"'Angger-angger meh cedhak pemilu, mesthi podho blusukan. Tenanan opo pencitraan? (Setiap kali mendekati pemilu, pasti para elit itu rajin 'blusukan'. Itu sungguh-sungguh atau hanya pencitraan? red)'," kata Resi Waskitha.

Kalimat sindiran dikirim kepada para elit negeri itu, bagian dari dialog dalam pementasan ketoprak dengan sutradara ternama Bondan Nusantara (Yogyakarta) yang menyuguhkan lakon "Ndhepani Ajining Dhiri" (Mempertahankan Harga Diri).

Bisa dipastikan penonton ketoprak yang memadati hampir separuh Lapangan Pasturan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/11) hingga tengah malam itu, langsung mengerti maksud kalimat yang dilontarkan Sang Resi.

Resi Waskitha diperankan oleh Romo Julius Blasius Fitri Gutanto (Paroki Salam), Prabu Padmaaji oleh Romo Markus Nur Widipranoto (Direktur Museum Misi Muntilan), dan Pangeran Sasangka oleh Romo Yosep Nugroho Tri Sumartono (Paroki Sumber). Dikisahkan, bahwa pada masa lalunya, Padmaaji dan Sasangka adalah murid Resi Waskitha.

Momentum tahun politik, menjelang Pemilu 2014, memang menghadapkan keseharian masyarakat sebagai sasaran "blusukan" para elit yang sedang bergelora, untuk mengecap pundi-pundi dukungan meraih kursi kekuasaan.

Saat mendengar sindiran itu, Padmaaji yang raja dari Kerajaan Bantala Ayu tampak tertunduk dengan raut wajah tenang, sedangkan Pangeran Sasangka terkesan beringsut kata, merespons dengan kalimatnya yang dipastikan keluar dari pakem cerita "Ndhepani Ajining Dhiri", sebagaimana ucapan Sang Resi yang juga keluar dari pakem kisah itu.

"'Jan-janipun kulo sampun wongsal-wangsul sowan Resi. Ananging mboten kepanggih. Ingkang sepisan Resi Waskitha nembe tindak Monas (Monumen Nasional), kaping kalih nembe kuliah malih, kaping tiga blonjo kecap vegetarian, kaping sekawan nembe pasa lan sesirik'," ucap Sasangka.

Terjemahan bebas kalimat itu, bahwa berulang kali sebenarnya Sasangka datang ke padepokan, namun saat kedatangan pertama ternyata Resi sedang wisata ke Monas di Jakarta, kedua sedang kuliah, ketiga belanja kecap dari bahan vegetarian, dan keempat sedang berpuasa dan berpantang sehingga tidak bisa ditemui.

Penonton pun seketika tertawa dan bertepuk tangan, begitu mendengar dialog dalam nuansa gojek saling menyindir antarpara imam praja Keuskupan Agung Semarang yang sedang menjadi pelakon ketoprak itu.

Beberapa adegan lain dalam ketoprak yang dimainkan oleh 34 orang yang umumnya bukan seniman ketoprak, dalam rangka Gelar Budaya Hari Pahlawan 2013 diselenggarakan kerja sama Kevikepan Kedu dengan Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner itu, juga sarat dengan sentilan terkait dengan peristiwa aktual dalam keluarga, umat, masyarakat, dan negara.

"'Semono uga umat e. Teka nang nggone Romo, mung nek ngadhepi perkara, nek dhong panen pelem lali karo Romo ne. (Begitu juga dengan umat. Datang ke Romo kalau sedang menghadapi masalah. Kalau sedang panen mangga, lupa terhadap Romo, red.)'," begitu ucapan gojek lainnya yang dilontarkan Resi Waskitha yang membuat penonton pun terbahak-bahak.

Di antara para penonton itu, antara lain Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang Romo F.X. Sukendar Wigyomartaya, Kepala Kevikepan Kedu Romo F.X. Krisno Handoyo, Kepala Bagian Organisasi Pemerintahan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Magelang Aloysius Suryatmo Widiantoro, Camat Muntilan Iwan Setyarso, dan Ketua Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Magelang Ahmad Chabibulah.

Inti sari cerita ketoprak "Ndhepani Ajining Dhiri" yang berdurasi sekitar tiga jam itu, tak jauh berbeda dengan epos besar Ramayana, yakni tentang perjuangan Rama mendapatkan kembali istrinya, Sinta, dari cengkeraman Rahwana.

Dikisahkan, Prabu Padmaaji yang bijaksana, bersama para punggawa Kerajaan Bantala Ayu, keluar keraton untuk turun langsung menyelesaikan perselisihan antarwarganya yang tinggal di bagian timur negeri setempat.

Saat itulah, permaisuri Sang Raja, Ratu Sasi (Mita), diculik oleh Tumenggung Sasramaruta (Darmanto) atas perintah Prabu Singaprana (Prasaja) dengan karakter kepemimpinannya yang tamak dari Kerajaan Linggapura.

Babak lainnya, bercerita penolakan Ratu Sasi atas rayuan Prabu Singaprana yang ingin memperistrinya, pengusiran terhadap Resi Wasu Pramana (Aribawa) oleh Singaprana, karena petuahnya berseberangan dengan kehendak raja angkaramurka tersebut, dan kepergian Pangeran Sanggaloka (Bianto) dari Keraton Linggapura untuk tapa tidur.

Selain itu, kepergian Pangeran Bumiwiro (Niko) karena keteguhan membela kebenaran yang hal itu berseberangan dengan ambisi Prabu Singaprana memperistri Ratu Sasi dan pengangkatan Pangeran Kartikanegara (Seno) sebagai senopati Linggapura untuk berperang menghadapi prajurit Bantala Ayu.

Prabu Padmaaji didampingi Pangeran Sasangka, pada babak lain dikisahkan sowan kepada Resi Waskitha untuk meminta nasihat guna mendapatkan kembali Ratu Sasi.

Keduanya mendapat petuah Sang Resi itu, bahwa untuk mengambil kembali Ratu Sasi, bukan semata-mata mengembalikan harga diri sebagai suami, akan tetapi mempertahankan harga diri negeri yang dicabik-cabik oleh ketamakan dan angkaramurka.

Peperangan antara prajurit Bantala Ayu dengan Linggapura, disuguhkan melalui pentas wayang kulit secara multimedia, menggunakan layar raksasa panggung ketoprak tersebut, dengan dua dalang, yakni Iswanto dan Santo Sadewo.

Begitu juga perang tanding antara Sasangka melawan Kartikanegara dan kemudian Sasangka melawan Sanggaloka setelah dibangunkan dari tapa oleh Prabu Singaprana, dimainkan melalui pentas wayang kulit multimedia, sebagai perang antara Lesmana melawan Indrajit dan Lesmana melawan Kumbakarna, dalam epos Ramayana.

Sedangkan Prabu Singaprana yang perang tanding melawan Prabu Padmaaji, dihadang dan akhirnya dikalahkan Bumiwiro.

Ihwal itu sebagaimana epos Ramayana menceritakan Wibisana sebagai pahlawan berjuluk "Kesatria Balik". Bumiwiro bergabung dengan Kerajaan Bantala Ayu karena kukuh berpihak kepada kebenaran sejati.

Suguhan ketoprak "Ndhepani Ajining Dhiri" bermuarakan selebrasi meriah penonton, ketika Prabu Padmaaji menerima kembali Ratu Sasi, setelah Pangeran Sasangka dengan suara bergetar bertutur bahwa cinta kasih sejati itu jauh dari angkaramurka, bertekun dalam kesabaran, dan total berkorban, termasuk untuk negeri.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025