Di tengah-tengah gelaran tikar itu terlihat berderet berbagai sarana kenduri, antara lain nasi tumpeng, ingkung, jajan pasar, buah-buahan, dan kemenyan.

Mereka adalah warga Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang yang kelompok kesenian tradisionalnya dalam wadah Sanggar Andon Jinawi, menjadi bagian dari seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

Dusun setempat menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XII yang berlangsung selama tiga hari, 28--30 Juni 2013, dengan berbagai pementasan kesenian, baik tradisional maupun kontemporer, melibatkan kelompok kesenian anggota komunitas tersebut, dusun-dusun tetangga, maupun jejaringnya dari sejumlah kota.

Pada hari Sabtu (29/6) sore itu, mereka yang para lelaki tersebut menggelar tradisi kenduri untuk mengunjukkan doa keselamatan, baik terhadap masyarakat setempat maupun seluruh anggota Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, serta siapa saja yang hadir dan turut pentas dalam festival tersebut.

Festival tahunan yang diprakarsai secara mandiri, tanpa bantuan baik pemerintah maupun sponsor, oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung itu, bagian dari gerakan kebudayaan dengan berbasiskan kearifan lokal.

Kenduri warga yang kental dalam suasana doa secara islami tersebut dipimpin oleh modin dusun Ahmad Thohir, didampingi Kepala Dusun Mantran WetanHandoko, sesepuh masyarakat setempat Santosa, dan Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto. Supadi juga pemimpin Sanggar Andong Jinawi Mantran Wetan.

Dalam sambutan berbahasa Jawa, Santosa yang juga Pejabat Sekretaris Desa Girirejo itu mengatakan bahwa kenduri tersebut sebagai ungkapan doa masyarakat Mantran Wetan untuk keluarga besar seniman petani Komunitas Lima Gunung agar tetap kukuh dalam gerakan kebudayaan melalui kesenian rakyat di dusun masing-masing.

"'Kanthi kenduri punika, mugia saking Lima Guung saget tansah ngrembaka anggenipun mengku kabudayan, sageta tansah lestari (Melalui kenduri itu, semoga Komunitas Lima Gunung makin kuat dan berkembang dalam menjalankan kegiatan kebudayaan melalui kesenian rakyat, red.)," katanya.

Selain memimpin warga untuk melafalkan tahlil dan alfatekah, Modin Thohir juga membakar kemenyan untuk selanjutnya menjelaskan dalam bahasa Jawa tentang maksud masyarakat setempat menggelar kenduri dan tujuan mereka mengirim doa kepada Allah SWT.

Aneka sesaji dalam kenduri itu sebagai persembahan kepada Tuhan agar Penguasa Alam dan Semesta itu melimpahkan keselamatan dan kelancaran atas Festival Lima Gunung XII di dusun setempat, untuk kehidupan masyarakat Mantran Wetan supaya selalu berlimpah kesehatan serta lancar dalam mendapatkan rejeki untuk keluarga masing-masing, terutama melalui olah pertaniannya.

Selain itu, untuk Komunitas Lima Gunung yang masih akan terus menjalankan gerakan kebudayaan melalui kearifan lokal kawasan gunung di Kabupaten Magelang dan untuk siapa saja yang terlibat dalam pementasan festival tersebut serta para tamu yang hadir berasal dari berbagai tempat untuk menyaksikan festival seniman petani di dusun yang terletak di tenggara Gunung Andong itu.

"'Shodakoh ambeng punika kangge wilujengan sedaya para leluhur lan mugi Gusti Allah paring pangapunten dhumateng sedaya kalepatan warga ing mriki, dene 'golong' kangge atur pakurmatan kangge Allah ingkan paring rejeki kangge masyarakat lan kulawarga Lima Gunung'," kata Thohir.

Rangkaian kalimat berbahasa Jawa itu, kira-kira sebagai ungkapan pengharapan warga agar semua leluhur dusun memperoleh keselamatan di alam kekal dan Tuhan memberikan pengampunan atas segala kesalahan masyarakat.

Selain itu, penghormatan kepada Tuhan supaya senantiasa memberikan rejeki yang cukup kepada masyarakat dan keluarga besar Komunitas Lima Gunung, terlebih untuk masyarakat Dusun Mantran Wetan yang sedang menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XII.

Berbagai agenda pementasan dalam festival tersebut, antara lain tarian Jaran Kepang Papat, Soreng, Topeng Ireng, Kuda Lumping, Ketoprak, Warok, Wayang Kulit, Wayang Beber, dan performa seni kontemporer lainnya.

Selain itu, pidato budaya, arak-arakan seniman petani, pemukulan Gong Gunung, pelepasan burung merapi, dan peluncuran buku Komunitas Lima Gunung berjudul "Sendang Sungsang".

Berbagai kesenian itu digelar di dua panggung terbuka, yakni di halaman rumah warga setempat, Gianto yang mereka namai "Panggung Mulat Kahanan" dan di halaman rumah Yatmin, yang mereka namai "Panggung Sungsang" dengan latar belakang Gunung Andong.

Tema besar Festival Lima Gunung XII yang diangkat oleh komunitas itu, kata Supadi, adalah "Mulat Kahanan Sungsang".

Kalimat tema yang menjadi buah pemikiran bersama, khususnya para petinggi Komunitas Lima Gunung itu, kira-kira maksudnya mengajak setiap orang untuk merefleksikan dalam batin masing-masing tentang segala aspek kehidupan akhir-akhir ini karena dianggap serba terbalik dari situasi normal.

Para seniman petani komunitas itu berharap supaya kehidupan bersama baik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada masa mendatang senantiasa memperoleh keselamatan dan jalan terbaik dalam mengatasi segala persoalan.

"'Mugi sinembadan ingkang sami sinedya (Semoga tercapai segala yang menjadi keinginan mulia Komunitas Lima Gunung, red.)'," kata Thohir.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025