Pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sutanto Mendut, merespons dengan memori hangatnya bahwa saat beberapa bulan lalu melawat ke Welt Museum atau Museum Dunia (Sebelumnya bernama Museum fur Volkerkunde) di Wina, Austria, ia melihat satu keris yang disebut sebagai milik Pangeran Diponegoro.

Dia tidak menyebut apakah pusaka itu yang dimaksud sebagai Kiai Nogo Siluman. Informasinya, keris itu pernah menjadi milik kolektor Belanda yang bekas residen di Jawa pada akhir abad ke-18, bernama Weynschenk. Keris itu lalu diberikan kepada kaisar Hasburg di Wina, yang disebut Sutanto hal tersebut biasanya sebagai hadiah agar pemberinya mendapatkan gelar kehormatan.

Hariadi yang lembaga nonprofit dipimpinnya itu menjadi salah satu pendukung pergelaran, merespons balik bahwa informasi tentang keris Pangeran Diponegoro di museum Wina, penting untuk segera disampaikan kepada Landung Simatupang yang akan menggelar pembacaan dramatik tentang Perang Jawa (1825-1830) dan Pangeran Diponegoro itu, sebagai penguat referensinya.

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Antawirya. Dia putra sulung Hamengku Buwono III (Raja Mataram di Yogyakarta), dari seorang selir bernama R. A. Mangkarawati. Diponegoro yang juga pahlawan nasional dan namanya saat ini menjadi julukan untuk Komando Daerah Militer IV yang meliputi Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu, adalah pemimpin Perang Jawa selama lima tahun menghadapi kolonialisme Belanda.

Pementasan pembacaan dramatik dengan sutradara dan aktor utama Landung Simatupang dan sejumlah pemain pendukung, termasuk tayangan multimedia, berlangsung di empat situs terkait dengan Pangeran Diponegoro, yakni gedung eks-Keresidenan Kedu di Kota Magelang, Minggu (24/11), Monumen Sasana Wiratama, Tegalrejo, Yogyakarta, 4 Januari 2014, Museum Fatahilah Jakarta, 10 Mei 2014, dan Benteng Rotterdam Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Juni 2014.

Gedung Residen Kedu sebagai tempat Diponegoro ditangkap oleh Belanda pada 28 Maret 1830, Monumen Sasana Wiratama, Tegalrejo, Yogyakarta, kediaman Diponegoro bersama eyang buyut putri yang juga permaisuri Hamengku Buwono I, Ratu Ageng, Museum Fatahilah Jakarta, tempat Diponegoro ditawan di Batavia selama sekitar satu bulan (11 April-3 Mei 1830), sebelum dibuang ke Manado, Sulawesi Utara (1830-1834), dan Benteng Rotterdam Makassar, Sulawesi Selatan, penjara pembuangan Diponegoro bersama kerabatnya, hingga mangkat pada 8 Januari 1855, dalam usia 69 tahun, dan dimakamkan di kota itu.

Pembacaan dramatik tentang Perang Jawa oleh Landung Simatupang, bersumber terutama dari "Babad Diponegoro" yang ditulis Sang Pangeran itu pada 1831-1832 dalam pengasingan di Manado. Pada 23 Juni 2013, "Babad Diponegoro" ditetapkan oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai "Ingatan Kolektif Dunia". Sumber utama lainnya, yakni karya sejarawan Inggris, Peter Carey, yang diterjemahkan oleh Parakitri T. Simbolon menjadi buku "Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1885".

Dengan dukungan pementas lainnya, untuk gerak performa, sajian tembang Jawa, tabuhan gamelan, seruling, dan lesung, serta tayangan multimedia pada Minggu (24/11) malam itu, Landung membacakan lakon "Sang Pangeran di Keresidenan", antara lain perjuangan Diponegoro dengan dukungan kekuatan rakyat melawan Belanda.

Perang Jawa itu sebagai paling lama dan menelan paling banyak korban, namun juga mewariskan kekayaan seni budaya Jawa, antara lain dalam bentuk wayang Diponegoro dan lukisan karya seniman Jawa (Raden Saleh) serta Belanda pada masa lalu. Selain itu, berbagai situs bertebaran di kawasan Menoreh, yang hingga saat ini masih dipercaya masyarakat sebagai jejak historis, religius, kultural, dan spiritual Pangeran Diponegoro.

Dibacakan juga, kisah tentang berbagai markas perlawanan Sang Pangeran di beberapa tempat, khususnya kawasan Pegunungan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, dan Purworejo serta Magelang, Jateng, para tokoh pemimpin pasukannya, termasuk yang bermarkas di Gunung Sindoro, kekuatan spiritual kejawen Diponegoro, cerita peranannya sebagai pemuka Islam.

Selain itu, Landung terkesan secara khusus "membabarkan" kisah tentang relasi Diponegoro dengan Jenderal de Kock yang bukan semata-mata antarsosok militer, namun juga sisi kemanusiaan kedua tokoh, dalam pertemuan mereka beberapa kali di Kota Magelang.

Posisi Diponegoro di pesanggrahan di Meteseh, pinggir Kali Progo dengan pasukan yang mencapai 800 personel, sedangkan Jenderal de Kock di gedung Residen Kedu di Kota Magelang menghadap ke Gunung Sumbing. Kala itu, kota setempat sebagai pusat garnizun Belanda.

Keramahan Jenderal de Kock dalam pertemuan dengan Diponegoro sebelumnya, yang antara lain ditandai pemberian kuda sebagai tanda persahabatannya dengan Diponegoro, berubah dalam pertemuan 28 Maret 1830 ditandai dengan penangkapan terhadap Sang Pangeran.

Sikap Kukuh
Sebelumnya dikisahkan, bahwa Jenderal de Kock mendapat informasi dari mata-mata yang menyusup ke pasukan Diponegoro tentang sikap kukuh atas perjuangan yang digelorakan pemimpin Perang Jawa itu sehingga pada 25 Maret, Jenderal de Kock mengeluarkan perintah kesiapan pasukan untuk penangkapan Diponegoro.

Pada hari pertemuan, Sang Pangeran bersama sejumlah petinggi pasukan diajak Jenderal de Kock dengan didampingi beberapa perwiranya, beramah tamah di ruang baca Wisma Residen. Pertemuan itu, bukan untuk agenda pembicaraan persoalan politik serta peperangan.

Dikisahkan tentang kaget Diponegoro, setelah Jenderal de Kock menyatakan secara sepihak untuk menyelesaikan peperangan secepatnya, hari itu juga, antara lain karena dirinya harus bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal Van Den Bosch di Batavia dan biaya perang yang meningkat terus, serta masa pemulangan pasukan hampir berlalu.

"Saya katakan untuk kedua kali, segala urusan harus diselesaikan sekarang," begitu Landung membacakan kisahnya dengan logat Belanda yang selama ini akrab di telinga masyarakat untuk membahasakan pernyataan de Kock.

Suasana pembicaraan digambarkan Landung dengan nada suara makin tinggi dilontarkan Pangeran Diponegoro. Sang Pangeran merasa sikap persahabatannya telah dikhianati Jenderal de Kock.

"Jenderal, aku tidak takut mati. Dalam semua pertempuran, aku luput dari maut, sedangkan para pengikut, hanya melaksanakan perintahku. Bilamana aku mati, kembalikan jenazahku ke Imogiri, agar bisa bersatu dengan istriku. Lalu percakapan dan perbantahan sampai ke suatu titik, ketika Sang Pangeran mengatakan bahwa ia tidak mau kurang menjadi kepala agama Islam di Jawa dan tetap menyandang sultan," demikian Landung mengisahkannya.

Dalam laporannya, katanya, Jenderal de Kock menuliskan bahwa penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro berlangsung tepat pukul 10.00 dan selanjutnya semua orang bergembira karena perang telah selesai. Kegembiraan itu, tentunya versi mereka yang berperang untuk Belanda.

Nilai kemanusiaan
Setelah pementasan itu, Hariadi mengharapkan lakon "Sang Pangeran di Keresidenan" membawa manfaat positif untuk nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, apalagi pada tahun politik menjelang Pemilu 2014.

Seorang generasi ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo (42) yang selama ini tinggal di Wates, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, menyatakan terima kasih keluarga besar Diponegoro baik di dalam maupun luar negeri atas pementasan itu karena memperkenalkan kembali semangat perjuangan Sang Pangeran.

"Dalam keluarga, kami mendongengkan Pangeran Diponegoro secara turun temurun. Tapi, yang di catatan Belanda, masih banyak yang menyimpang. Mungkin karena itu untuk kepentingan mereka," katanya.

Pembacaan dramatik itu, kata Landung, bukan semata-mata mementingkan menggali kembali semangat kepahlawanan dan ketahanujian Diponegoro.

Akan tetapi, sisi kemanusiaan sebagaimana diungkap melalui sosok Diponegoro dan Jenderal de Kock juga memuat daya inspirasi atas keteladanan manusia. Jenderal de Kock sebetulnya tidak benci Diponegoro. Mereka sempat bersahabat.

Hanya saja, katanya, Jenderal de Kock harus menjalankan tugasnya sebagai pejabat Belanda, sedangkan Diponegoro sebagai pangeran, tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat sehingga harus menyerahkan diri secara total untuk membuka perjuangan.

"Dua manusia tiba-tiba harus berhadapan. Yang satu harus mengkhianati Pangeran Diponegoro. Itu menurut saya tragedi kemanusiaan. Manusia memang terkadang menjadi korban dari suatu keadaan," katanya.

Berdasarkan pendapat Peter Carey, katanya, gerakan yang dilakukan Pangeran Diponegoro tidak karena ambisi pribadi untuk mencapai kekuasaan, melainkan sungguh-sungguh karena melihat penderitaan rakyat yang tak lagi tertanggungkan.

Diponegoro harus tetap melakukan kewajibannya sebagai pimpinan meskipun berdasarkan ramalan para leluhur, dia telah mengetahui akan gagal.

"Itu menurut aku, sangat inspiratif pada masa sekarang. Diponegoro diramalkan leluhurnya sebagai orang pilihan tetapi perjuangannya tidak akan berhasil. Tapi bagi Pangeran Diponegoro, itu kewajibannya. Kalau dia tidak berbuat, kemerdekaan kita, mungkin masih mundur-mundur, karena tidak ada perlawanan sama sekali," katanya.

Pembacaan dramatik "Sang Pangeran di Keresidenan" bagaikan usaha membuka pusaka nilai dari warangkanya, agar bangsa ini terus menapak jalannya ke hari depan lebih bernilai.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025