, antara lain pameran karya seni rupa, berupa topeng, lukisan kaca dan kanvas, kuda lumping, wayang kulit, wayang saujana, patung serangga, patung kayu punakawan, foto, dan demo membuat konstum tarian tradisional, serta seni instalasi berbahan alam gunung. Pameran akan dibuka oleh budayawan Goenawan Mohammad

Selain itu, ada pula pentas wayang orang dengan lakon "Cupumanik Astagina", pementasan tarian kuda lumping, kembang gunung, soreng truntung, dan dialog budaya dengan pembicara utama, Sutanto Mendut, Sitras Anjilin, Supadi Haryanto, Riyadi, Sujono, Pangadi, dan moderator budayawan Bre Redana.

Dalang muda yang juga bagian dari Komunitas Lima Gunung, Sih Agung Prasetyo, menyatakan kesiapan mementaskan Wayang Gunung sebagai bagian dari pergelaran wayang kulit yang hendak diusung di Bentara Budaya Jakarta pada pementasan hari kedua (18/12) malam dengan lakon "Kresna Duta (Petruk Nekat Dadi Ratu)".

"Jadi, jadi, akan saya pentaskan perdana dalam lakon itu, besok (18/12)," kata Sih Agung (27) yang tinggal di Grabag, Kabupaten Magelang, kawasan Gunung Andong.

Sejumlah nama terkait dengan Wayang Gunung, katanya, juga telah disiapkan dengan formasi yang tidak lepas dari nama-nama para pegiat Komunitas Lima Gunung dengan Sutanto Mendut sebagai pemimpin tertinggi bergelar "Presiden Lima Gunung" itu.

"Simak saja besok dalam pementasan," kata Sih Agung yang juga seorang guru di sekolah swasta di Kota Magelang tersebut.

Sujono mengemukakan bahwa setiap wayangnya bisa saja dikaitkan dengan lakon mengunggah isu aktual tentang kehidupan sehari-hari.

"Bisa saja terkait dengan cerita apa saja dalam hidup sehari-hari, pribadi-pribadi, hidup bertetangga, isu-isu besar, melalui dialog antarbinatang, tentang arogansi, anarkisme, penokohan, perjuangan, kisah gembira. Bisa macam-macam, tergantung dalang membawakannya," katanya.

Ia menyatakan bangga apabila pada masa mendatang, Sih Agung makin tekun dalam dunia pedalangannya dengan menjadikan Wayang Gunung sebagai label aktivitasnya berkesenian.

Ia juga telah merancang tabuhan pengiring Wayang Gunung dengan alat musik utama, berupa bende, truntung, dan beduk, untuk menghasilkan suara alam, sedangkan kostum dalang bisa saja kemungkinan berbeda dengan dalang umumnya yang mengenakan belangkon dan surjan.

"Bisa saja dalang menggunakan 'kuluk' tarian jingkrak sundang (tarian serangga yang telah diciptakan Sujono beberapa tahun lalu, red.) dan kostum serangga untuk penabuhnya. Tembang dan suluk terus akan kami godok untuk melahirkan nuansa pedesaan yang kuat dalam pementasan Wayang Gunung," katanya.

Pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang (Gunung Merapi) Sitras Anjilin mengemukakan bahwa jagat wayang yang hingga saat ini memiliki kekuatan hadir, antara lain berwujud wayang kulit, wayang orang, atau wayang golek, dengan umumnya mengangkat cerita Mahabarata dan Ramayana, dipastikan juga mengalami perjalanan panjang hingga menemukan pakemnya.

"Pasti melalui proses yang panjang, tidak diciptakan seketika jadi seperti pakem yang dikenal umum saat ini," kata Sitras yang juga dalang itu.

Wayang Gunung pun semoga demikian, menempuh jalannya dengan segala kehendak baik yang sebadan, sepikir, dan sejiwa Komunitas Lima Gunung.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024